Menengok Keelokan Jeju
Sebanyak 20 foto yang bertutur tentang ”haenyeo” di Pulau Jeju karya fotografer Luciano Candisani ditampilkan di pameran. Menurut Maya, Candisani menggarap karya fotografi dan video itu selama satu tahun.
Para perempuan usia senja penyelam tradisional haenyeo itu memberi cermin perjuangan hidup yang tidak mudah dan pantang menyerah. Para haenyeo mengantar kita menengok keelokan Jeju, pulau vulkanis di selatan Semenanjung Korea, dengan ragam keindahan wisata yang kemudian disandingkan dengan keelokan Bali dalam kemasan sebuah pameran foto.
Kim Hyun Joo yang juga akrab disapa Maya dari Pusat Kebudayaan Korea–Indonesia begitu antusias memaparkan para haenyeo itu adalah perempuan-perempuan yang sudah berusia sampai 80 tahun. Mereka mengenakan wetsuit atau baju penyelam berwarna hitam, berjalan tegap di antara bebatuan vulkanis berwarna hitam pula yang terlihat begitu tajam.
Dari sebuah rekaman video dokumenter karya Luciano Candisani asal Brasil, terlihat para haenyeo begitu sigap menyelam hingga ke dasar laut. Mereka kuat menahan napas di dalam air tanpa menggunakan alat bantu pernapasan. Mereka menyelam untuk memetik hasil laut, seperti abalon dan beragam jenis kerang-kerangan lain.
Sesekali terlihat ada haenyeo yang memetik moluska gurita yang malu-malu bersembunyi di balik terumbu karang. Pada adegan awal video memperlihatkan seorang haenyeo menyelam tak begitu dalam. Ia mendekati sebuah pumpunan kecil terumbu karang. Matanya jeli menangkap tentakel seekor gurita yang cukup besar terlihat di balik terumbu karang.
Kait terbuat dari besi yang diberi gagang segera diarahkan ke gurita itu. Haenyeo mengait dan menarik tubuh gurita yang menggelembung sebesar bola basket itu. Tentakelnya menjulur kian kemari. Tinta hitam tersembur. Pandangan mata haenyeo terhalang.
Gurita sempat terlepas dari pengait, tetapi haenyeo dengan sigap mengait kembali ke tubuh gurita yang berkali-kali menyemburkan tinta hitam. Akhirnya, gurita tak berdaya. Tangan haenyeo merengkuh dan menaruh tubuh gurita itu ke dalam jaring buruan yang diberi pengapung.
Adegan yang cukup menegangkan. Rekaman video berikutnya menunjukkan para haenyeo dengan mudah memunguti berbagai jenis kerang atau siput di lantai dasar laut. Mereka seperti memanen sumber protein hewani dari laut.
”Hasil laut itu kemudian banyak yang diekspor ke Jepang dan Eropa,” ujar Maya seraya menunjukkan foto-foto lain yang dipamerkan di Atrium Citywalk Sudirman, Jakarta, Selasa (28/9/2021).
Maya lalu menunjukkan foto seorang haenyeo dengan wajah keriput. Itu menandakan usia perempuan-perempuan haenyeo yang sudah senja. Akan tetapi, tubuhnya tetap terlihat tegap dan kuat.
”Coba lihat ini, mereka sudah tidak lagi muda dan harus bekerja menyelam ke dasar laut. Ini warisan tradisional yang sampai sekarang masih ada di Jeju,” ujar Maya, yang menjadi General Manager Pusat Kebudayaan Korea-Indonesia atau Korean Cultural Center Indonesia (KCCI).
Coba lihat ini, mereka sudah tidak lagi muda dan harus bekerja menyelam ke dasar laut. Ini warisan tradisional yang sampai sekarang masih ada di Jeju. (Kim Hyun Joo)
Foto-foto dan video yang diberi judul ”Haenyeo-Wisdom of The Sea” dikemas dalam Pameran Foto Jeju-Bali. Pameran berlangsung pada 27 September hingga 3 Oktober 2021 dan diselenggarakan Korean Tourism Organization (KTO).
Sebanyak 20 foto yang bertutur tentang haenyeo di Pulau Jeju karya fotografer Luciano Candisani ditampilkan di pameran. Menurut Maya, Candisani menggarap karya fotografi dan video itu selama satu tahun. Karya-karyanya dilaporkan untuk National Geographic dan mendapat berbagai penghargaan di negaranya, Brasil.
Selain video dan foto karya Candisani, juga ditampilkan 32 foto tentang berbagai situs menarik yang ada di Pulau Jeju. Kemudian 30 foto lagi tentang keelokan Bali. Foto-foto selain haenyeo tidak disebutkan nama para fotografernya. Foto-foto itu diambil dari para pemenang lomba yang diselenggarakan Pemerintah Korea dan Indonesia. Foto-foto itu hak milik Pemerintah Korea dan Indonesia.
Pulau Jeju sebagai pulau terbesar di Korea, masuk wilayah Provinsi Mandiri Istimewa Jeju dengan luas 1.848 kilometer persegi. Ini pulau vulkanis yang diperkirakan terbentuk sekitar dua juta tahun silam dengan keberadaan Gunung Halla atau Hallasan yang mencapai ketinggian 1.950 meter di atas permukaan laut.
Pulau Jeju cukup kecil jika dibandingkan Bali yang memiliki luas 5.780 kilometer persegi. Akan tetapi, Jeju menjadi magnet pariwisata dunia yang tidak kalah juga.
”Dol Hareubang”
Para pengunjung mal berlalu lalang di serambi yang dijadikan area pameran foto itu. Seperti lazimnya di gerbang-gerbang tradisional Nusantara, ada dua patung figur manusia yang dikesankan terbuat dari batuan vulkanik hitam berpori tajam dipajang di depan pintu masuk pameran. Kedua patung dari tradisi Jeju itu dikenal sebagai Dol Hareubang.
Maya menjelaskan, Dol Hareubang dari bahasa tradisional Jeju yang berarti ”kakek batu”. Dol berarti batu, hareubang berarti kakek. ”Bahasa tradisi Jeju itu berbeda dengan bahasa lokal pada umumnya di Korea,” ujar Maya seraya menyebutkan kata lokal Korea lain yang lebih umum dan memiliki makna sama sebagai kakek batu.
Dol Hareubang diyakini penduduk Jeju sebagai penjaga pulau yang ditempatkan di luar gerbang. Ia juga dipercaya sebagai penjaga kesuburan pulau yang terkenal memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi. Beberapa di antaranya berupa tanaman herbal yang banyak memberi sumbangan pengobatan tradisional dari masa ke masa.
Foto pertama yang ditempatkan di bagian muka bercerita tentang keindahan panorama tebing Pulau Jeju. Foto ini diberi judul ”At The Jusangjeolli Rocks” menampakkan hamparan laut tenang dan tebing bebatuan yang unik.
Ada garis-garis vertikal pada lapisan bebatuannya. Biasanya, garis-garisnya melintang atau horizontal yang menggambarkan terbentuknya lapisan-lapisan bebatuan.
Tebing dengan garis vertikal itu diperkirakan terbentuk dari pembekuan lava Gunung Halla ketika meletus jutaan tahun silam. Garis-garis vertikal seperti membentuk pilar-pilar yang menyangga lapisan daratan tanah di atasnya.
Tebing dengan garis vertikal itu diperkirakan terbentuk dari pembekuan lava Gunung Halla ketika meletus jutaan tahun silam.
Keunikan ini, antara lain membuat Pulau Jeju mendapat Triple Crown UNESCO sebagai Warisan Alam Dunia, Taman Geologi Global, dan Cagar Biosfer. Pulau Jeju juga dinobatkan sebagai tujuh keajaiban alam di dunia dengan iklim subtropik, sekaligus subarktik. Iklim ini kemudian memengaruhi tumbuhnya beragam tanaman khas.
Di bawah foto tebing dipajang foto tentang patung-patung dari bebatuan vulkanik. Ini seperti Dol Hareubang, tetapi ditempatkan di sebuah hamparan taman hijau. Foto itu diberi judul, ”Twilight of Jejudo”.
Hallasan Gungnip Gongwon atau Taman Nasional Hallasan menjadi daya tarik karya seni fotografi lainnya. Di hamparan tanah datar di dekat kawah Gunung Halla terdapat tetumbuhan dengan bunga mekar berwarna merah muda. Ini tampak dari karya foto ”Dawn of Hallasan”.
Foto itu diberi penjelasan tentang keanekaragaman hayati di Taman Nasional Hallasan. Diperkirakan ada 1.800 jenis tumbuhan dan 4.000 jenis hewan dengan kategori terbanyak dari jenis serangga.
Pulau Jeju seperti tempat- tempat wisata global lainnya yang juga menawarkan panorama indah tatkala matahari terbit dan tenggelam. Foto ”Sunset at Seongsan Ilchulbong” adalah salah satu yang membidik keindahan panorama matahari terbenam yang terlihat begitu indah dari Pulau Jeju.
Fotografer itu mengarahkan lensa ke arah barat yang menyapu wilayah Seongsan Ilchulbong. Ini daerah yang dikelilingi pemandangan cincin batuan vulkanik tajam bergerigi yang terlihat indah seperti mahkota di saat matahari terbenam.
Berikutnya dipamerkan foto-foto yang mengeksplorasi Bali. Mungkin panorama keindahan Bali bisa dengan mudah ditebak. Foto-foto dari Bali menunjukkan ritual Galungan, sistem pertanian subak, ritual dan pemandangan desa-desa adat, tari-tarian tradisional, dan tidak ketinggalan pemandangan Gunung Agung.
Foto tidak sekadar memaparkan keindahan alam dan manusianya. Pameran Foto Jeju-Bali, terutama foto-foto para haenyeo berusia senja, menebar semangat hidup untuk terus berjuang dan pantang menyerah.