Salah satu yang tampak menonjol dari alas kaki suku Tarahumara adalah desain bersahaja yang memberi kebebasan gerak bagi telapak dan jemari kaki. Konsep desain ini yang kemudian diadaptasi Pyopp Fledge.
Oleh
Sarie Febriane
·3 menit baca
Manusia modern di masa sekarang telanjur biasa dengan alas kaki yang ternyata desainnya mencerabut kemampuan kekuatan alamiah kaki. Berbagai studi pada akhirnya mengungkapkan, ternyata alas kaki modern selama ini berujung pada berbagai masalah kesehatan kaki. Masalah tersebut jarang ditemui pada manusia di masa lalu yang justru senantiasa nyeker alias bertelanjang kaki.
Berangkat dari fenomena itu, sebuah jenama lokal Pyopp Fledge mendesain alas kaki yang berupaya mengembalikan ”kodrat” kebebasan kaki manusia. Pyopp terinspirasi dari alas kaki huarache sandals yang biasa dikenakan warga suku Tarahumara (Raramuri) di Chihuahua di Meksiko. Sebuah suku indian yang amat terkenal dengan budaya lari yang integral dalam kehidupan mereka. Seperti misalnya diulas dalam buku Born to Run: A Hidden Tribe, Superathletes, and the Greatest Race the World Has Never Seen (2009) yang ditulis oleh penulis dan wartawan Christopher McDougall dari Amerika Serikat.
Kemampuan lari jarak jauh suku Tarahumara ini kerap menjadi bahan penelitian para ilmuwan. Suku Tarahumara tak hanya punya daya tahan tinggi untuk berlari jauh, tetapi juga kecepatan lari yang mengagumkan. Konon, dengan berlari, mereka mampu menangkap hewan-hewan berkecepatan tinggi seperti rusa.
Sayangnya, selama ini jarang ahli yang mengeksplorasi bahwa lari bagi suku Tarahumara tak hanya merupakan aktivitas fisik yang berdimensi fungsional, sosial, tetapi juga spiritual. Bahkan, keyakinan spiritual dalam suku Tarahumara itulah yang membentuk persepsi mereka tentang lari yang diyakini sebagai bentuk doa yang paling powerful.
Pilihan alternatif
Salah satu yang tampak menonjol dari alas kaki suku Tarahumara adalah desain bersahaja—kini disebut sebagai minimalis—yang memberi kebebasan gerak bagi telapak dan jemari kaki. Konsep desain ini yang kemudian diadaptasi oleh Pyopp Fledge. Dengan sol tipis yang kuat pula, Pyopp Fledge menjadi sandal yang mendekati sensasi barefoot alias nyeker. Sol demikian memungkinkan respons balik sensori pada telapak kaki tetap terstimulasi maksimum. Hal itu semacam membuka ”ruang energi” lebih dinamis bagi pemakainya untuk ”terkoneksi” dengan bumi.
Lantas, apa bedanya dengan sandal jepit biasa? Secara desain, walau juga menjanjikan kebebasan, sandal jepit tidak cukup ”menggenggam” telapak kaki si pemakai. Dengan demikian, pemakainya tanpa sadar mau tak mau menggunakan tendon agar sandal tidak terlepas. Dari kondisi itu, potensi cedera pada kaki lebih terbuka. Sementara, pada Pyopp Fledge, tali-kait (strap) yang simpel menjaga sandal tetap melekat pada telapak kaki dan bisa menyesuaikan dengan kaki pemakai. Pada akhirnya, Pyopp Fledge bisa menjadi pilihan alternatif bagi pencinta sandal jepit.
Pyopp Fledge, yang digagas oleh Arie dan Jacqualine, lalu bermitra dengan Andien dan Irfan Wahyudi ini, tak hanya menyediakan koleksi untuk dewasa tetapi juga anak-anak. Andien bercerita, eksplorasi gagasan barefoot dari alas kaki tersebut juga dilatarbelakangi oleh pengalaman adiknya, Muhammad Diego Januar, yang sejak lama menggemari aktivitas luar ruang, seperti naik gunung, berlari, dan bersepeda.
Saat berupaya mengeksplorasi olahraga lari itu, Diego terkesan dengan ”aliran” yang mengusung pendekatan minimalis dalam berlari. ”Sekitar tahun 2014, kawan saya Sandy Suryapranata lalu mengenalkan bahwa berlari dengan sandal itu dimungkinkan. Ia mengenalkan saya pada sandal brand dari AS yang bisa dipakai untuk berlari,” kata Diego.
Diego mengaku, setelah menjalani kebiasaan beraktivitas dengan membiarkan telapak kakinya lebih bebas, ia merasa lebih mampu menangkap sensori yang sebelumnya terblokade oleh alas kaki modern. ”Jadi sadar, ada rasa yang sebelumnya hilang,” kata Diego.