Membaca rangkaian tulisan Lisabona Rahman, Ifa Ifansyah, dan Meiske Taurisia yang dimuat berturut-turut di harian ini saya teringat tulisan lama Sjumandjaja dari tahun 1977. Judulnya menggelegar: ”Di Tangan Borjuis Kelontong, Film Hanya Barang Dagangan.” Dalam tulisan itu ada satu pernyataan yang sangat penting dan relevan dengan kondisi kita sekarang, yaitu bahwa di Indonesia ”investasi di bidang film tidak ada”. Pernyataan yang separuh benar tapi tetap relevan.
Dalam tulisan ini saya ingin membahas apa yang sudah, sedang, dan masih perlu dilakukan terkait investasi di bidang film, sekaligus menanggapi ketiga tulisan yang saya sebutkan di awal. Investasi yang dimaksud di sini bukan hanya pembiayaan satu atau dua proyek film, tapi investasi di bidang film secara keseluruhan, dari hulu sampai hilir, dari penciptaan sampai distribusi dan ekshibisi film. Atau dalam bahasa yang belakangan sering dipakai: ekosistem film.
Lisabona dan Ifa dalam tulisan mereka bercerita tentang aspek penciptaan yang terletak di hulu ekosistem. Keduanya menekankan pentingnya tempat seperti film lab untuk mengolah gagasan menjadi naskah dan rencana kerja yang siap dieksekusi. Ini adalah tahap yang sangat krusial tapi sayangnya kurang mendapat perhatian. Jarang sekali investor di Indonesia yang mau menanam uangnya di tahap ini karena tidak ada jaminan prosesnya akan berhasil.
Kenyataan itu mendorong Direktorat Jenderal Kebudayaan membuat program Indonesiana, semacam film lab untuk mendukung pembuat film mengolah gagasan mereka. Dalam program ini para pembuat film, khususnya penulis naskah, mendapat dukungan untuk riset dan mengembangkan gagasan dengan bantuan tenaga profesional dari dalam dan luar negeri. Program ini sekarang memasuki tahun ketiga dan masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan agar bisa menjadi apa yang oleh Ifa disebut sebagai ”kawah candradimuka” seperti Cannes L’Atelier, Torino Film Lab, atau Southeast Asia Fiction Film Lab.
Baca juga:
Selain film lab diperlukan juga forum yang bisa membantu sebuah proyek film terhubung dengan investor dan jaringan distribusi domestik ataupun internasional, yang disebut project market. Untuk keperluan itu, pemerintah sejak 2017 melalui Badan Ekonomi Kreatif waktu itu membuat program Akatara, bekerja sama dengan Badan Perfilman Indonesia. Seperti layaknya project market program ini mempertemukan pembuat film dengan investor potensial dan dalam perjalanannya membantu lahirnya sejumlah film bermutu, seperti 27 Steps of May dan film dokumenter You and I.
Semua inisiatif ini masih perlu ditingkatkan dengan jumlah investasi yang cukup. Dewan Film Korea setiap tahun menerima Rp 2,4 triliun rupiah dari pemerintah untuk membantu berbagai aspek produksi film. Di Indonesia anggaran bidang perfilman yang tersebar di beberapa unit kerja belum sampai 15 persen dari jumlah itu. Jumlahnya masih harus ditambah. Tapi, yang tidak kalah pentingnya adalah konsolidasi kelembagaan sehingga penguatan ekosistemnya akan lebih efektif.
Namun dukungan untuk penciptaan dan produksi ini baru sebagian dari cerita. Jika ingin melihat film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri maka kita perlu memastikan agar film yang bermutu sampai ke penonton dan bisa diterima dengan baik. Saat ini banyak film bermutu hanya beredar terbatas karena pertimbangan komersial sangat dominan dalam urusan distribusi film. Saat menyusun tulisan ini saya sempat berdiskusi dengan rekan-rekan di kementerian tentang kemungkinan menjadikan film bermutu, dan karya budaya bermutu lainnya, sebagai bahan ajar dan masuk ke dalam kurikulum.
Langkah ini adalah investasi jangka panjang. Penggunaan film bermutu di satuan pendidikan akan memupuk kebiasaan menonton dan memahami film lebih dari sekadar hiburan di waktu senggang. Jika di abad lalu kita menekankan pentingnya sastra dalam pendidikan karakter, maka di abad ini kita wajib menambahkan film dan media. Dalam jangka panjang investasi seperti inilah yang akan memperkuat kedudukan film Indonesia sekalipun ada arus kebudayaan yang deras datang dari arah berlawanan.
Seluruh rangkaian dalam ekosistem ini memerlukan tenaga profesional yang andal, mulai dari penulis dan desainer produksi sampai pada pekerja teknis terkait berbagai aspek produksi film dan agen distribusi. Dan, itu tidak cukup dengan hanya menambah jumlah sekolah film atau program peningkatan kapasitas. Teknologi digital mengubah lanskap media, termasuk film, secara sangat signifikan. Kita perlu pendidikan bidang film yang senantiasa mengikuti perkembangan mutakhir agar kita tidak selalu mengatasi ketertinggalan dari yang lain tapi juga bisa berdiri di depan.
Semua ini mungkin terdengar ideal. Tapi, sebenarnya masuk akal. Tergantung dari mana kita melihatnya. Di sini peringatan Sjumandjaja agar kita tidak terjebak berpikir seperti borjuis kelontong menjadi penting. Investasi di bidang film secara keseluruhan bukan perkara untung rugi semata, tapi soal masa depan bangsa. Kita tidak hanya memikirkan economic return, tapi juga social return dari investasi di bidang film. Kita tidak hanya berbicara tentang satu atau dua proyek film bermutu, tapi pada keseluruhan ekosistem yang bisa terus memproduksi film bermutu.
Kita tahu bahwa film yang bermutu belum tentu berhasil secara komersial. Karena itu, diperlukan kebijakan afirmatif untuk memastikan film ini sampai ke penonton yang lebih luas. Tentu ini bukan berarti bahwa film bermutu dengan social value tinggi sudah pasti merugi. Dengan kebijakan yang tepat kita boleh berharap lahirnya lebih banyak film bermutu dengan social value tinggi dan juga berhasil secara komersial. Atau dalam bahasa Sjumandjaja, film yang ”bagus dan bermutu dan bagi konsumsi rakyat!”
Hilmar Farid
Direktur Jenderal Kebudayaan