Ramai-ramai Meninggalkan Kota Membangun Desa
Mimpi indah hidup di kota rupanya dapat menjadi nyata di desa. Anak-anak muda ini meninggalkan kota dan ramai-ramai membangun desa berbekal pengalaman dari kota dan impian yang pernah mereka bawa ke kota.
Hidup di kota tidak selalu gemerlap bagai bayangan awam. Terkadang, ketenangan batin justru bersemayam di kampung sendiri. Bagi sebagian orang, lebih baik membangun kembali tanah kelahiran dengan berbagai kreasi ketimbang mengais hidup di perantauan.
Masa sembilan tahun hidup melaju Jakarta-Kediri setiap akhir pekan sudah cukup bagi Dwidjo U Maksum. Ia memutuskan berhenti dan kembali untuk menetap di kampung halamannya, Kediri, Jawa Timur.
”Bolak-balik memang benar-benar mantab alias makan tabungan. Ha-ha-ha. Kalau orang melihat, kok, sepertinya saya itu enggak ada capeknya. Tapi, waktu itu memang sudah saya tetapkan, pada satu titik saya harus pulang,” ujar Dwidjo saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (21/10/2021).
Berbekal modal pengetahuan dan pengalaman panjang sebagai jurnalis senior media massa terkemuka, Dwidjo mendirikan platform digital pemberitaan jurnalisme warga, Kediripedia.com, pada tahun 2015. Sesuai namanya, platform yang memperoleh Anugerah Jurnalisme Warga 2021 kategori media ini menjadi ensiklopedia modern yang merangkum beragam data hidup, baik berupa artikel, foto, dan video.
Untuk menjaga netralitas, Kediripedia.com bebas iklan. Langkah ini tidak mudah. Mereka pernah dihubungi pasangan calon tunggal kepala daerah Kabupaten Kediri saat memberitakan tentang aturan terkait pilkada dengan satu pasangan calon saja. Hal itu dinilai Dwidjo sebagai upaya memengaruhi indenpedensi Kediripedia.com. ”Saya bilang, kami cuma mengangkat isu untuk mengedukasi publik tanpa maksud apa pun,” ujar Dwidjo.
Sebagai gantinya, Dwidjo mencari sumber pendanaan alternatif dengan menjual kaus dan barang lainnya. Kerja sama antarinstitusi pun dijalin, seperti kegiatan pelatihan atau menjadi pembicara. Kediripedia.com juga memproduksi film-film pendek dengan bujet terbatas tentang isu ekonomi dan sosial setempat.
Beberapa judul film yang telah dirilis, antara lain, Air Mata di Ladang Tebu, Renjana Torehan Canting, dan Renggut. Renggut, yang berkisah seputar isu pekerja migran dan praktik perdagangan manusia, baru saja diikutsertakan ke festival film kemanusiaan di Hainan, China. Penggarapan film-film pendek ini banyak terbantu partisipasi dan swadaya masyarakat meskipun mereka tidak dibayar.
Dwidjo menyebutkan, proses pemberdayaan masyarakat tak harus selalu dengan cara memberi sesuatu, tetapi juga dengan mengajak masyarakat terlibat langsung melakukan sesuatu. ”Saat filmnya sudah jadi dan ditayangkan nanti, kan, yang bangga juga mereka. Sementara kami malah enggak nongol di film,” tambahnya.
Perasaan tak betah di kota besar juga mengendap dalam hati Singgih S Kartono (53). Singgih sebelumnya sudah cukup mapan dengan profesinya sebagai desainer produk di Bandung, Jawa Barat. Namun, ia tak kerasan tinggal di sana. ”Saya keluar dari perusahaan tahun 1995. Di kota besar enggak nyaman. Saya lebih senang hidup di daerah yang sepi,” katanya.
Singgih akhirnya pulang ke Desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, setelah tiga tahun menggeluti kerajinan kayu. Ia bertekad membangun masyarakat rural dengan caranya sendiri, yakni dengan memproduksi sepeda dari bambu dan radio dari kayu.
Pada 2013, Singgih terinspirasi untuk ikut mengembangkan sepeda dari bambu, Spedagi, setelah terpesona melihat sepeda bambu karya Craig Calfee dari Amerika Serikat. Ia sekaligus merasa sangat tertampar karena sepeda itu bisa diproduksi di Amerika dan Eropa yang tak ditumbuhi tanaman itu. Padahal, bambu melimpah di Indonesia.
Spedagi adalah kepanjangan dari sepeda pagi yang kerap dilakukan Singgih untuk menjaga kesehatannya. Spedagi hanya dibuat sekitar 15 rangka per bulan, tetapi sungguh istimewa. ”Saya menerapkan metode manajemen modern untuk produksi berbasis kerajinan tangan. Ternyata, warga desa bisa menjalankannya,” katanya.
Sementara itu, Magno, radio kayu yang diproduksi hingga 100 unit per bulan, diekspor ke Jepang, Eropa, dan pernah ke Amerika. Magno dengan presisi tinggi dihasilkan dengan memberdayakan pemuda-pemuda desa. Jumlah pekerja hanya sekitar 15 orang, tetapi Singgih takjub karena mereka mampu melampaui ekspektasi.
Upaya Singgih diapresiasi hingga di tingkat global. Singgih meraih penghargaan internasional, seperti Brit Design of the Year 2009 dari Museum Desain di London, Inggris, untuk radio Magno. Pada tahun 2018, ia juga menggondol Gold Award dalam Good Design Japan untuk Spedagi.
Daripada fokus menjadi pebisnis untuk membesarkan perusahaan, Singgih punya aspirasi lain. Laki-laki ini justru menaruh hasrat jauh lebih besar dengan menginisiasi gerakan sosial untuk memotivasi masyarakat desa. Ia pun menggagas Spedagi Movement, Pasar Papringan, Murakabi, dan International Conference on Village Revitalization (ICVR).
”Tinggal di desa itu keren. Saya sudah menunjukkannya. Masalahnya, desa enggak dibuat maju. Kalau maju, tentu tinggal di desa mengasyikkan sekali. Saya percaya desa bisa maju lebih cepat dari negara karena ukuran yang kecil dan otoritasnya sangat banyak,” ujar alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ini.
Potensi desa
Dari Indonesia timur, Dicky Senda (34) memiliki ceritanya sendiri. Enam belas tahun lalu, ia merantau untuk studi jurusan psikologi di Yogyakarta. Ia tercengang dengan ketimpangan sosial antara Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur, khususnya tempat kelahirannya di Desa Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan.
Di tengah kekagetan itu, Dicky mengenal dunia pendidikan. Dicky sempat bekerja sebagai guru honorer di sebuah sekolah alam di Yogyakarta. Ia pun terinspirasi membuat sekolah serupa di Mollo. Pada 2011, Dicky beranjak ke Kota Kupang untuk bekerja sebagai konselor pendidikan di sebuah SMP swasta.
Lebih dari lima tahun Dicky berkarier, tetapi ia merasa hampa. Pemuda ini akhirnya mengundurkan diri pada 2016, meskipun sempat tak disetujui ayahnya. Dicky memilih fokus pada dunia sastra dan komunitas. Apalagi, sejak dulu ia sudah banyak mengumpulkan modal pengetahuan, pengalaman, dan jejaring. Dicky aktif menulis, bergabung dalam komunitas, serta mengikuti kegiatan sastra di luar kota.
”Waktu itu saya sadar saya pulang kampung tidak ada uang. Tapi saya harus punya modal sosial, yakni berjejaring, solidaritas, dan kerja kolektif,” kata Dicky dari Mollo.
Pulang ke Mollo, Dicky menghadapi realitas pahit. Mollo tidak berubah. Isu ketimpangan sosial, kualitas dan fasilitas pendidikan yang buruk, malnutrisi, dan perdagangan manusia masih marak terjadi. Anak muda Mollo juga menghilang untuk merantau mencari kerja.
Dicky akhirnya membuat Lakoat.Kujawas pada 2016. Berawal dari perpustakaan di belakang rumahnya, Lakoat.Kujawas bertransformasi menjadi kewirausahaan sosial berfokus pada pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif sekaligus menjadi ruang pengarsipan potensi desa. Saat ini ada sekitar 150 anak dan 50-60 orang dewasa yang terlibat dalam komunitas ini. Mereka tersebar di Desa Taiftob, Eonbesi, dan Obesi.
Segala potensi desa mereka garap. Lakoat.Kujawas membuat tur gastronomi dan rumah penginapan untuk pariwisata serta memasarkan produk lokal, seperti hasil kerajinan tenun dan hasil olahan pangan. Semua ini mereka lakukan sembari mengedukasi anak-anak Mollo lewat perpustakaan dan sekolah budaya. Budaya Mollo yang sempat memudar dicatat kembali.
”Lakoat.Kujawas bisa menjadi jawaban untuk kembali ke lokalitas. Kita sebenarnya memiliki kekuatan kampung dan bisa mandiri, tanpa mengikuti standar luar. Kalau kita mengikuti standar kesejahteraan dari luar, kita akan terus miskin,” ujar Dicky.
Baca juga: Sihir Digital Mengubah Perilaku Seni
Semangat kembali ke desa sejatinya dapat dipahami dari perspektif Alvin Toffler, futurolog dari Amerika Serikat. Jauh sebelum kemajuan teknologi digital sepesat saat ini, penulis ini menjelaskan, suatu waktu, sangat banyak orang bekerja di pelosok.
Toffler telah menyampaikan prediksi tersebut dalam bukunya yang sangat laris berjudul Future Shock dan diterbitkan Bantam Books pada tahun 1984. Koneksi global dengan kecanggihan telekomunikasi dan informasi amat mendukung pekerja.