Nasib Sudah Menjadi Burjo
Pandemi menghantam berbagai usaha, tak terkecuali warung-warung bubur kacang hijau. Sebagian lokasi terpaksa ditutup tapi bukan berarti pedagangnya menyerah. Mereka melakukan berbagai inovasi agar dapurnya tetap berasap.
Tekanan pandemi yang berangsur melandai menerbitkan asa pengusaha bubur kacang hijau untuk kembali meraih laba. Warung-warung mulai ramai dengan pramusaji dan pengunjung yang tetap menerapkan prokes. Meski sejumlah tempat terpaksa tutup, semangat mereka tak surut untuk melanjutkan usahanya.
Di Warung Kopi (Warkop) Berkah Big’s Family di Ciganjur, Jakarta, pengunjung datang silih berganti dengan mengenakan masker. Mereka menyesap kopi dan menikmati makanan sembari mengobrol dan bermain gawai, Selasa (26/10/2021). Sebagian dari mereka duduk berjam-jam. Pembeli hilir mudik membeli makanan untuk dibawa pulang. Denyut dan gairah normal baru memang sudah terasa.
Warung itu termasuk jaringan yang dimiliki H Saleh Afif (48) dan didirikan 23 tahun lalu. Warkop Berkah Big’s Family tersebar di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan produk utama bubur kacang hijau, bubur ayam, mi instan, gorengan, dan kopi.
Dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 2, Warkop Berkah Big’s Family kembali melangkah. ”Kita buka dan tetap ikuti prokes. Alhamdulillah, mulai cuan (untung) lagi,” kata Saleh sambil tertawa. Ada nada optimisme dari binar mata dan suaranya.
Perluasan dan perbaikan warupun terus dilakukan. Banyak yang semula hanya satu kios, berubah menjadi dua kios. Yang dua kios, bertambah luas menjadi ukuran tiga kios. ”Kita lihat prospeknya. Ternyata kenyamanan itu identik dengan luas. Hasil percobaan, signifikan omzetnya. Ketika dilebarkan, omzet juga nambah,” kata Saleh di kantornya yang juga berada di Jagakarsa.
Akibat pandemi
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Akibat pandemi, jumlah outlet Warkop Berkah Big’s Family berkurang. Dari 105 outlet sebelum pandemi, Saleh harus menutup 15 di antaranya. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak bisa dihindari hingga setidaknya mencapai 60 orang. ”Pandemi ternyata ujian. Makanya, bisa bertahan sudah syukur banget,” terang Saleh.
Ia menggunakan subsidi untuk warung-warung yang dianggap masih bisa berkontribusi. ”Saya bertahan hampir dua tahun buat nombokin kontrakan. Waktu tahun 1998 sudah mengalami, tetapi tak separah ini karena meski harga berubah masih bisa jualan. Sekarang, orang enggak datang,” kata Saleh.
Sebagai gambaran, pada September–Oktober 2021, 20 kontrakan jatuh tempo bersamaan. Saleh harus membayar hingga Rp 350 juta. Meski babak belur, untungnya Saleh tak sampai menjual asetnya.
Saleh berusaha menerima bahwa di tengah prahara bukan konsepnya yang salah. Namun, karena situasi mendorong munculnya kebijakan yang seolah tak memihak pelaku usaha. ”Alhamdulillah, sampai saat ini bisa bertahan. Bersyukur banget,” terang Saleh.
Suasana di warung sekaligus tempat produksi minuman rempah-rempah Wedang Rempah Berkah di Dusun Wage, Desa Balong, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Kamis (28/10/2021). Usaha rumahan ini memproduksi beragam racikan minuman rempah siap saji dari bahan-bahan rempah cengkeh, kapulaga, jahe merah, kayu manis, secang dan sereh. Omzet usaha yang merambah ke pasar di beberapa kota di Jawa Barat, Jabodetabek, ternate, Mataram hingga ke Malaysia dan Jepang ini mencapai Rp 10 juta per bulan. Permintaan pasa minuman rempah siap saji dengan beragam kahsiat seperti meningkatkan imun dan stamina tersebut sempat melonjak saat awal pandemi.Sisi terang pandemi bagi Saleh adalah melahirkan produk baru, wedang rempah yang terinspirasi wedang uwuh. Selama pandemi, jahe merah adalah rempah yang dicari orang. Saleh mengembangkan produk itu dari minuman jahe yang tersedia di warkop. ”Ternyata, responsnya bagus,” kata Saleh tentang usaha baru yang ia dirikan di kampungnya itu.
Wedang rempah terdiri dari kapulaga, kayu secang, cengkeh, jahe merah, sereh, dan kayu manis. Produk itu dipasarkan di toko oleh-oleh dan warung di Kuningan. Saleh merekrut kembali mantan karyawannya yang terkena PHK.
”Alhamdulillah, booming. Banyak permintaan. Sekarang, ada di outlet-outlet (warkop) saya. Namanya Wedang Rempah Berkah. Sudah berizin. Halal juga sudah ada,” kata Saleh.
Usaha keluarga
Awalnya, Saleh belajar di Warkop Berkah milik kakaknya di Manggarai, Jakarta. ”Kebetulan, keluarga saya usahanya bubur. Waktu itu, pakai gerobak. Kakak saya semuanya enam orang, jualan di Manggarai,” tutur Saleh.
Saleh kala itu bekerja di kampungnya, Desa Balong, Kecamatan Sindangagung, Kuningan, sebagai agen asuransi selama tiga tahun. Melihat Saleh ’bekerja’ dengan cara berbeda, kakak-kakaknya membujuk Saleh agar nyemplung di usaha yang sama.
Saleh pun setuju. Setelah dua bulan, Saleh berani membuka warkop pertamanya di Gunung Sahari, Jakarta. ”Dulu, Rp 5 juta bisa punya warung. Kalau sekarang, harus ditambah nol (Rp 50 juta),” katanya berkelakar.
Respons konsumen yang bagus, ditambah jiwa lapangan yang besar, membuat Saleh terus mengembangkan usahanya. Saleh lalu membuka warkop di Sunter lalu di Pancoran, Jakarta. ”Alhamdulillah, ramai,” ujarnya.
Saat mencapai 10 warkop, kira-kira 15 tahun lalu, nama Warkop Berkah Big’s Family mulai digunakan. Hingga tahun 2019, Warkop Berkah Big’s Family memiliki lebih dari 100 outlet. Saleh merangkul karyawannya yang rata-rata juga keluarga dan warga Desa Balong.
”Kalau mereka sudah pintar, saya bikinkan (warkop). Modelnya, kaderisasi. (Warkop) tetap milik saya tapi berbagi dengan karyawan biar ada rasa memiliki,” beber Saleh. Saham kepemilikan warkop beragam mulai 25 persen hingga 50 persen.
Sutisna (44) juga tak kuasa mengelak dari dampak pandemi. Warga Desa Windusengkahan, Kecamatan Kuningan, Kuningan yang berjualan bubur kacang hijau, mi instan, dan bubur ayam di Malang, Jawa Timur itu terpaksa menutup satu warungnya. Kini, ia mempertahankan warung satu-satunya di Jalan IR Rais.
”Itu warung pertama saya yang buka mulai tahun 2018. Disusul warung kedua, tahun 2019 tapi sudah tutup tahun 2020,” kata Sutisna. Ia menjual bubur kacang hijau bermodalkan pengalaman yang sama pada tahun 1997-2000, saat kuliah di Yogyakarta.
”Harus bertahan. Kiat saya, bermitra dengan ojek-ojek dan toko daring. Kasih diskon juga. Sekarang, lebih banyak makanan dipesan secara daring,” ujarnya. Seiring level PPKM dan kasus Covid-19 yang menurun, jumlah pembeli pun berangsur meningkat.
”Saat puncak pandemi, jumlah pengunjung anjlok hingga 60 persen dibandingkan sebelumnya. Sekarang, sudah naik sedikit atau sekitar 50 persen,” katanya.
Sejak kecil, Kurnaedi (24) sadar, pekerjaan di Desa Padarama, Kecamatan Ciawigebang, Kuningan, sangat terbatas. Apalagi, ia tak menyelesaikan bangku sekolah menengah. Edi, begitu sapaannya, merantau ke Jakarta pada tahun 2014.
Edi bekerja sebagai penjual di Warung Makan Indomie (Warmindo). Awalnya, ia berjualan di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Setelah sempat pindah ke Pulo Gadung Edi berjualan di Kemanggisan, Jakarta sejak akhir tahun 2018. ”Di kampung susah. Biasanya, kerja pabrik, bertani, atau jual bubur keliling,” ujar Edi.
Namun, pandemi menghantam sehingga warung tutup pada Maret dan April 2020. Edi sempat pulang kampung. ”Paling bantu ibu dan ayah bertani, lalu main sama nganggur. Bisa dibilang pasrah,” tutur Edi.
Setelah berangsur pulih, warung kembali buka. Meski belum sebanyak dulu, Edi mulai melayani pelanggan sekitar 15-20 orang per hari.
Meski pandemi menghantui, punya warmindo dan jualan burjo tetap jadi mimpi banyak anak muda di desa-desa Kuningan. Bagaimanapun warmindo dan warung burjo tetap menjanjikan sebagai jalan memperbaiki nasib. Apalagi kisah sukses para pedagang warmindo dan burjo di tanah rantau, seperti mantra yang terus berseliweran. Tidak heran, ada saja warga desa yang rela menjual lahannya demi membeli tanah di Jabodetabek untuk berdagang bubur.
Meski demikian, perjuangan pedagang burjo tidaklah mudah. Ibaratnya, mereka harus siap menjadi ”gembel” di kota. Sehari-hari mereka tidur di atas bangku dengan warung yang apa adanya.
Andi Waruga (43), pedagang burjo di Yogyakarta, misalnya, harus tidur selonjoran di bangku karena warungnya sempit. Warga Desa Dukuhkawung, Kaduagung ini telah merasakan hasilnya. Selain rumah, mobil, dan lainnya, Andi juga bak duta Kuningan di tanah rantau. Bersama pedagang lainnya, ia kembali membangkitkan Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) Yogyakarta.
Setidaknya terdapat 1.000 warung burjo di Yogyakarta. Setiap bulan, kata Andi, satu warung mengirim Rp 3 juta ke Kuningan. Artinya, sekitar Rp 3 miliar uang dari perantau berputar di kampung per bulan.
Warmindo dan burjo memang menjanjikan. Dengan usaha gigih, hasilnya pasti ada. Oleh karena itu, bagi pedagang burjo asal Kuningan, ungkapan nasi sudah menjadi bubur yang menggambarkan rasa putus akibat tak ada lagi jalan keluar, tidaklah relevan.
Di tangan mereka, bubur menjadi peluang meningkatkan kesejahteraan hidup. inilah nikmatnya nasib sudah menjadi burjo! Nyammm...