Fujifilm GFX Series, Mengalirkan Roh Fotografi
Menemukan kembali roh fotografi sesungguhnya, dengan prinsip memotret itu berpikir dan butuh kesabaran, memakai dua kamera beda generasi, yaitu satu kamera teknologi mekanis lawas dan satunya digital kekinian.

Kamera Fujifilm GFX 100S digunakan untuk pemotretan di pabrik gula Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah.
Delapan belas tahun lalu pabrik gula Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, seperti tengah mengalami masa jayanya. Proses produksi di pabrik gula ini menjadi pemandangan kolosal yang menakjubkan. Para pekerja di ladang tebu hingga proses pemasakan gula di dalam pabrik, loko-loko uap menarik lori bermuatan tebu dan mesin-mesin pabrik bekerja dengan tenaga uap sangat sibuk saat musim panen itu.
Tepatnya pada 2003 itu, saya menyempatkan diri merekam foto dokumenter dengan mengggunakan dua kamera. Kamera analog SLR dengan film negatif hitam putih 35mm dan kamera DSLR dengan kemampuan 6,31 megapiksel, sebuah kamera digital yang cukup mumpuni di eranya.
Pada pengujung September 2021 lalu, saya sengaja membawa dua kamera berbeda generasi, kamera analog dan kamera digital, mencoba meresapi aura kekinian pabrik gula Jatibarang yang sudah tidak beroperasi lagi sejak 2017. Pabrik gula itu sendiri telah berdiri sejak 1842 di masa-masa cultuurstelsel (tanam paksa).

Remise Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, dipotret dengan kamera Fujifilm GFX100S, film simulasi Classic Chrome.
Dua kamera ini sengaja saya gunakan untuk membangkitkan kembali memori masa-masa transisi evolusi kamera analog menuju kamera digital.
Sebuah kamera analog SLR 35mm dengan film negatif hitam putih 36 frame dalam satu rol film ber ASA 400, lensa 24 mm f 2.8 tergantung di bahu kiri dan kamera digital Fujifilm GFX 100S dengan lensa Fujinon GF 32-64 mm F4 R WR menggunakan kartu memori 64 GB tergantung di pundak kanan.
Saya tidak ingin mengomparasi kedua kamera ini secara teknologi. Sungguh tak layak jika membandingkan antara teknologi mekanis lawas dan digital kekinian. Ibarat bumi dengan langit.
Dua kamera ini digunakan hanya sebagai pintu gerbang bagaimana menemukan kembali roh fotografi sesungguhnya, dengan prinsip memotret itu berpikir dan butuh kesabaran.

Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, dipotret dengan kamera Fujifilm GFX 100S, ukuran file 52,2 MB, (11648 x 8376 piksel), film simulasi Eterna Bleach Bypass, format file JPEG.
Menggunakan kamera analog dengan film SLR negatif 36 frame gambar dalam satu rol membuat kita berpikir ulang dalam menentukan subyek, titik fokus, hingga pencahayaan sesaat sebelum menekan tombol rana.
Dengan frame film terbatas, tekanan secara psikologis adalah melakukan pemotretan seefisien mungkin mengingat harga film negatif saat ini terbilang mahal. Untuk satu rol film negatif hitam putih saat ini berkisar Rp 120.000 hingga Rp 150.000, belum lagi biaya untuk mencuci film berkisar Rp 40.000 hingga Rp 60.000.
Selain itu, kamera SLR analog yang bekerja sejara mekanik tentunya tidak memiliki layar tinjau ulang seperti kamera digital yang dapat dilihat secara nyata seketika setelah pemotretan. Keberhasilan pemotretan baru bisa ditinjau setelah film negatif melalui proses pencucian film.

Foto panorama remise PG Jatibarang ini hasil tiga frame foto pemotertan stitching dengan kamera Fujifilm GFX100S dengan ukuran gambar 11648 x 8736 piksel RAW 16bit, ukuran file 200.8MB setiap foto. Ketiga foto diekstrak dengan photoshop menghasilkan 20012 X 8770 piksel berformat tiff dengan ukuran file 3,32 GB.
Pola yang sama juga dilakukan ketika menggunakan kamera digital large format Fujifilm GFX 100S, yaitu berusaha untuk berpikir dan seefisien mungkin dalam memotret dengan melakukan paling banyak tiga bingkai dalam satu obyek. Meskipun, dengan menggunakan kartu memori 64 GB dengan kamera GFX 100S yang memiliki kemampuan 102 megapiksel ini dapat menampung sekitar 496 frame gambar, terdiri dari 248 format RAF dengan ukuran file kisaran 200,9 MB, dan 248 format JPG berukuran 57,2 MB.
Pada pendokumentasian visual kali ini, saya sengaja memotret dengan mengunakan file orisinal RAW dari kamera Fujifilm GFX 100S untuk kebutuhan 10 atau 20 tahun mendatang yang membutuhkan resolusi tinggi. Mengingat arsip foto digital dari pemotretan tahun 2003, hanya mendapatkan gambar 6,31 megapiksel yang resolusinya sungguh kecil untuk masa sekarang. Selain itu, hal itu juga dilakukan untuk mencoba mendalami kemampuan kinerja kamera mirrorless format besar ini.
Dengan mengggunakan dua kamera itu, saya berharap dapat mengembalikan roh fotografi dan merasakan kenikmatan berfotografi pada saat detik-detik menekan rana kamera. Mengembalikan marwah ke khitah fundamental fotografi sesungguhnya dan menikmati fotografi dalam medium lain, di luar labirin dunia multimedia. Setelah lebih dari 10 tahun bergelut dalam belantara multimedia dengan perangkat kamera hibrida, yang terasakan roh fotografi mulai terbayang kepudarannya.

Perumahan karyawan pabrik gula Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, yang telantar ini dipotret dengan kamera Fujifilm GFX 100S, film simulasi Eterna Bleach Bypass.
Fotografi dalam dunia multimedia seakan hanya sebagai pelengkap dari sebuah isi konten membuat tidak adanya keseimbangan dalam dunia fotografi. Meski peran fotografi dalam multimedia berhubungan erat dalam digital storytelling, itu pun saya merasakan medium fotografi tak dapat dinikmati seutuhnya.
Kamera hibrid saat ini menjanjikan dengan penyediaan segala fitur fotografi yang canggih, digabung dengan kemampuan video beresolusi tinggi untuk mengejar tuntutan teknologi bentuk dasar multimedia yang berkembang .
Dalam alam pemikiran liar, kamera hibrid yang memiliki fitur foto dan video ini tentunya menjadi terbilang mahal karena harganya di-bundling dengan kebutuhan fotografer yang hanya membutuhkan fitur fotografinya saja, tidak membutuhkan kecanggihan rekam videonya yang kini sudah mencapai resolusi 8K.

Kamera digital large format Fujifilm GFX 50S II memiliki sensor gambar berukuran 43.8mm × 32.9mm, dengan mesin prosesor X-Processor 4, menghasilkan 51.4 megapiksel.
Atau sebaliknya, videografer yang hanya memanfatkan rekam videonya tanpa memedulikan kemampuan fitur fotografinya. Dua pilihan yang gamang saat menentukan pilihan dalam kebutuhan kamera di era hibrid saat ini.
Setelah mencoba beberapa kamera Fujifilm GFX seri digital mirrorless large format, dan mengesampingkan kebutuhan rekam video untuk merasakan roh fotografi dalam sebuah bingkai gambar, saya seakan menemukan kembali roh fotografi yang hilang selama ini.
Sensasi kamera digital format besar dengan sensor gambar berukuran 43.8mm x 32.9mm dan mesin pemroses gambar X-Processor 4 yang ditanam pada kamera GFX100S berharga Rp 93 juta memberikan jaminan ruang detail luar biasa. Hal yang terasa saat memotret dengan seri GFX lain, yaitu kamera GFX50S II seharga Rp 63 juta.

Hyundai Staria dipotret dengan kamera Fujifilm GFX50S II, film simulasi Nostalgic Negative di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang, Banten.
Fujifilm GFX50S II yang baru diluncurkan September 2021 memiliki kemampuan 51.4 megapiksel dengan berat bodi 900 gram dan berdimensi 150 x 104 x 87 mm, berukuran sama dengan GFX100S, membuatnya lebih ringan dan mudah dibawa di segala medan.
Kamera GFX50S II memiliki fitur pemotretan Pixel Shift, yaitu merekam 16 gambar RAW secara bertahap, kemudian menggabungkannya menjadi satu file RAW Digital Negative (DNG), dengan dukungan peranti lunak Fujifilm Pixel Shift Combiner menghasilkan gambar multi shot menjadi 400 megapiksel. Pemotretan dengan Pixel Shift ini berguna untuk reproduksi barang seni, seperti lukisan, tenun, dan barang artefak lainnya.


Foto uang ini dipotret dengan menggunakan fitur Pixel Shift yang ada di kamera Fujifilm GFX50S II dan menghasilkan 16 bingkai foto original RAW. Dengan aplikasi Fujifilm Pixel Shift Combiner 16 frame foto diekstrak menjadi satu foto, menghasilkan format file DNG sebesar 731 MB 16bit. Detail foto masih terlihat dari hasil pemotretan ini.
Teknologi IBIS (in-body image stabilization) yang ada di dalam kamera mendukung untuk memotret pada kecepatan rana lambat di bawah 1/8 detik. Selain itu, kamera ini juga sudah didukung lensa seri GF yang kini sudah tersedia 9 prime lens (fix lens), 4 lensa jenis zoom dan satu tele converter.
”Kamera ini menyasar fotografer profesional, videografer, sinematografer, beserta para fotografer yang ingin menghasilkan kualitas gambar terbaik dari setiap tangkapan gambar. Kami berharap kamera ini menjawab tantangan dan kebutuhan fotografi dari penggunanya, terutama dalam mengembangkan pengalaman fotografi mereka,” kata Masato Yamamoto selaku Presiden Direktur PT Fujifilm Indonesia dalam wawancara tertulis.

Bengjel kerja Pabrik Gula Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, ini dipotret dengan kamera Fujifilm GFX 100S, film simulasi Eterna Bleach Bypass.
Kenikmatan memotret dengan menggunakan kamera digital large format ini terasa manakala detik-detik saat menekan rana.
Proses sebelum memotret dalam menentukan ketepatan titik fokus, komposisi dan golden hour serta memahami kemampuan yang ada di kamera, menjadikan ritual tersendiri sebagai proses kenikmatan dalam memotret.
”Kenikmatan puncak memotret itu saat menekan rana,” ujar Haryanto R Devcom fotografer yang menggunakan kamera large format analog dengan film negatif dan juga digital large format seri Fujifilm GFX.
Untuk menemukan roh fotografi kembali secara utuh dan menikmati dunia fotografi, sebaiknya memang menambah edukasi pembelajaran fotografi secara terus-menerus, tambah Haryanto.

Pabrik Gula Pangka, Tegal, Jawa Tengah, dipotret dengan kamera Fujifilm GFX 100S, film simulasi Eterna Bleach Bypass.
”Edukasi fotografi untuk publik dan berbagai komunitas terus-menerus juga dilakukan Fujifilm Indonesia, baik secara offline maupun online,” ungkap Yamamoto yang baru menjabat Presiden Direktur PT Fujifilm Indonesia awal Juli 2021 lalu, mengantikan Noriyuki Kawakubo.
Fujifilm Indonesia kini memiliki showroom dan galeri di Grand Indonesia, Jakarta, ditujukan sebagai tempat edukasi fotografi sekaligus untuk tempat menampilkan berbagai karya yang dihasilkan dari kamera Fujifilm. Mereka juga secara online memiliki workshop edukasi rutin setiap bulannya, yaitu Fujifilm Class, dengan mengundang fotografer hingga sinematografer profesional di Indonesia ataupun negara lain untuk berbagi pengalaman, wawasan, dan pengetahuan tentang fotografi.
Fujifilm sebagai salah satu merek fotografi terbesar ingin mendukung fotografer yang penuh semangat dan tumbuh bersama mereka. Selaras dengan kampanye branding Never Stop (tanpa henti) yang menginspirasi semangat untuk tidak pernah berhenti berinovasi, menciptakan nilai, dan tumbuh secara berkelanjutan.

Lokomotif uap di remise pabrik gula Pangka, Tegal, Jawa Tengah, dipotret dengan kamera Fujifilm GFX 100S, film simulasi Classic Chrome.
”Kami akan memperkuat program edukasi kami untuk memperluas pasar kamera format besar melebihi kamera full frame dan kamera medium format konvensional,” ujar Yamamoto.
Mungkinkah kamera mirrorless large format ini bisa menjadi pilihan murni dan menjadi kamera fotografi pada masa depan dalam menikmati dunia fotografi sesungguhnya, dengan mempertimbangkan harga saing dengan kamera hibrid lainnya? Kita tunggu saja perkembangannya beberapa tahun mendatang.