Dampak positif gerakan kembali ke desa yang meluas untuk membangun daerah rural begitu besar. Tak hanya kecipratan rezeki, mereka berkesenian, menggencarkan konsumsi pangan lokal, hingga menggiatkan literasi tanpa putus.
Gerakan kembali ke desa menyebarkan manfaat untuk warga sekitar. Tak berhenti sampai di situ, sebagian dari mereka terus berbagi kebaikan dengan melakukan kegiatan positif lain. Faedah yang dirasakan tak hanya materi, tetapi juga kepekaan yang terasah dalam diri, bahkan terhadap lingkungan.
Eki Lestari (37) menunjukkan bengkel pembuatan Spedagi di Desa Kandangan, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (23/10/2021). Ketua Kelompok Pembentukan Sepeda dan Radio CV Piranti Works itu menunjukkan sekitar 30 mesin lewat panggilan video.
”Ada pengampelas, penggergaji, dan pengetam. Prosesnya mungkin sekitar 100 kali dari bahan mentah hingga jadi frame (rangka) sepeda,” katanya. Bambu betung yang dipotong lalu direbus, dioven, dan di-lamitaning. Berbeda dengan penjilidan di gerai fotokopi, laminating dilakukan untuk menyatukan dua hingga tiga lapis bambu.
Eki telah bekerja 14 tahun di perusahaan yang memasarkan produknya ke pasar global itu. Ia bertanggung jawab mendelegasikan alur produksi. ”Kalau bermasalah, saya lapor manajer. Selain Spedagi (sepeda), saya juga mengawasi pembuatan radio Magno,” katanya.
Ia mengecap maslahat besar berkat perusahaan milik Singgih S Kartono yang pulang untuk membangun Desa Kandangan itu. ”Saya menyambut positif karena lapangan kerja tersedia. Waktu saya melamar, besoknya langsung kerja. Saya hanya lulusan SMP,” ujarnya.
Eki diajari seniornya menghaluskan Magno dengan ampelas. Ia sempat nyaris putus asa, namun pekerja-pekerja lain mendukungnya. ”Rumit banget. Saya mau keluar, tapi mikir. Kalau enggak dipecat, berarti saya masih disayang,” katanya sambil tertawa.
Eki diterima sebagai karyawan produksi. Sesekali ia dimarahi, namun terus belajar. Sekarang, warga Desa Kandangan itu digaji sekitar Rp 2,2 juta per bulan atau lebih tinggi dibandingkan upah minimum Kabupaten Temanggung sekitar Rp 1,8 juta.
”Dekat juga. Saya jalan enggak sampai lima menit dari rumah. Jaraknya hanya 300 meter. Saya pun senang di Kandangan ada perusahaan yang produknya mendunia,” katanya. Sebelumnya ia bekerja di perusahaan mainan, namun kontrak pegawai pengemasan itu tak diperpanjang.
Eki hanya sekelumit gambaran betapa besarnya dampak positif gerakan kembali ke desa yang belakangan ini meluas demi membangun masyarakat rural. Tak hanya kecipratan rezeki, mereka juga berkesenian, menggencarkan konsumsi pangan lokal, hingga menggiatkan literasi tanpa putus.
Marlinda Nau (39) yang lebih dikenal sebagai Mama Fun, umpamanya, adalah warga Desa Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang merasakan manfaat Lakoat.Kujawas, kewirausahaan sosial inisiatif Dicky Senda. Mama Fun mulai bergabung dengan komunitas yang fokus pada pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif berdasarkan potensi lokal ini sejak Juli 2017.
Lakoat.Kujawas berdampak positif pada anak-anak desa. Anak pertama Mama Fun senang berkunjung ke perpustakaan Lakoat.Kujawas untuk belajar menulis, gitar, dan bahasa Inggris.
Mama Fun dan sejumlah perempuan lain kemudian membentuk kelompok tani dan meminta Dicky bergabung. Namun, kebutuhan tenaga yang besar dan kesibukan masing-masing membuat kelompok ini bubar.
Mama Fun akhirnya aktif sebagai pegiat pangan lokal. Ibu tiga anak ini mengolah dan bereksperimen dengan bahan pangan lokal bersama delapan anak muda. Mama Fun memanfaatkan bahan yang ditanam di kebunnya, seperti jagung, kacang-kacangan, dan ubi.
Bahan pangan lokal tersebut diolah agar menjadi lebih kekinian. ”Contohnya, kami buat es krim dari buah kujawas (jambu biji), labu kuning, dan jamu. Kami juga buat resep jagung bose yang seperti bubur menjadi sup dengan daging dan bumbu,” ujar Mama Fun.
Main film
Mama Fun teringat warisan kekayaan pangan yang terlupakan. Ia, misalnya, kembali mengolah kot laso atau kacang beracun jika diterjemahkan secara harfiah dari bahasa Dawan ke bahasa Indonesia. Mama Fun mencoba mengolahnya menjadi kue atau es krim.
”Terharu karena saya sempat lupa identitas, tapi sekarang pelan-pelan mengolah yang dulu pernah saya buat dengan orangtua,” ujarnya. Mama Fun bertemu, berdiskusi, dan berbagi pengalaman terkait pangan dengan komunitas serupa.
”Banyak manfaat, pelajaran, dan pengalaman bergabung di komunitas. Saya bangga ketika ada orang lain bertanya dan termotivasi. Ternyata, meski kita merasa sepele, itu bisa berguna dan diapresiasi,” katanya.
Pollo Imam Syafi’i (38) turut merasakan faedah serupa. Sebelumnya, ia adalah pekerja bangunan ilegal di Selangor dan Johor Bahru, Malaysia, namun terpaksa pulang karena sakit. Di Kediri, Jawa Timur, Pollo berkenalan dengan pemimpin redaksi sekaligus pendiri Kediripedia.com, Dwidjo U Maksum.
Dwidjo kembali ke Kediri untuk mendirikan situs jurnalisme warga tersebut pada tahun 2015. Pollo ditawari ikut kegiatan Kediripedia.com, salah satunya membuat film pendek. Pollo ditawari peran utama dalam film Air Mata di Ladang Tebu tentang Kirman, mantan orang buangan ke Pulau Buru, Maluku.
”Saya enggak punya pengalaman akting. Saya jalani saja,” ujar Pollo. Tahun ini, Pollo kembali terlibat dalam film Renggut.
Saat awal bermain film, ia mengalami kesulitan, terutama menghafal naskah panjang. Sering kali, saat sutradara memberi aba-aba mulai berakting dan kamerawan mengambil gambar, Pollo tiba-tiba blank. Akibatnya, beberapa adegan diambil gambarnya berkali-kali. ”Banyak manfaat ikut pembuatan film. Pekerjaan swadaya begini sangat menyenangkan,” ujar Pollo.
Benny Arnas (38) juga memutuskan pulang ke desa karena merasa malu. Jika orang-orang Minang selalu dengan penuh rasa bangga pulang kampung setelah lulus kuliah, sebagai lelaki yang lahir di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, ia juga harus melakukannya. Profesi sebagai asisten dosen dan pengajar nasyid di Padang, Sumatera Barat, ditinggalkan.
”Saya harus berbuat sesuatu untuk kampung halaman, tapi belum tahu mau melakukan apa,” katanya. Satelah lulus dari Universitas Andalas, Padang, Benny merasa kota itu tak cocok dengan cita-cita hidupnya.
Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, ia merasa bertanggung jawab atas kehidupan keluarga. Keputusan untuk pulang kampung sudah bulat. Setelah sempat bekerja di beberapa lembaga pemerintahan dan bimbingan belajar, ia menemukan pilihan profesi penulis dengan mendirikan Forum Lingkar Pena (FLP) Lubuk Linggau tahun 2008.
Program pemerintah
Setelah itu, bersama Desy Arisandi, seorang guru Bahasa Indonesia di pedalaman Musi Rawas, Benny menyatukan kekuatannya dengan mendirikan Benny Insitute tahun 2012. Pasangan yang menjadi suami-istri ini membawa Benny Insitute sebagai lembaga belajar bagi para calon penulis. ”Kami juga menerbitkan karya-karya penulis lokal, menggelar pertunjukan teater dan monolog,” katanya.
Berkat Benny Institute, penulis ini diundang ke berbagai perhelatan sastra dunia, seperti di Perancis, Jerman, Austria, Slovenia, Kroasia, Hongaria, Belanda, Belgia, Spanyol, dan Portugal. Kini Benny Institute telah melahirkan 1.088 alumus. ”Mereka telah mengikuti kelas-kelas di Benny Institute, antara lain kelas menulis, seni peran, diskusi film, klub buku, dan aksara Ulu,” ujarnya.
Menurut Benny, keputusan pulang kampung sebenarnya berkelindan dengan keberanian menciptakan peluang. Apa yang selama ini belum dieksplorasi secara maksimal menjadi tugas siapa pun yang berani pulang kampung di masa kota seolah menjadi magnet bagi orang-orang desa. ”Harus berani dan siap mulai dari nol,” katanya.
Dosen Program Studi Sosiologi Fakulitas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Budi Sutrisno, memandang desa kian semarak dengan berbagai aktivitas membangun. ”Selain gerakan kembali ke desa, berbagai dukungan pemerintah juga menstimulasi fenomena itu,” ujarnya.
Program tersebut, umpamanya, berupa dana desa. Pemerintah juga membentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. ”Pandemi yang didorong kecanggihan teknologi pula membuat banyak individu lebih leluasa beraktivitas di desa,” katanya.