Pagi seminggu lalu, persis hari Minggu seperti ini, saya bertukar sapa dengan Romo Sindhunata. Saya katakan kegembiraan saya mendengar dia akan melanjutkan cerita Anak Bajang, yang sehari kemudian mulai Senin (27/9/2021) bisa kita nikmati di media koran ini. Cerita Anak Bajang Menggiring Angin tampil sebagai serial di edisi Minggu 40 tahun lampau.
Setengah bercanda, saya katakan kepadanya, agaknya memang diperlukan pusaka kuno untuk mempertahankan roh koran. Setengah bercanda: sebab setengahnya lagi saya serius.
Pernah menulis catatan Inikah Senjakala Kami tentang masa depan koran yang menuai banyak kecaman, tambah hari kini saya melihat jagat informasi makin gelap. Seperti ampak-ampak, awan gelap bergerak menyelimuti langit informasi. Berbagai jenis media yang sifatnya daring menjadi remang-remang, pekat terlebih dahulu, sampai pada gilirannya media cetak yang dianggap sebagai pencerah saya yakin nantinya juga jadi gelap.
Black out.
Dalam jagat pewayangan inilah masa pancaroba. Dalang menggambarkan bumi terguncang, angin ribut melanda, langit megap-megap, bencana terjadi di mana-mana. Diperlukan pusaka untuk menyelamatkan dunia.
Hanya saja tidak sepesimistik didakwa banyak orang, saya percaya terdapat pusaka untuk menghadapi zaman gelap, yakni kebudayaan. Meski manusia seluruh dunia hidup dengan asas kebudayaan, di sini kebudayaan memiliki fungsi spesifik.
Biarlah pengertian akademiknya dirumuskan para ahli. Saya hanya bisa memberikan ilustrasi, salah satunya ketika bertemu seorang produser seni pertunjukan di Belanda.
Waktu itu saya ikut rombongan kesenian Jawa yang akan pentas di Amsterdam. Capai dan jenuh oleh penerbangan panjang, rombongan bersantai di akomodasi yang disediakan penyelenggara.
Produser tadi, orang Belanda, bukan sekali ini memboyong rombongan kesenian dari Indonesia. Ia membandingkan dengan rombongan-rombongan dari negeri lain.
”Dari pengalaman yang saya dapat begitu pentas secara tak terduga kalian menjadi sedemikian hidup. Menakjubkan,” ia berkata kepada saya. ”Dulu saya cemas, kalian terlihat sebegitu santai seperti mengabaikan persiapan teknis.”
Hati saya mongkok oleh rasa senang. Ingin membayari bir yang kami minum, meski tetap saya biarkan ia saja yang bayar.
Sejak lama saya merasa beruntung jadi bagian masyarakat yang basis kesadarannya adalah rasa dan intuisi. Bukannya tak kagum dengan presisi musik klasik Barat, tapi pemain gamelan tidak kalah menakjubkan, mendasarkan permainan pada ensembel rasa.
Kalau masyarakat Barat, begitu perbincangan saya dengan Guru, mendasarkan diri pada logika dan rasionalitas, kita pada rasa dan intuisi.
Konsekuensi berikut dari logika dan rasionalitas adalah law and order—hukum dan peraturan. Mungkin karena logika kita banyak kacaunya, hukum juga kacau. Hukum dan peraturan suka-suka hati diubah untuk kepentingan siapa saja kecuali untuk kepentingan orang lemah dan melarat.
Terhadap semua produk aufklarung Barat kita gagap dan semata-mata jadi konsumen. Di lain pihak, terhadap ritus dan tradisi sendiri kita teralienasi.
Sekarang musim orang berseru: algoritma, data. Dikira diktum tersebut muncul pekan lalu, bukan hasil tradisi sains dan penelitian yang dihidupi sebuah masyarakat selama ratusan tahun. Data tanpa refleksi tak lebih dari daftar belanja.
Industri informasi, news, akan gulung tikar. Semua orang jadi pewarta, semua orang jadi pembicara seminar seperti saat euforia daring sekarang. Siapa jadi pendengar? Tidak ada.
Betapa pun, manusia tidak bisa lepas dari proses pencarian akan kebenaran, truth. Belum tentu artificial intelligence, algoritma, data, mampu melunasinya. Dalam gelap manusia merindukan seberkas cahaya, setitik bintang betapa pun kecilnya.
Dibutuhkan informasi yang mengandung daya profetik. Mampu menerangi hidup, seperti fungsi dongeng pada zaman dulu oleh para pujangga yang waskita membaca pesan langit.
Sebagian orang masih mengenal deskripsi perjalanan Hayam Wuruk dalam Negara Krtagama atau kronik kebudayaan Jawa yang terserat dalam Centhini.
Sama seperti tradisi mistik yang kita miliki termasuk dalam dongeng pewayangan, di Amerika Latin ada yang dikenal sebagai magic realism, yang membuat laporan wartawan Gabriel Garcia Marquez menerangi pembacanya.
Bukan rating yang menyelamatkan kita, tapi serat semacam itu.
Kalau dulu Anak Bajang Menggiring Angin, kini Anak Bajang Mengayun Bulan.***