Memburu Oase di Tengah Belenggu Pandemi
Warga urban berburu oase di tengah belenggu pandemi berupa kafe-kafe dan restoran ”outdoor”.
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat yang kini berada di level 3 disambut gembira. Ibarat oase di tengah pandemi Covid-19, restoran dan kafe berkonsep terbuka jadi buruan, meski terbuka tak selalu berarti aman.
Eforia itu tampak makin jelas di hari-hari belakangan ini seiring menurunnya jumlah kasus penularan Covid-19. Jalanan semakin ramai, begitu pun dengan pemandangan di restoran dan kafe-kafe. Imbauan untuk tetap di rumah saja, berangsur ditinggalkan.
Jika hari cerah dan sudah terlalu bosan bekerja dari rumah, Munawir Thaha (24), karyawan swasta, pergi mencari suasana baru. Salah satu tempat pilihan karyawan perusahaan aplikasi jasa pencatatan transaksi elektronik (poin of sales) ini adalah Serambi Temu, restoran di dekat Situ Gintung.
Restoran yang berlokasi di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan itu, tepatnya di sudut timur laut danau buatan di pinggir Jalan Jakarta-Bogor dinilai Munawir ideal untuk mendapat suasana baru. Di sana, dia bisa menghabiskan waktu bahkan lebih lama dibanding sebelum pandemi.
”Kalau ada rapat daring pukul 09.00 saya sudah siap. Dari rumah enggak jauh, sekitar dua kilometer. Baru pulang pukul 19.00 atau 20.00. Sudah seperti bekerja di kantor saja. Kantor saya di Cipete, sudah lama enggak ke sana,” ujar Munawir, Kamis (7/10/2021).
Setiap pagi dia akan memesan segelas kopi susu dingin ditemani camilan seperti pisang goreng di Kafe Makna Senja yang menyatu dengan Serambi Temu. Baru di jam makan siang dia memesan makanan berat. Bila sedang bokek atau tanggal tua, Munawir melipir mencari warung tak jauh dari Serambi Temu.
Saking kerasannya, Munawir merasa sudah ”berkantor” di Serambi Temu. Dia merasa kondisi Serambi Temu yang terbuka dengan arema taman yang asri, lumayan aman dan terlindungi dari risiko penularan Covid 19 yang diyakininya jauh lebih besar di ruang tertutup dan berpendingin udara.
Pengelola, menurut dia cukup konsisten menerapkan protokol kesehatan (prokes). Mereka menempatkan alat pengukur suhu tubuh otomatis di pintu masuk, serta memberlakukan kebijakan wajib masker untuk seluruh pengunjung dan karyawan. Disain bangunan terbuka dengan sirkulasi udara yang lancar diyakini Munawir memberi jaminan keselamatan dan proteksi.
Secara pribadi, Munawir juga menerapkan prokes secara konsisten, termasuk dengan selalu mempersiapkan diri membawa dan menggunakan penyanitasi tangan saat keluar rumah. Pengaturan jarak antarmeja kursi tamu, membuatnya tak terlalu khawatir ketika restoran dan kafe tengah banyak menerima pengunjung.
Putri Anggia (37), yang juga rutin datang dan bekerja dari Serambi Temu sejak kantornya menerapkan kebijakan bekerja dari rumah (WFH) mengatakan, Serambi Temu punya sejumlah keunggulan seperti jarak yang relatif dekat dari tempat tinggal, mudah dijangkau, serta harga makanan dan minuman yang reasonable. Jika ingin mengumpulkan beberapa teman, kawasan restoran dan kafe ini juga lumayan ”di tengah-tengah”.
”Saya jarang keluar rumah. Kalau keluar, penginnya cari tempat yang enggak terlalu jauh dan cozy. Pandemi begini saya juga butuh tempat yang open space, bersirkulasi udara baik, banyak pohon. Jadi, enggak bosen jika berjam-jam sambil bekerja di situ,” papar Putri.
Spot favorit Putri adalah area sofa di bagian pojok dekat pelataran menuju balkon terbuka dengan pemandangan taman. Di jam makan siang Putri biasa memesan menu hot pot kegemarannya berisi sayuran, jamur, dan daging ayam. Sore hari dia memesan jus buah atau kopi dingin.
Fasilitas terbuka
Tak semata terbuka, kafe-kafe yang menawarkan fasilitas unik juga menjadi buruan. Seperti Adriana (32) dan suaminya, Seto Murdanto (35), yang datang bersama anaknya yang masih balita dan dua saudaranya ke Koma, Kopi Mangat di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Ruang terbuka dengan kolam renang estetis menjadi pilihan sebagai hiburan bagi anak mereka.
”Makin susah cari tempat yang ramah anak sekarang. Walau mal udah buka, masih pikir-pikir. Taman juga belum bisa. Akhirnya cari yang kayak gini. Ibu bapaknya bisa ngopi, anaknya bisa main di tempat terbuka,” tutur Adriana.
Ia tahu lokasi Koma dari sebuah unggahan di Instagram. ”Kok konsepnya lucu, terbuka juga. Wah, kayaknya pas. Lokasi juga enggak jauh banget,” ujar Adriana yang tinggal di Kebayoran Lama. Belakangan dia gemar mencari tempat makan di ruang terbuka agar bisa mengajak anaknya.
Empat sekawan yang terdiri dari Nyoman Makarasari (35), Intan Puspitasari (34), Sarashannisa (34) dan Wina Herdawati (35) juga membawa anak-anak mereka ke Kolepa di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Di sana, anak-anak mereka yang berjumlah enam orang, bisa bermain mini golf, sementara mereka berempat bisa mengobrol sembari menikmati makanan dari kafe.
”Tempat ini kita pilih karena outdoor, jadi aman. Belum pernah ajak anak main golf juga,” ujar Nyoman. ”Anak-anak kan udah lama di dalam rumah ya. Perlu main di luar, gerak, olah raga,” imbuh Intan.
Menurut mereka, pengelola cukup memberikan rasa aman dengan penerapan prokes, termasuk memberlakukan pembayaran secara nontunai. Dengan begitu, rasa takut bisa diminimalkan termasuk dengan prokes pribadi yang kini sudah jadi kebiasaan. ”Semua dibawa. Baju juga. Setiap abis keluar ganti. Semoga kondisinya terus berangsur baik,” kata Nyoman.
Rizki Perdana (45), Department Head of Sales di PT Hipernet Indodata bersama timnya memilih bekerja sembari makan siang di Restoran Bebek Perdikan di kawasan Kuningan. ”Kalau bareng tim, baru 2-3 kali ini makan di luar karena kan beberapa resto masih ada keterbatasan untuk kita bisa makan di tempat,” katanya.
Rizki sengaja mencari restoran dengan konsep luar ruang seperti yang ditawarkan Bebek Perdikan. Konsep restoran kampung Jawa yang asri dengan bangunan model limasan, memberi suasana baru yang mereka cari.
”Sebenarnya yang saya cari yang pertama pasti makanannya. Kedua, suasananya karena kan kita juga udah stuck dengan kondisi, bekerja WFH juga. Akhirnya mau enggak mau kita harus cari suasana yang lebih fresh,” tutur Rizki.
Bebek Perdikan, menurut Rizki, cukup memenuhi ekspektasi di tengah situasi pandemi. ”Covid ini kan masih ada. Ya, kita coba hindari. Makanya kita cari yang outdoor seperti ini,” katanya.
Vaksin
Anasya Candrika (27) dan dua rekannya, Anindita (26) dan Malana Rosita (27) sama-sama menunjukkan wajah semringah. Sudah lama mereka tak bertatap muka, bertukar cerita, sambil menyeruput es kopi susu favorit. Meski sore berganti malam, ketiganya justru kian riuh tanpa peduli angin malam di sekitar rooftop tempat ngopi yang mereka singgahi, kedai kopi Kopitagram di kawasan Tomang, Jakarta Barat.
Sejak pandemi, Nasya, sapaan akrab Anasya, sangat jarang keluar rumah, kecuali ada urusan mendesak. Beruntung kantor rintisan tempatnya bekerja memberlakukan aturan bekerja di rumah secara penuh.
”Bosen banget. Biasanya bisa begini, kerja sambil ngopi. Sambil rame ngegosip juga. Ini mana berani. Apalagi di rumah ada ibu dan nenek yang harus dijaga. Ini baru dua atau tiga kali aku berani nongkrong. Tempatnya pun sengaja milih yang terbuka dan enggak jauh,” ungkap Nasya.
Keberaniannya untuk bersua dengan teman-temannya tumbuh juga karena sudah memperoleh vaksin. ”Tapi, ya, tetap prokes sih. Ini aku pake masker lagi karena udah agak lumayan rame. Tadi kan masih sepi dan cuma ada beberapa orang jauh-jauhan dan outdoor juga,” ujar Nasya.
Pilihan pada lokasi outdoor itu tidak main-main. Anindita bahkan bertualang hingga kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, demi mendapat tempat nongkrong terbuka. ”Kalau penuh, ya, enggak jadi. Makanya Nasya yang dekat sini cek duluan, ada tempatnya atau enggak,” kata Anindita.
Ketiganya mengakui kesehatan jadi hal utama.Tapi, interaksi sosial yang hanya sebatas chat atau pertemuan virtual sulit menggantikan rasa bertemu langsung. Setelah lebih dari satu tahun, dirasa tak ada salahnya sesekali berjumpa dengan pilihan tempat yang dirasa aman. ”Kerja pake zoom, meeting pake zoom. Segala apa virtual. Lama-lama yang enggak sehat jiwanya. Ketemuan gini walau cuma bentar, tetapi kayak ngisi energi,” ungkap Malana.
Robby Martino (30) datang sendirian ke Kopitagram untuk numpang gawe, kebiasaannya yang berganti sejak tahun lalu. Ketika kafe diperbolehkan menerima dine-in, Robby pun berburu lagi tempat ngopi nyaman yang bisa dijadikan lokasi bekerja.
”Pindah-pindah, tetapi seringnya di sini sama di sekitaran Tanjung Duren,” ujar Robby. Dia tak masalah dengan kafe indoor sepanjang jumlah pengunjungnya tak ramai.
”Kerja cuma ngeliatin tembok kosan itu sedih banget. Bisa sih delivery kopinya. Tapi suasana kan enggak bisa delivery. Aku kerja di bidang kreatif, mumet banget kalau suasana enggak mendukung,” ujar Robby.
Cerdas dan waspada
Menanggapi situasi ini Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono menyebut risiko penularan bersifat relatif dan tak selalu bisa diukur. Kondisi ruangan terbuka atau tertutup tak bisa jadi patokan apakah satu tempat aman dari risiko penyebaran dan infeksi Covid 19. Ada banyak faktor juga harus diperhatikan saat menilai kemungkinan resiko.
”Yang terpenting kalau ada ramai orang berkerumun harus dipastikan mereka semua tak ada yang terinfeksi. Jadi, di situ aplikasi seperti Peduli Lindungi menjadi penting,” ujar Pandu.
Pemerintah, ujarnya juga harus selalu mendorong agar makin banyak orang mau divaksinasi. Meski vaksinasi tak lantas membuat orang kebal 100 persen dari infeksi Covid 19 setidaknya saat terinfeksi tak berujung fatal.
”Manusia kan makhluk sosial. Enggak hanya di kota, di desa juga orang kepingin berkumpul dan berinteraksi. Cuma di masa pandemi ada pembatasan karena aktivitas berkerumun meningkatkan risiko. Sekarang risikonya sudah turun, interaksinya bisa mulai dibuka sepanjang tak merugikan orang lain. Caranya, dipastikan dulu mereka yang berkumpul berstatus negatif ditambah prokes ketat,” ujarnya.
Baca juga: Menyesap Kebersamaan yang Sempat Hilang