Berbagi Layar untuk Masa Depan
Kehadiran layanan ”over the top” merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Meski begitu, bagi pembuat film, bioskop tetap tujuan utama.

Salah satu bagian acara Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Presiden Joko Widodo hadir dalam acara itu.
”Sejarah Film dan Media Baru”. Itulah tema yang diusung dalam pergelaran Festival Film Indonesia 2021 yang berlangsung pada Rabu lalu. Adaptasi terhadap situasi dan perkembangan teknologi merupakan keniscayaan bagi siapa pun, termasuk para pelaku industri perfilman Tanah Air. Ini semua demi merintis masa depan perfilman Indonesia yang kian cerah.
Rabu (10/11/2021) malam di JCC Senayan, Jakarta, menjadi malam gemilang bagi film Penyalin Cahaya besutan sutradara muda Wregas Bhanuteja. Sebanyak 12 Piala Citra dimenangi film yang pertama kali ditayangkan di Busan International Film Festival ke-26 itu. Untuk selanjutnya, film yang berkisah tentang penyintas kekerasan seksual ini akan tayang melalui saluran over the top (OTT) pada Januari 2022.
Layanan tontonan streaming berbayar ini memang tengah merekah seiring pandemi yang memaksa orang beraktivitas di rumah dan operasional bioskop dihentikan sementara. Tingginya kebutuhan hiburan untuk bertahan di tengah pandemi menjadikan layanan ini diserbu berbagai generasi. Pilihan film beragam dari lokal hingga manca dengan berbagai genre dapat dinikmati hanya sekali klik.
Hal ini pula yang melandasi Penyalin Cahaya dilempar ke jejaring OTT, bukan ke bioskop. ”Kondisi pandemi memang menjadi alasan. Namun, selain itu, isu yang kami angkat dalam film ini, kan, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara sehingga Penyalin Cahaya ini pas jika dipasarkan melalui OTT yang jangkauannya luas ke berbagai negara,” tutur Wregas saat dijumpai seusai merayakan kemenangannya sebagai Sutradara Terbaik FFI 2021.

Pemain, tim produksi, dan produser film ”Penyalin Cahaya” berfoto untuk media setelah meraih penghargaan film cerita panjang terbaik pada acara Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Jakarta Convention Center di Jakarta, Rabu (10/11/2021) malam. Film ”Penyalin Cahaya” mendapat 12 Piala Citra dari 17 nominasi.
Kendati demikian, bioskop tetap diincar oleh Wregas untuk karya-karya selanjutnya. Namun, kembali lagi, situasi dan kondisi juga turut menentukan. Jika pandemi masih mengintai dan operasional bioskop belum optimal, pilihan untuk menggelontorkan filmnya ke saluran OTT merupakan langkah yang tetap akan ditempuh.
”Bisa juga saling melengkapi. Ini, kan, sudah sering terjadi. Karena kalau bagi kami pembuat film ini, pesan dari film ini dapat tersampaikan ke masyarakat luas,” ujar Wregas.
Sutradara Ernest Prakasa juga berpendapat serupa. Kehadiran OTT ini merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari meski bioskop tetap tujuan utama. Bahkan, sejak 2020, FFI melonggarkan syarat dengan memperbolehkan film yang tayang melalui OTT bersaing. Ini merujuk juga pada berbagai festival, seperti Academy Awards, Golden Globe, dan Emmy Awards yang membuka peluang bagi tayangan OTT.
Pada 2020, film Mudik, Humba Dreams, dan Guru-guru Gokil masuk dalam jajaran nominasi. Tahun ini, ada Penyalin Cahaya, Ali dan Ratu-ratu Queens, Layla Majnun, Bidadari Mencari Sayap, Sobat Ambyar, Sejuta Sayang Untuknya, dan A Perfect Fit.
Baca Juga: ”Penyalin Cahaya” Kuasai Panggung FFI 2021
Pendiri rumah produksi Miles Films, Mira Lesmana, juga berpandangan saluran OTT menjadi pilihan masuk akal di masa pandemi ini. Tak hanya bagi para penggemar, tetapi juga bagi para produsen film. Walakin, keberadaan bioskop sebagai pilihan utama juga tetap harus dipertahankan karena ada pengalaman dan suasana yang tak bisa tergantikan.
Sutradara Upie Guava yang film dokumenternya bertajuk Kemarin masuk dalam nominasi FFI 2021 menyadari pemasaran dan pemutaran film tak akan sama lagi kondisinya dibandingkan dengan sebelum pandemi. Yang mampu beradaptasi yang akan bertahan.

Pengunjung mengantre membeli tiket bioskop di pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (13/11/2021). Dibukanya kembali bioskop menjadi angin segar tidak hanya bagi para penonton, tetapi juga para sineas di Tanah Air.
”Enggak ada istilah kembali. Semua industri seperti itu. Pandemi mempercepat yang sudah terjadi. Sebelum pandemi, OTT memang sudah ada,” katanya, yang filmnya pun kini dipasarkan di OTT dan telah merambah hingga Malaysia.
Produser Palari Films, Meiske Taurisia, pun menekankan, bioskop dan OTT ini bukan saling bersaing. ”Kita perlu lihat hubungan mereka itu komplementer. Ini bukan persaingan yang salah satu harus die (mati) gitu. Jadi, ini, tuh, saling melengkapi,” tutur Meiske yang biasa disapa dengan nama Dede ini.
Dengan pemahaman bahwa bioskop dan OTT saling melengkapi, sebagai produser Dede mengatakan akan lebih memikirkan bagaimana cara untuk menayangkan film-filmnya di dua platform tersebut. Ada promosi-promosi yang lebih pas untuk bioskop, tetapi ada juga promosi yang lebih pas di OTT.
”OTT itu, kan, sebuah bentuk tontonan yang bisa dibilang baru, mungkin baru muncul dalam kurun 10 tahun terakhir, sementara bioskop sudah muncul dari early 1.900. Jadi, orang-orang memang lebih familiar nonton di bioskop karena memang kita punya histori yang panjang dengan bioskop,” ujarnya.
Baca Juga: Menjaga Film Indonesia Melalui Festival Film Indonesia
Dalam konteks Indonesia, ada kategori komunitas karena belum banyak tempat memiliki bioskop dan memiliki akses internet. Sebagai produser, penting untuk melihat peluang yang ada pada tiga platform tersebut. Sangat perlu untuk memaksimalkan serta mengefektifkan kesempatan dan peluang yang ada dengan mencoba semua platform.
Mencari bentuk
Perkembangan OTT yang melonjak pesat dipicu pandemi ini tetap menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya menjaga kualitas film, apa pun medium tayangnya. Bukan berarti tayang di layar kecil kemudian mengabaikan kualitas. Ditambah permintaan yang tinggi, kadang kala kuantitas lebih dikejar ketimbang kualitas.

Deretan film Indonesia yang disiarkan melalui layanan ”streaming” Netflix. Keberadaan layanan ”over the top” atau OTT melalui ”streaming” internet ini menjadi pilihan para sineas di Tanah Air untuk memperkenalkan karyanya ke penonton yang lebih luas di berbagai belahan dunia.
Hal ini tentu perlu dipikirkan agar laju film Indonesia yang sudah berada di jalur yang tepat ini tak lagi mundur ke era ketika film Indonesia minim variasi. ”Industri yang sehat, kan, saat produknya beragam,” ujar Ernest.
Mira juga mengingatkan hal senada. Film dan bioskop Indonesia pernah mengalami masa pasang surut dan keterpurukan. Salah satunya di era 1990-an saat teknologi siaran dan stasiun televisi swasta tengah meledak dan mengambil alih pilihan masyarakat mengakses informasi dan hiburan.
Tak sedikit dari para sineas berbondong hijrah memproduksi sinetron untuk ditayangkan di berbagai stasiun televisi swasta. Sinetron pun diproduksi tanpa diimbangi dengan kualitas karena pertimbangan angka rating yang seolah menjadi penentu dan bahkan sangat mendikte. Kondisi kurang lebih sama dinilai Mira juga rentan terjadi kembali di masa sekarang.
Preferensi dan pola menonton pelanggan OTT pada kenyataannya sangat ditentukan sistem algoritma yang rumit. Alih-alih berpeluang besar menjangkau penonton asal negara-negara belahan lain dunia, sistem algoritma tersebut bukan tidak mungkin justru membuat film Indonesia tidak populer di dalam negeri. Bahkan, dapat menekan penentuan alur cerita yang dianggap cukup laku saja.
”Memang belum semua pihak menyadari semua itu. Kecuali para kreator, mereka sudah sadar betul jangan sampai didikte sistem algoritma yang rumit itu. Jika sudah mengalami tekanan waktu, deadline, dan sebagainya, mereka bisa terjebak dan kembali menghasilkan konten-konten yang tak lagi bisa berbicara, apalagi menjadi karya unik dan spesial,” papar Mira.
Di sisi lain, mekanisme perhitungan untuk semua pihak, baik produser, pembuat film, maupun pihak layanan juga perlu dicari bentuk yang menguntungkan semua pihak. Sebab, jika bicara keuntungan, bioskop masih lebih ’cuan’. ”Memang the biggest revenue sampai sekarang ini saya rasa kalau di Indonesia masih bioskop. Karena itu, penting banget momen kayak sekarang bioskop udah buka lagi dengan persaingan film lokal dan film Hollywood yang jadinya emang bikin deg-degan banget,” tutur Dede.

Suasana pengambilan adegan dalam film ”Seperti Dendam, Rindu Juga Harus Dibayar Tuntas”.
Selain itu, di layanan OTT, terdapat dua kategori film, yaitu yang disebut akuisisi dan original. Film akuisisi adalah film yang sebelumnya tayang di bioskop, lalu diputar di OTT. Adapun original langsung tayang di OTT tanpa lewat bioskop. Sistem finansial kedua kategori tersebut juga berbeda. Untuk film akuisisi, OTT berperan sebagai pembeli sehingga mereka tidak terlibat sejak awal. Untuk film original, pembiayaan bisa 100 persen dari OTT.
”Kalau kita ngeliat dua itu, kita juga perlu lihat lebih jauh lagi, seberapa OTT sudah memberikan keuntungan kepada produser Indonesia. Akhirnya, ujung-ujungnya, saya akan bertanya balik juga, berapa banyak film original yang udah diproduksi? Kalau enggak banyak, artinya mereka pun ibaratnya masih cek ombak,” kata Dede.
Produser rumah produksi Tanakhir Films, Mandy Marahimin, juga sepaham, pendapatan yang bisa diperoleh dari penjualan tiket bioskop bisa sangat tinggi ketika film yang ditayangkan banyak ditonton orang dan menjadi box office.
”Jadi, kalau filmnya box office, penontonnya banyak, potensi revenue-nya jadi tak terhingga. Tinggal filmmaker-nya saja, dia siap me-manage risiko yang seperti apa. Buat saya itu pilihan, termasuk kalau ingin menjual film kita ke OTT,” ujar Mandy.
Terkait harga yang ditawarkan pihak OTT saat membeli film dari rumah produksi, Mandy menyebut hal itu sepenuhnya berdasarkan negosiasi antarpelaku bisnis (B2B). Standardisasi harga di tingkat internasional pun menurut Mandy juga tidak ada dan sepenuhnya didasari negosiasi.
Variatif
Menurut pengamat sinema, Hikmat Darmawan, keberadaan digital platform ini perlu direspons dengan tepat. Tantangan bagi para filmmaker adalah terkait kesadaran medium. Bagaimana membuat film sesuai dengan capaiannya. Pengalamannya dalam menjuri FFI 2021 ini memperlihatkan hal itu. Ada film yang bagus secara teknis di OTT, tetapi tidak menonjol di layar lebar. Ada pula yang ditonton di OTT terkesan biasa saja, tetapi saat disaksikan di layar lebar tertangkap lebih baik elemen yang ingin disampaikan.
Bagi produser, menemukan model bisnis yang tepat tentu harus menjadi pembicaraan utama karena ini juga berdampak pada keberlangsungan film Indonesia ke depan. Mencermati kondisi saat ini, film Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan berpotensi maju dengan distribusi yang lebih luas karena ada perkembangan teknologi yang pesat.

Salah satu adegan dalam film ”Yuni” arahan sutradara Kamila Andini yang memenangkan penghargaan Platform Prize di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021.
Akan tetapi, kehadiran OTT dan mulai kembalinya bioskop harus disikapi agar tidak sekadar menciptakan pasar banal yang disebut bagus di negeri sendiri, tetapi gagap bersaing di kancah global. Tahun ini, berkibarnya Yuni dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bisa menjadi acuan film Indonesia akan punya masa depan cerah apabila semua pihak menyadari pentingnya keragaman dalam film dan mengikuti perkembangan global. ”Jangan jadi bubble, tetapi harus bisa bicara di kancah global,” kata Hikmat.
Film Indonesia tengah menemukan momentum. Keberadaan OTT bersanding dengan bioskop bisa menjadi wacana pembuka bagi para penonton untuk terbuka pada keragaman film sehingga tak terjebak pada dominasi yang menggerus kreativitas para kreator.