Pertalian Ken Arok dan Purwwa
Menurunkan raja-raja Jawa. Kata-kata itu begitu membekas di hatiku. Takhta kebesaran, keadaan yang serba megah, pelayan-pelayan istana, rakyat-rakyat yang makmur.
1/
Usai bercerita, mungkin kamu melihat wajahku merah. Ada sesuatu yang memukul-mukul di balik dadaku, menimbulkan rasa sakit yang tidak dapat kujelaskan. Bayangan-bayangan pahit itu terus meneror dalam kepala, menimbulkan rasa malu yang menggunung. Aku sangat menaruh harap kepadamu, membayarkan dendamku yang terpaksa masih bersemayam dalam hati, sebab ketidakberdayaanku.
Risen Dhawuh Abdullah
Kekalahan itu memang memalukan. Sangat memalukan. Dewata mungkin tidak menyukai tindakanku yang membabi buta menyerbu negeri Jenggala, sehingga aku dijatuhi hukuman dengan cara pergi sebagai pengecut ke Panawijen. Aku begitu bangga pada awalnya, Kertajaya berhasil kubuat malu. Ia melarikan diri dari medan perang. Tidak sama sekali kuperhitungkan bahwa ada kemungkinan ia akan menyusun kekuatan.
Pasukan itu seperti gelombang yang datang tiba-tiba. Pasukan itu dipimpin oleh panglima Tunggulametung. Aku lari, sebab menyadari kekalahan sudah di ambang mata. Pasukanku berhasil dibuat porak-poranda olehnya. Aku tidak mati, tapi berlumur kepengecutan. Tawa Kertajaya terdengar hingga sepenjuru Jenggala. Aku yakin Tunggulametung menjadi besar kepala setelah ia diangkat sebagai akuwu [1] berkat jasanya; menumpas pasukanku. Orang itulah, yang telah merawat dendamku.
”Aku sangat berharap sekali padamu, Arok. Kamu dapat menebas tangannya, supaya ia tidak bisa mempertahankan Ken Dedes, sehingga kamu dapat dengan mudah mengambilnya,” ucapku yang kesekian kalinya; berucap kata menaruh harap.
Aku percaya dengan kemampuanmu. Kamu sering merampok dan memenangi pertempuran dengan orang-orang yang hendak menyerahkan upeti kepada Kediri—hasil rampokan itu kamu bagi-bagikan kepada rakyat kecil. Tidak pernah kudengar kalau kamu tertangkap. Apakah tidak pernah ada yang melaporkan akan hal ini kepada raja? Jelas, banyak. Namun, lagi-lagi kamu hebat. Aku mengakui. Topeng penyamaran yang kamu gunakan sangat ampuh.
Ya, kamu mengenakan topeng setiap kali merampok supaya jati dirimu tidak ada yang tahu—aku sungguh heran kamu tidak pernah mengalami kesialan, misalnya topeng yang kamu kenakan terlepas. Kabar tentangmu memang sudah menyebar luas. Bagi rakyat kecil, kabar itu laksana bau bunga yang harum. Namun, bagi penguasa, kabar itu menjaga kegelisahan yang tidak kunjung hilang.
Kamu paham apa yang kurasakan. Serangan pasukan yang dipimpin oleh Tunggulametung ternyata belum cukup membuatku menderita. Ada hal yang juga menjadi penyebab aku merawat dendam. Maka itu aku mengutusmu untuk membunuhnya. Ia membawa pergi Ken Dedes, putriku, sebagai rampasan perang. Orang tua mana yang tidak terluka, anak gadisnya dirampas oleh seorang lelaki dan dinikahinya? Firasatku mengatakan kalau anakku ingin terlepas dari penguasaan Tunggulametung. Hanya saja ia tidak punya daya.
Kamu pun berangkat dengan sorot mata penuh tanggung jawab. Wajahmu memancarkan keyakinan, kalau kamu akan dengan mudah menghabisi Tunggulametung. Aku percaya kamu tulus dalam membantu, kamu tidak akan meminta apa-apa dariku. Aku sempat berbisik—bukan berjanji—kalau Ken Dedes mau, aku akan menikahkan dirinya denganmu. Tapi apakah mungkin? Sedangkan dari kabar yang kudengar, kamu disukai oleh seorang gadis bernama Ken Umang. Ah, pada akhirnya yang terpenting kamu bisa menghabisi bajingan itu, bukan andaian yang sedang tergambar dalam angan. Supaya apa? Supaya dendam dan lukaku terobati.
2/
Rencanaku buyar. Keris yang semestinya kucabut, justru masih nyaman dalam warangkanya. Nafsu yang telah menggebu; membunuh Tunggulametung hilang tidak berbekas. Dewata telah memperlihatkan kekuasaannya kepadaku lewat Ken Dedes, berupa kecantikan yang sangat luar biasa. Ken Dedes seperti bidadari yang turun dari kayangan, bahkan mungkin jika ada yang lebih tinggi tingkat kecantikannya daripada bidadari, Ken Dedes menempati posisi itu.
Aku terpaksa menunduk kepada Tunggulametung, sebagai tanda hormat diriku atas seorang penguasa. Kulakukan hal ini demi melihat Ken Dedes. Malam-malamku pun menjadi berwarna berkat bayangan Ken Dedes. Rasa kantuk seperti telah menemukan obatnya. Cahaya bintang di langit begitu indah, seindah mata Ken Dedes. Aku benar-benar mabuk akan Ken Dedes. Segala hal tentang keindahan Ken Dedes mendorongku untuk selalu menyempatkan diri mengintipnya dari balik tembok kediamannya.
Aku paling suka kalau Ken Dedes sedang sendirian, menyiram bunga atau bermain kelinci. Bagiku, pemandangan seperti itu tidak ada tandingannya; perpaduan keindahan alam dengan makhluk yang kebetulan bernama perempuan. Suatu kali aku ketahuan kalau sedang memperhatikan Ken Dedes. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku menatapnya, dia membalas tatapanku. Segera kusadarkan diriku dari angan-angan yang kotor. Kuucapkan maaf untuknya. Kepadanya aku mengaku kalau hanya ingin membuktikan ucapan orang-orang yang mengatakan kalau dirinya cantik.
Pipi Ken Dedes memerah jambu. Ada keinginan untuk menyentuhnya. Pertemuan itu mengundang pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hingga suatu kali secara tidak sengaja, Ken Dedes jatuh terpeleset di depan rumah, hingga pakaian bagian bawahnya tersingkap. Tidak sengaja aku melihat ke suatu titik; selangkangan Ken Dedes. Dari sana terpancar sinar. Ken Dedes yang tahu itu segera menutupi dan berusaha tidak menatapku.
Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan kecuali meminta maaf. Malam harinya beberapa kali aku menelan ludah. Angan-anganku menjadi tidak karuan—sebenarnya bisa dikatakan lebih ke pikiran kotor. Hanya Ken Dedes yang ada dalam pikiran. Aku berusaha menghilangkan. Kukibas-kibaskan kepala ke kiri dan ke kanan. Namun tetap tidak bisa hilang bayang-bayang Ken Dedes.
Alhasil aku menjadi gelisah dan kegelisahan itu menuntunku untuk datang kepada bopo angkatku—Bango Samparan—di Karuman. Kuceritakan padanya apa yang aku alami. Bopo angkatku tidak langsung menanggapi, ia diam sejenak, seakan apa yang telah kusampaikan merupakan masalah yang perlu banyak pertimbangan untuk diselesaikan.
”Menurut cerita nenek moyang, perempuan yang kelaminnya bersinar, dia akan menurunkan orang-orang besar,” kata bopo angkatku. ”Mungkin, Ken Dedes akan menurunkan raja-raja Jawa, karena ia ada di Jawa.”
Kata-kata bopo angkatku menyebabkan aku diam sejenak. Aku merasa bahwa ucapan itu seperti memberi semacam dorongan untuk mengabulkan keinginanku yang berusaha kupendam; keinginan memiliki Ken Dedes sepenuhnya. Menurunkan raja-raja Jawa. Kata-kata itu begitu membekas di hatiku. Takhta kebesaran, keadaan yang serba megah, pelayan-pelayan istana, rakyat-rakyat yang makmur. Bayangan-bayangan itu membuatku tersenyum. Aku menjadi teringat dengan kesanggupanku dengan Purwwa, membunuh Tunggulametung. Kalau begitu, mengapa aku tidak memanfaatkan rencana itu? Batinku. Tentu saja ini kesempatan emas.
Aku pun menjadi berterus terang kepada bopo angkatku kalau aku ingin memilikinya.
”Saya juga tidak tahu, setiap kali saya menghilangkan bayang-bayang Ken Dedes, selalu tidak bisa,” ucapku. Aku sangat berharap sekali, bopo angkatku merestuiku untuk memiliki Ken Dedes. Dalam hati aku berdoa di atas kebusukanku.
Bopo angkatku mendukung apa yang menjadi keinginanku. Ia bukannya melarangku. Ia justru bangga akan cita-citaku. Namun ia memberiku petunjuk kalau Tunggulametung bukanlah orang yang sembarangan. Ia sangat sakti mandraguna. Jadi senjata yang akan digunakan untuk membunuhnya, tidaklah senjata yang sembarangan.
”Datanglah kepada Empu Gandring. Dia empu yang terkenal ampuh dalam membuat keris. Ceritakan apa yang menjadi keinginanmu, maksudku cukup sampai pada keinginan membunuhnya saja. Perihal kamu ingin memiliki Ken Dedes jangan diceritakan. Katakan saja kalau kamu melakukan semua ini untuk kepentingan rakyat karena hidup mereka ditindas penguasa.”
Begitu tiba di tempat Empu Gandring dan kusampaikan padanya maksud dan tujuanku datang, Empu Gandring langsung menyanggupi. Namun, ia tidak bisa bila harus membuat keris dalam waktu yang singkat. Alasannya Tunggulametung bukan orang sembarangan.
”Aku butuh waktu setahun karena banyak hal yang harus kulakukan,” katanya.
Setahun bukanlah waktu yang sebentar. Aku keberatan dan menawarkan waktu yang lebih pendek. Empu Gandring tidak mau. Terpaksa aku mengiyakan.
3/
Tiada kata yang tepat untuk menggambarkan, betapa bahagianya aku begitu kabar kematian Tunggulametung tiba di telingaku. Dendamku sudah terbalas tuntas. Ken Dedes terlepas dari jerat Tunggulametung dan kembali padaku. Sebagai boponya, aku tentu senang bukan kepalang. Wajah Ken Dedes tampak lebih bersinar ketimbang yang kukenal. Dari sorot penglihatannya menyiratkan kalau ia sudah terlepas dari beban yang selama ini menindihnya.
Namun, ada satu hal yang membuatku tidak sreg dengan Ken Dedes. Ternyata ia jatuh cinta kepada Ken Arok. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan Ken Dedes. Namun, ia juga harus tahu kalau Ken Arok juga disukai oleh seorang gadis. Saat aku hendak mengatakan hal itu, aku ditimpa kabar yang membuat tulang-tulangku remuk. Ken Dedes mengaku sedang mengandung anak dari Tunggulametung. Yang aku tidak habis pikir, mengapa baru sekarang ia sampaikan?
”Oleh sebab itu, restuilah aku dengan Ken Arok. Dari sikapnya kepadaku, aku yakin omongan Ken Arok dapat dipercaya, kalau ia akan merawat anak ini dengan sepenuh hati, bopo. Niat Ken Arok sungguh tulus. Aku sangat mencintainya, bopo.”
Kugugurkan niatku mengungkap rahasia yang dimiliki Ken Arok kalau ia sedang disukai oleh seorang gadis. Anak yang ada di rahim Ken Dedes lebih penting untuk dipikirkan. Ia berhak mendapatkan kasih sayang dari seorang bopo. Cerita soal Ken Umang benar-benar kukubur dalam-dalam. Apakah suatu ketika rahasia penting itu akan terbongkar? Hanya waktu dan keadaan yang bisa menjawabnya. Tentu saja yang kuinginkan, rahasia itu tetap terjaga.
Sayangnya, tiba-tiba aku tidak yakin kalau rahasia itu akan terpendam selamanya.
Keterangan :
[1] jabatan setingkat camat.
Jejak Imaji, 15 Agustus 2021
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015 kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Jika ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.
Zusfa Roihan, lahir di Boyolali, Jawa Tengah, November 1987. Menyelesaikan studi untuk gelar BA and MA di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Saat ini dia aktif sebagai seniman dan dosen di almamaternya. Dia juga terlibat beberapa riset, kurasi, dan pameran seni, baik skala nasional maupun internasional.