Dimungkinkan oleh situasi yang agak membaik, penerbit Tanda Baca menyelenggarakan diskusi ”Kritik, Fakta, Fiksi” dengan peserta terbatas. Tema tadi adalah judul buku kumpulan esai saya di koran ini empat tahun terakhir semenjak saya pensiun. Diskusi diselenggarakan tanggal 13 Oktober 2021 di studio teman baik saya, pelukis Jumaldi Alfi, Sarang Building, Yogyakarta.
Bertemu langsung teman-teman dekat, sekitar 25 orang dalam ruangan gaya industrial dengan jendela-jendela besar berikut cahaya matahari sore menerobos sela-sela pohon besar, tentu beda dengan pertemuan yang diperantarai layar digital. Tubuh cenderung lebih jujur ketimbang pikiran. Lapar perlu makan, ngantuk tidur, capai harus istirahat, kalau dipaksakan ambruk. Memeluk teman yang dua tahun tidak ketemu, oh ya tidak apa-apa, hanya sekian detik, sambil membaui wangi parfumnya.
Agus Mulyadi, blogger, dikenal dengan nama @AgusMagelangan yang menjadi pembahas buku menyebut saya adalah orang yang terlambat masuk dunia digital. Cara ia bicara kocak, mengingatkan pada pelawak Basiyo pada zamannya. Seisi ruang ger-geran—suasana gayeng yang mustahil didapat dalam interaksi virtual.
Ia mengamati baru beberapa waktu saya memanfaatkan Twitter dibanding dirinya yang telah bertahun-tahun. Dalam hal ini saya adalah orang kuno. Dari tulisan-tulisan saya ia menilai bahwa saya sangat berjarak dengan dunia digital. Perupa Ronald Apriyan menambahi bahwa saya adalah makhluk purba yang harus dilestarikan.
Apa yang bisa saya katakan kecuali mengiyakan. Juga terima kasih kepada Ronald yang telah menggarap buku ini menjadi art work. Saya anggap itu cara dia mempertahankan keanggunan buku—tradisi yang melahirkan kemajuan termasuk kemajuan masa kini.
Tentu saja internet adalah juga ”rumah” saya sekarang: rumah kedua. Saya menikmati kemudahan mendapatkan apa yang saya cari secara seketika. Alamat rumah makan, cara masak sambal tempe, hotel apa yang nyaman, dan lain-lain. Gosip politik, omongan penguasa, dan berita para pesohor saya paling tidak minat.
Beda dengan dunia buku yang padat, fixed, dunia internet adalah dunia yang cair. Informasi mengalir terus-menerus tidak ada awal tidak ada akhir. Kadang tidak ada juntrungan.
Dari situ saya kadang melihat dunia lama, dunia buku. Buku menenggelamkan saya dalam perhatian penuh. Kesadaran saya berkonfrontasi dengan teks, mencoba menangkap koherensinya, mengonfrontasikannya dengan kesadaran sendiri. Membaca buku ada awal, ada akhir. Sampai halaman penutup kita bertanya pada diri sendiri: apa yang baru saja saya dapatkan.
Beda dengan dunia buku yang padat, fixed, dunia internet adalah dunia yang cair. Informasi mengalir terus-menerus tidak ada awal tidak ada akhir. Kadang tidak ada juntrungan. Sistem saraf kita dipacu untuk tahu segala hal secara terus-menerus, bangun tidur bergegas membuka layar digital. Beberapa orang buru-buru menyebarkan kata-kata bijak sambil buang hajat.
Serupa rezim totaliter, sejatinya internet juga menyeruak mengamati hidup kita sampai ke hal-hal pribadi. Bedanya, terhadap sebuah rezim kekuasaan orang-orang kritis masih bisa melakukan resistensi, terhadap totaliterisme internet kita menghamba dengan penuh suka cita. Kita mengumbar ke publik urusan pribadi seperti makan apa, piknik di mana, ruang keluarga kita, tengah memikirkan apa, kondisi batin kita, dan lain-lain.
Tentu saja tidak ada yang salah. Kita menggadaikan free will atau kehendak bebas kita dengan suka rela untuk dimanipulasi oleh sistem algoritma dunia internet. Hanya sebaiknya hati-hati, kita bisa dimanipulasi lebih daripada yang kita ketahui.
Itulah sebabnya sebisa-bisanya saya berusaha mengambil jarak dengan internet. Saya masih kurang percaya bahwa algoritma, data, bisa memborong semuanya termasuk kesadaran, intuisi, wangsit, dan semacamnya. Masih tersedia ruang kehidupan yang kontemplatif yang kita bisa menjalaninya, kalau mau.
Silakan semua orang menjalani kehidupan yang ramai gegap gempita penuh syak wasangka tiap detik tiap hari.
Bagi saya pribadi tetap sangat menyenangkan di Yogya sempat menengok Butet Kartaredjasa, Maria Hartiningsih, Mbak Sari yang baru saja buka restoran baru lagi, dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebut satu per satu.
Termasuk bertemu mereka yang jauh-jauh datang dari Jakarta, Magelang, Bali, dan lain-lain dalam diskusi yang hangat sore itu.***