Selama pandemi, busana yang bisa dipadu padan dan busana monokrom mengarah jadi tren, termasuk untuk busana muslim.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Hidup mulai bergulir kembali pascapembatasan akibat pandemi. Undangan untuk sekadar kongkow hingga pertemuan resmi mulai berdatangan. Meski tetap mengedepankan protokol kesehatan, padu padan gaya juga patut dipertimbangkan agar tidak salah kostum. Siluet sudah pasti nyaman diutamakan. Namun, untuk warna, monokrom yang jadi juaranya.
Berbicara kehidupan yang mulai menggeliat, panggung pergelaran peragaan busana Tanah Air juga menyala lagi. Perhelatan Jakarta Muslim Fashion Week pada 18 November 2021 dilaksanakan secara langsung dengan menyulap Aquatic Stadium di Gelora Bung Karno, Jakarta, sebagai landas peraganya.
Acara yang merupakan kolaborasi antara Kementerian Perdagangan dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia disiapkan menjadi ajang tahunan. Hal ini sejalan dengan mode muslim Tanah Air yang kian berkembang dan memiliki potensi besar untuk dapat bersaing di pasar global. Pada pergelaran perdana ini, sebanyak 36 jenama yang bergerak di mode muslim ikut berpartisipasi. Ada juga dari sekolah mode dan institusi pendidikan yang bergabung.
”Ini memang diagendakan menjadi program annual Kemendag dan Kadin. Tujuannya ialah membesarkan sektor usaha berorientasi domestik dan ekspor sehingga ke depannya dapat menjadi muslim fashion event terbesar di dunia, juga menjadi salah satu pusat mode muslim di dunia,” ujar Wakil Ketua Komite Promosi Fesyen Muslim Nasional Anne Patricia Sutanto, saat jumpa pers, Kamis (11/11/2021).
Sebagian dari karya para desainer yang tampil pada acara ini juga kini tengah melenggang di Dubai Modest Fashion Week 2021. Salah satunya karya milik desainer Vivi Zubedi yang bertajuk ”Monogram”. Busana besutan Vivi ini muncul pada parade ketiga yang merupakan parade terakhir setelah pertunjukan seharian.
Dalam penampilan singkat ini, Vivi memamerkan delapan busana yang merupakan bagian dari koleksi Monogram. Dari abaya hingga perpaduan tunik dan rok panjang dipilihnya untuk ditampilkan. Menurut Vivi, tampilan yang disuguhkannya ini merupakan favorit dari para pengguna busana muslim Tanah Air, juga di pasar global.
Ini berkaca dari pengalamannya yang mampu mengembangkan bisnisnya hingga ke timur tengah. Salah satunya ke Riyadh, Arab Saudi. Di beberapa negara tersebut, permintaan untuk jenis abaya, tunik, dan rok panjang selalu tinggi. Meski ini juga menjadi favorit pelanggannya di Tanah Air, variasi siluet lebih beragam karena pengguna busana muslim di Indonesia jauh lebih cair seleranya.
Pemilihan warna monokrom, lanjutnya, karena ini lebih mudah diterima dan mudah dipadupadankan. Kendati demikian, detail motif khas dari lini Vivi Zubedi tetap ditonjolkan dalam busana bernuansa monokrom ini. Bahkan di beberapa tampilan, Vivi menambahkan nuansa hijau muda dan coklat muda yang menguatkan warna monokrom mudah disesuaikan.
Selain Vivi, sejumlah desainer yang hadir pada parade kedua juga mayoritas menampilkan busana bernuansa monokrom. Desainer Ivan Gunawan lewat lini Ivan Gunawan Prive yang menawarkan produk premiumnya menampilkan 12 busana dalam koleksi bertajuk ”Metropolitan Modest Women”.
Pada koleksi kali ini, Ivan lebih banyak bermain dengan blazer dan suit yang identik dengan suasana formal. ”Ini memang perpaduan antara siluet maskulin, tapi tetap ada unsur feminin bagi yang memakai. Kesannya jadi lebih modern dan dinamis. Warna ini juga biar bisa masuk ke mana saja dan tetap up to date,” ujar Ivan.
Beberapa detail yang menguatkan kesan dinamis dan kokoh dalam desainnya kali ini adalah penambahan shoulder pad pada atasan juga blazer dan gaun panjangnya. Tampilan rapi dan anggun juga terpancar dengan pengenaan shoulder pad yang belakangan kembali naik daun.
Jenama Benang Jarum justru konsisten dengan siluet gaun panjang yang keseluruhannya berwarna hitam. Untuk membuatnya tetap menyala dan terlihat mewah, Benang Jarum melakukan kombinasi dengan blazer dan outer bermotif floral yang memiliki nuansa putih, perak, emas, merah, dan ungu.
Perkembangan tren busana monokrom ini sesungguhnya telah bergulir sejak tahun 1920-an. Lagi-lagi desainer Coco Chanel yang identik dengan pendobrakan pakem sosial lewat bidang mode merupakan salah satu pionir dari diterimanya nuansa monokrom sebagai pilihan yang wajar di dunia mode.
Selama ini, warna hitam selalu lekat dengan kesedihan dan dikenakan ketika pemakaman. Namun, Chanel justru menjadikan warna hitam sebagai sesuatu yang simpel dan elegan untuk sebuah busana. Bahkan, ketika dirinya mulai menggarap setelan blazer dan celana panjang untuk perempuan, monokrom sudah pasti jadi pedoman. Bagi Chanel, nuansa monokrom ini justru memperkuat karakter penggunanya.
Kokoh
Semangat itu tentu sejalan juga dengan para perempuan muslim masa kini yang terus maju dan mampu berdaya. Desainer Irna Mutiara lewat lini Irna Laperle menawarkan koleksi terbarunya berjudul Miracle of The Sun. Dari judul koleksinya ini, juga merupakan pengejawantahan semangat dari para perempuan muslim yang terus menjadi pencerah bagi lintas generasi.
Kali ini, dominasi warna hitam pada gamis dan gaun yang ditampilkan dipadukan dengan warna emas. Irna pun tetap pada sentuhan khasnya yakni bordir dan sulaman dari perajin dengan motif tradisional Lampung. ”Seperti matahari, dari terbit hingga tenggelam. Karena itu ditunjukkan melalui warna,” ujar Irna.
Desainer Jenahara Nasution lewat koleksi Metanoia juga kembali mematenkan perempuan muslim yang tetap berdaya dan kuat. Gaya maskulin dan kasual yang dihadirkannya lewat celana palazzo, kemeja asimetris, luaran panjang, vest, hingga gamis. Bagi Jenahara, warna monokrom memang selalu menjadi ciri khasnya.
”Ini menunjukkan the power of mix and match yang selama ini menjadi kekuatan Jenahara. Dengan warna ini pula, keluaran Jenahara ini menjadi busana yang timeless, tapi tetap edgy dan fierce,” ungkap Jenahara.
Hidup memang banyak warna. Akan tetapi, ada kalanya perlu kembali untuk menengok sejenak pada hitam putih yang menguatkan perjalanan.