Hari sudah menunjukkan pukul 08.40. Saya menuju ke halaman belakang apartemen tempat tinggal saya. Hari itu, langit biru cerah dan tak ada awan yang menutupinya. Terik matahari menyengat dengan tajam, saya telah siap untuk berjemur seperti kebiasaan yang sudah saya lakoni bertahun lamanya jauh sebelum hal itu disarankan selama pandemi.
Terik dan sejuk
Saya sangat senang menghangatkan punggung. Terik matahari yang tajam seperti tusukan jarum yang buat saya seperti pijatan. Hari itu terik matahari diimbangi dengan angin sejuk yang bertiup sangat kencang. Saya duduk di tepi kolam renang, air kolam bergerak saking kerasnya tiupan angin pagi itu. Saat aktivitas berjemur itu sedang saya lakukan, tebersit dalam pikiran betapa nyamannya udara panas seterik itu ditimpali dengan angin sejuk.
Kemudian saya membayangkan gambaran itu seperti hidup yang sudah saya lakoni selama 58 tahun. Sejujurnya hidup itu pada dasarnya hanya dua hal. Air mata dan tawa, sukacita dan lara, senang dan susah, sehat dan tidak sehat, kelebihan uang dan kekurangan uang. Semuanya telah saya jalankan dan telah saya alami.
Kalau semuanya sedang berkekurangan atau sedang berduka, rasanya seperti panas yang sangat terik, yang menggigit tulang dan rasanya cenut-cenut di kepala tak bisa berhenti. Tidur tak enak, makan meski lapar terasa tak sesedap biasanya. Bahkan tidur menjadi susah dan bisa terbangun di tengah malam.
Kalau sudah begitu, selain berdoa, maka mulut saya komat-kamit untuk mencari solusi untuk sesegera mungkin menyelesaikannya. Doa itu isinya hanya permohonan agar Sang Maha Pencipta menolong untuk menyelesaikan teriknya dukacita dan masalah sesegera mungkin. Kalau sudah dalam keadaan seperti itu, saya ingin malam cepat berakhir agar pada hari terang saya dapat menghubungi teman untuk mencari bantuan jalan keluar.
Tetapi, ketika angin kehidupan yang sejuk sadang bertiup, maka hati saya tenangnya setengah mati, badan terasa ringan, kepala entengnya setengah mati, tertawa atau tersenyum itu mudah sekali dilakukan. Dan, pemikiran positif langsung memenuhi benak saya.
Kesejukan angin kehidupan itu menenangkan hati, dengan demikian saya dapat berpikir dengan cepat dan mudah. Apalagi, kalau sedang musim hujan, udara juga menjadi dingin dan hati tak cepat marah. Suasana menjadi sedikit romantis meski acap kali hujan lebat juga datang untuk menyengsarakan.
Negatif dan positif
Selama ini saya hidup secara ekstrem seperti dua musim. Tetapi, pagi hari itu, di hari saya berjemur dengan merasakan panas dan sejuk dalam waktu bersamaan, saya merasa mendapatkan pelajaran bahwa seharusnya saya harus mampu menghadirkan kedua musim itu dalam semua situasi. Sehingga kalau lara, saya tak terlalu berduka dan kalau lagi terlalu senang saya tak lupa diri.
Jadi, kalau sekiranya saya sedang kekurangan, saya harus mengusahakan agar pikiran positif tetap saya hadirkan sehingga itu menjadi antidot agar saya tidak menyuntikkan spirit negatif yang berlebihan ke dalam diri. Itu mengapa tidur jadi tak nyenyak dan nasi padang yang biasanya begitu nikmat terasa biasa saja.
Pentingnya menghadirkan situasi kesejukan di tengah terik kehidupan bukanlah menghadirkan kemunafikan atau ketidakberanian menghadapi kenyataan, tetapi itu merupakan bantuan agar saya tidak tenggelam terlalu dalam ke dalam duka dan merengek-rengek dalam doa agar masalah dapat cepat diselesaikan. Justru bantuan angin sejuk itu memberi kekuatan untuk menjalankan perkara yang pelik dan kemudian menemukan bahwa ternyata saya kuat menghadapinya dan mampu mengatasinya.
Demikian juga sebaliknya ketika angin kehidupan itu melenakan dengan sejuknya, saya juga tak lupa daratan sehingga saya mengumbar janji pada diri saya dan orang lain karena hati sedang bersukacita.
Menghadirkan terik kehidupan di tengah menikmati sejuknya angin kehidupan itu bukan untuk memorakporandakan hati yang sedang bahagia, tetapi justru untuk mawas diri dan belajar untuk tidak jatuh lagi kepada kekeliruan yang sama karena lupa daratan.
Setelah acara berjemur itu, saya kembali kepada aktivitas yang telah saya catat untuk dilakukan. Dan, saya mencoba untuk menghadirkan kedua musim itu untuk pertama kalinya. Karena itu merupakan hari pertama, saya belum merasakan perubahan apa pun, meski ketika ada yang mulai mengganggu saya sudah ingin naik pitam. Dan, kemudian saya memaksa diri untuk menghadirkan angin sejuk agar darah saya tak terlalu mendidih. Harus saya akui, menghadirkan kesejukan itu jauh lebih susah daripada menghadirkan yang mendatangkan naik darah.