Met Gala 2021 mengusung pesan serius tentang mode Amerika Serikat yang kembali kepada akar, yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan komunitas.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Mode tak pernah berada di ruang hampa. Dia selalu menyimpan narasi, juga acapkali misi untuk menyampaikan pesan. Salah satu perayaan mode terbesar di Amerika Serikat, Met Gala 2021, menyuguhkan perjalanan mode yang kembali kepada akar, identitas sebagai seorang Amerika.
Met Gala yang kerap disebut sebagai malam mode sekelas Oscar digelar pada Senin (13/9/2021) waktu setempat di Metropolitan Museum of Art’s Costume Institute di New York, Amerika Serikat. Ini adalah Met Gala pertama yang digelar di tengah situasi pandemi Covid-19. Tahun 2020, Met Gala yang rutin digelar setahun sekali, absen akibat pandemi.
Tuan rumah penyelenggara Met Gala 2021 adalah Pemimpin Redaksi Majalah Vogue Anna Wintour. Sebuah grup yang terdiri dari para bintang dari generasi Z, turut hadir sebagai tuan rumah yaitu aktor nominasi Oscar Timothée Chalamet, penyanyi muda peraih Grammy Billie Eilish, Juara tenis asal Jepang Naomi Osaka dan penulis syair di acara pelantikan Presiden Biden, Amanda Gorman.
Tahun ini, tema yang diusung adalah American Independence. Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, para tamu yang terdiri dari pesohor Hollywood hingga para pemengaruh di media sosial, kembali tampil di karpet merah dengan dandanan paling glamor dan spektakuler sesuai tema, tak jarang mengundang decak.
Ini adalah bagian dari rangkaian acara untuk menggalang kesadaran, sekaligus donasi bagi pameran yang dikuratori oleh Metropolitan Museum of Art’s Costume Institute. Salah satunya adalah Kim Kardashian yang tampil mengenakan rancangan desainer Balenciaga, Demna Gvasalia, berupa kostum hitam pekat yang membungkus tubuhnya dari kepala hingga kaki. Menurut Kim, gaya pilihannya itu mencerminkan gaya khas Amerika yang pemalas.
Tak kalah unik adalah penyanyi Erykah Badu yang mengenakan gaun duchess sutra hitam dengan kancing satin putih, sportcoat, dan rok suspender. Terlihat sangat eksentrik seperti sosok Badu selama ini.
Iman, tampil spektakuler dengan busana kolaborasi Harris Reed dengan Dolce Gabbana berwarna emas dan aksen bulu di seluruh busana. Sementara Kim Petras mengenakan dress Collina Strada dengan ornamen 3D kepala kuda di area dada dan penyanyi Ciara yang bergaya ala \'queen of rugby\' dengan gaun hijau neon yang menarik perhatian. Di bagian dada, terdapat aksen nomor pemain khas rugby, juga aksen padding di bagian pundak.
Sejumlah pesohor tampil dengan busana terbuka nyaris ‘telanjang’ (naked dress), yang tentu saja langsung menarik perhatian. Antara lain Kendal Jenner, Megan Fox, Zoe Kravitz, irina Shayk, Emily Blunt, hingga Hailee Steinfeld.
Ajang yang sama, juga sekaligus menjadi penghormatan bagi desainer Amerika kelahiran Dominika, Oscar de la Renta yang meninggal tahun 2014. Selain Anna Wintour, gaun Oscar de la Renta juga dikenakan oleh Billie Eilish.
Pesan Serius
Dibalik tampilan busana-busana unik dan tak jarang mengundang decak yang muncul di karpet merah, secara politis Met Gala memiliki pesan serius yang tak pernah diusung oleh pameran mode yang diselenggarakan oleh museum. In America : A Lexicon of Fashion yang menjadi tema pameran, adalah upaya untuk memframing ulang gaya mode Amerika yang merayakan keragaman, fokus pada kreativitas dan bakat para desainer kulit berwarna.
Ini antara lain ditunjukkan dengan semacam spanduk berwarna putih dan biru yang memampang pertanyaan “Who Gets To Be American?” dari peragaan busana tahun 2019 karya desainer, Prabal Gurung, berkebangsaan Nepal. Di luar itu, lebih dari 40 persen peserta pameran adalah para desainer dari kulit berwarna. Prosentase tertinggi yang pernah terjadi dari penyelenggaraan pameran bersama di Costume Institute.
“Pendekatan dari pameran ini datang dari gerakan Black Lives Matter,” ujar Andrew Bolton, sang kurator. “Mode Amerika telah lahir kembali, berkaitan erat dengan isu-isu sosial dan politik yang terjadi di Amerika,” katanya.
Para desainer muda di Amerika, ujar Bolton, sama halnya dengan yang terjadi di Inggris, adalah pelopor diskusi tentang inklusivitas tentang ras, gender dan tubuh. Saat ini, ambisi mereka bukan lagi tentang pekerjaan di rumah-rumah mode besar di Eropa atau menjadi sosok seperti Ralph Lauren atau Diane Von Furstenberg. “Mereka menerjemahkan mode dalam cara-cara beretika yang berakar pada nilai-nilai dan komunitas,” imbuh Bolton.
Karena itu, pameran memang tetap menampilkan karya desainer ternama Amerika seperti Ralp Lauren, Tommy Hilfiger dan Roy Halston. Namun tidak mendapat porsi istimewa. Justru desainer seperti Bonnie Cashin, yang memelopori pakaian pekerja paska era perang untuk perempuan, mendapat kesempatan untuk memamerkan dua karyanya. Desainer lain, baik yang popular maupun tidak, hanya mendapat kesempatan memamerkan satu karya.
Pameran juga tidak ditata berdasar era atau tren. Namun lebih pada emosi. “Exuberance” (kemewahan), dihadirkan dengan tampilan ballgown taffeta berwarna violet karya designer of the year di Harlem Fashion Show & Style Awards, Christopher John Rogers. Sementara “Joy” (kegembiraan) dihadirkan dengan sebuah sweater bergambar hati karya Patrick Kelly, desainer berkulit hitam juga desainer yang pertama diterima Chambre Syndicale du prêt-à-porter des couturiers et des créateurs de mode (French Federation of Fashion and of Ready-to-Wear Couturiers and Fashion Designers).
Exuberance dan Joy, dipilih untuk merefleksikan tone emosi dari iklim politik yang meningkat dan era baru individulisme di industri mode. Di mana kekuasaan departemen store mulai surut, seiring kemunculan era pakaian yang lebih menampilkan identitas personal.
Pameran tersebut kemudian menjadi lebih mirip sebuah quilt (selimut terbuat dari paduan kain perca) yang menurut Bolton merupakan metafora yang tepat untuk mode Amerika ketimbang disebut sebagai melting pot. “Melting pot lebih tentang homogenitas, sementara quilt membawa suara-suara yang berbeda menjadi satu,” kata Bolton seperti dikutip The Guardian.
Di tahun 1984, politisi Rev Jesse Jackson dalam pidatonya pernah mengatakan bahwa Amerika bukanlah selimut (blanket), lembaran kain yang terdiri dari warna, tekstur dan ukuran yang sama. Amerika lebih menyerupai quilt dengan banyak tambalan, banyak bagian, dan banyak ukuran yang semuanya dijahit menjadi satu. Pidato ini sengaja disampaikan untuk mengangkat pluralisme.
Sementara itu, pameran In America : An Anthology of Fashion, akan digelar pada 5 Mei 2022 dengan sentuhan sinematik. Idenya terinspirasi dari para pembuat film Amerika, untuk memberikan ilustrasi tentang gaya mode di sepanjang sejarah Amerika Serikat.