Apakah Emas Festival Film Lebih Rendah Dibanding Olimpiade?
Pada dasarnya festival dibuat untuk menunjukkan kepedulian atas perdamaian dan pertukaran budaya lewat sinema. Pada awalnya, setelah Perang Dunia Kedua, festival digunakan sebagai arena lomba kekuatan Barat dan Timur.

Berturut-turut dua karya film Indonesia memenangi kompetisi festival internasional di dua benua. Kalangan perfilman dunia merayakannya, tapi tanggapan pers umum dan pemerintah di Indonesia sunyi senyap.
Festival film internasional sebagai panggung solidaritas
Penghargaan Golden Leopard yang didapatkan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (Dendam) karya sutradara Edwin adalah penghargaan internasional tertinggi yang diraih film Indonesia sepanjang sejarah. Semoga kesenyapan tanggapan bukan cerminan ketidakpedulian, melainkan keterbatasan pengetahuan media massa dan pemerintah tentang lansekap festival. Tampaknya selain Academy Awards, anugerah film lainnya di luar Amerika Serikat tidak begitu dikenal di Indonesia.
Pada dasarnya festival dibuat untuk menunjukkan kepedulian atas perdamaian dan pertukaran budaya lewat sinema. Pada awalnya, setelah Perang Dunia Kedua, festival digunakan sebagai arena lomba kekuatan Barat dan Timur. Sesudah Perang Dingin berakhir pada 1991, agenda festival internasional bergeser ke arah pengakuan bagi pencapaian kepiawaian seni film dan solidaritas hak asasi manusia.
Festival Locarno 2021, contohnya, adalah edisi ke-74 sejak 1946. Forum ini adalah satu dari 15 festival kompetitif terakreditasi oleh Federasi Internasional Produser Film (FIAPF) atau sering disebut festival kategori A. Festival lain di kategori yang sama, antara lain, Cannes, Shanghai, dan Venesia. FIAPF memberi akreditasi kepada festival bermutu, berumur panjang, dan berperan penting mendukung industri film lokal. Seksi kompetisi ibaratnya adalah lampu sorot utama yang menyampaikan komitmen sosial industri film. Panggung festival film skalanya setara dengan Olimpiade di dunia olahraga.
Penghargaan Golden Leopard di Locarno diberikan kepada sutradara bersama produser, untuk merayakan dua dimensi film sebagai karya artistik dan kreativitas manajemen produksi. Seksi kompetisi diberi porsi besar dalam investasi kerja suatu festival, pesertanya ditonjolkan dalam publikasi dan kadang-kadang diberi panggung berupa karpet merah supaya media massa dapat menyiarkannya kepada dunia.
Pintu masuk ke pasar dunia
Kalau hanya mengandalkan karpet merah dan kompetisi, festival akan menjadi ajang pamer dan arena perlombaan belaka. Untuk memanfaatkan potensi positif berkumpulnya para empu film, berkembang upaya membuka ruang dialog dengan penonton dan sesama profesional film.
Toronto International Film Festival adalah contoh sempurna. Festival ini dimulai tahun 1976 di kota yang jumlah penduduknya saat ini 2,7 juta jiwa alias seperlima penduduk Jakarta. Satu edisi festival dihadiri lebih dari 300.000 penonton. Festival ini ditujukan untuk memperkenalkan film-film penting kepada publik Amerika. Platform Prize yang diraih oleh film Yuni karya sutradara Kamila Andini adalah penghargaan atas kepiawaian dari pelaku industri film dunia sekaligus tanda selamat datang di pasar film Amerika Utara.
Setiap film yang meraih prestasi tidak cuma membawa pulang hadiah. Agen-agen distribusi dunia akan mengajukan tawaran tayang di wilayah masing-masing. Sutradara, produser, aktor biasanya harus bekerja dari pagi sampai dini hari, mulai dari konferensi pers sampai menghadiri jamuan. Kondisi pandemi dengan kejam menghentikan ini semua. Sungguh sedih melihat sutradara Kamila Andini harus menghabiskan dua minggu karantina dan tanpa menghadiri penayangan perdana karyanya sendiri.
Dalam suatu ajang festival, hanya sedikit yang terpilih untuk tampil. Tapi, mari perhatikan pernyataan sutradara Edwin dan Kamila Andini serta para produser Meiske Taurisia, Muhammad Zaidy, dan Ifa Isfansyah bahwa prestasi yang diraih bukan hanya untuk Indonesia, melainkan untuk Asia Tenggara. Kenapa begitu? Baik Dendam maupun Yuni adalah film koproduksi dengan Singapura, artinya mendapat dukungan besar dari pelaku industri regional.
Selain merupakan kesempatan berkompetisi dan berbisnis, festival adalah tempat belajar dan mengembangkan karya. Di Locarno, tidak hanya tim film Dendam yang sibuk bekerja, ada para produser Indonesia Yulia Evina Bhara dan John Badalu yang menyajikan kolaborasi dengan Filipina dan Myanmar. Lalu juga ada sutradara baru Luhki Herwanayogi dan produser Iqbal Hamdan yang meraih beasiswa pengembangan Open Doors.
Kerja panjang lintas generasi
Pencapaian tahun ini tidak terjadi dalam semalam. Film Dendam sudah berkeliling mencari mitra pendanaan sejak tahun 2016 dan Yuni dikembangkan di lab film sejak 2018. Artinya, film berprestasi butuh waktu mencari dukungan, dikembangkan, dan berkeliling menyapa penonton dunia. Jaringan pendukung yang dimiliki oleh para pelaku film ini pun hasil rintisan banyak pelaku film Indonesia sebelumnya yang menunjukkan kesinambungan produksi yang menunjang kelahiran karya-karya orisinal. Inilah yang disambut dan didukung oleh dunia internasional lewat festival.
Di negara-negara Asia seperti Korea Selatan atau Taiwan, pemerintah dan sektor swasta memberi dukungan karena dianggap sebagai agenda penting ketahanan budaya. Bentuknya mulai dari dana produksi, dana perjalanan, dan sampai subsidi pengadaan festival film internasional di dalam negeri.
Sebetulnya apa perlu benar para produser mencari dana ke luar negeri? Bukankah ini perilaku tidak nasionalis? Kenapa dana nasional tidak cukup? Tentu saja pertanyaan ini harus dijawab langsung oleh produser, tapi saya kira ini bukan cuma urusan ongkos produksi, melainkan juga soal merintis pasar internasional.
Persoalannya, negara mana pun yang ikut urunan produksi berarti ikut punya hak atas karya. Artinya, kalau film-film seperti ini terus dapat dukungan ala kadarnya dari Indonesia, berarti hasil yang bisa mengalir ke negeri sendiri juga terbatas. Tampaknya sebagai bangsa kita tidak serius merawat ketahanan budaya di sektor film.
Lalu, bagaimana peran pemerintah seharusnya? Film kita sudah tampil ke forum internasional seperti Karlovy Vary, Venesia, Moskwa, dan Berlin sejak baru merdeka. Saat itu, tampil ke festival adalah agenda diplomasi budaya dari negara. Sejak Perang Dingin usai, kesertaan ke festival memasuki fase independen berdasarkan inisiatif pembuat film seperti Garin Nugroho, Slamet Rahardjo, atau Christine Hakim dengan dukungan jaringan internasional.
Tanpa dukungan pemerintah, film Indonesia akan tetap berprestasi, tapi tidak bisa dinikmati secara luas di negerinya sendiri. Apakah kita masih ingat semboyan ”Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri” yang beredar sejak 1950-an? Ini bukan cita-cita untuk jadi jago kandang, melainkan upaya mencapai kedaulatan dan ketahanan budaya. Tanpa dukungan pemerintah (dan juga pers), film Indonesia akan sukses di rantau tapi terkucil di tanahnya sendiri.
Lisabona Rahman
Pengamat Industri dan Pelaku Arsip Film