Menilik ”Pranatamangsa” melalui Pameran Nandur Srawung
”Pranatamangsa” memberi informasi bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Jagat digital dianalogikan sebagai alam semesta yang menyimpan pranatamangsa-nya sendiri. Hal itu yang harus direspons para perupa ini.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Jagat digital dan pandemi Covid-19 mendorong perubahan-perubahan manusia untuk beradaptasi dan terus tumbuh. Dunia seni rupa pun ingin menilik perubahan yang terjadi atau mungkin terjadi. Satu di antaranya melalui pameran tahunan Nandur Srawung #8 di Yogyakarta.
Ada 167 seniman sebagai peserta individu ataupun kelompok yang menghadirkan 72 karya. Karya-karya itu, antara lain, ingin merespons ajakan para kurator untuk menilik ulang bagaimana manusia berelasi dengan sesama dan semestanya, dan bagaimana kemampuan mereka beradaptasi dengan jagat digital dan pandemi global.
Mungkin saja, manusia makin tercerabut dengan semesta nyatanya dan tersesat ke dalam jagat digital. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para kurator dalam pameran yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta, 10-19 September 2021.
Pameran yang digelar dengan Dana Keistimewaan Yogyakarta ini mengambil tema ”Ekosistem: Pranatamangsa”. Para kurator meliputi Arsita Pinandita, Bayu Widodo, Irene Agrivina, Rain Rosidi, dan Sudjud Dartanto.
Istilah pranatamangsa mengacu pemahaman terhadap tanda-tanda alam yang berulang dan sistematis untuk dapat dimanfaatkan sebagai informasi demi menunjang kelangsungan hidup manusia, baik bagi masyarakat agraris maupun bahari.
Pranatamangsa memberi informasi bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Hal paling kentara dari pranatamangsa diwujudkan menjadi penanggalan atau kalender yang berfungsi sebagai jadwal kehidupan bersama.
Jagat digital dianalogikan sebagai alam semesta yang menyimpan pranatamangsa-nya sendiri. Para kurator menantang seniman untuk menilik kumpulan informasi maupun metode aplikasi yang terserak di jagat digital. Hal ini seperti membaca alam semesta, kemudian menemukan pranatamangsa yang bisa berguna bagi kehidupan bersama.
Temuan pranatamangsa dari jagat digital diharapkan memperkuat kelangsungan hidup manusia. Setidaknya, menuntun manusia untuk beradaptasi dan menyesuaikan kemampuan demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
”Ketika pandemi nanti selesai, kita sadar akan ada ruang-ruang pertemuan yang tidak harus bertemu secara fisik. Bagaimana kita mengadaptasi diri seperti selama pandemi berlangsung?” ujar Rain Rosidi, Kamis (16/9/2021).
Para kurator menggunakan pilihan teori Biophilia dari Erich Fromm yang menyatakan bahwa individu sehat mampu menemukan cara bersatu kembali dengan dunia. Dengan cara bersikap produktif, manusia dapat memenuhi kebutuhannya.
Ketika pandemi nanti selesai, kita sadar akan ada ruang-ruang pertemuan yang tidak harus bertemu secara fisik. Bagaimana kita mengadaptasi diri seperti selama pandemi berlangsung? (Rain Rosidi)
Petani bayangan
Respons para seniman untuk menilik ulang analogi pranatamangsa dari jagat digital memiliki ragam unik. Tidak semua karya sepenuhnya bisa terlihat lugas menjawab tantangan kuratorial. Rain Rosidi menyodorkan instalasi seni berjudul ”Petani Bayangan” karya Ign Tri Marutama sebagai karya yang tampak berusaha mendekati gagasan kuratorial.
Tri Marutama membuat citra bayangan di layar putih. Ia menggunakan sorot lampu untuk menghasilkan bayang-bayang.
Ada bayangan orang-orangan di sawah. Orang-orangan di sawah biasanya dibuat menjelang masa panen padi untuk menakut-nakuti burung pemakan biji padi. Selebihnya, ada bayangan gubuk, burung, dan rumpun padi. Tri Marutama menyertakan catatan untuk karyanya itu.
”Petani Bayangan menceritakan dilema petani dan permasalahan lahan yang makin menyempit,” kata Tri, seraya menyebut karyanya itu sebagai metafora supaya petani tidak hanya sekadar cerita untuk anak dan cucu kita.
Rain Rosidi melihat persoalan petani itu sebagai persoalan genting. Selama ini perhatian terhadap nasib petani masih kurang. Ini ditunjukkan lemahnya dukungan teknologi yang menunjang produktivitas dan kesejahteraan petani. Di sisi lain, teknologi bidang lain, seperti transportasi dan informatika, mendapat tempat dan berkembang dengan baik.
Petani merupakan bagian masyarakat yang esensial dalam menyuguhkan pangan. Akan tetapi, nasibnya seperti bayang-bayang, seperti tidak nyata.
Ada lagi yang disodorkan Rain, yaitu karya peserta asal Jepang, Takuro Kotaka. Menurut Rain, Takuro juga terlihat berusaha mendekati tantangan kuratorial. Takuro menyuguhkan film berdurasi 30 menit dan diberi judul ”Indonesian Learn Kappa Hunting Techniques”. Ia memberikan catatan tentang karyanya itu.
Selama pandemi Covid-19, para teknisi asing di Jepang, yang disebut Ginou Jisyusei, mengalami masa-masa sulit. Mereka mendapati diskriminasi dan keputusan sepihak, seperti pengurangan gaji atau bahkan kehilangan pekerjaan. Takuro menyebut persoalan di Jepang itu seperti perbudakan pada abad ke-21.
Film ini menggabungkan dokumenter dari peristiwa yang diambil di kota Shimada dengan cerita fiksi. Takuro mengarang cerita tentang monster Kappa. Monster ini memiliki daging yang bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit akibat paparan Covid-19.
Dikisahkan, ada pekerja asal Indonesia yang turut bergabung dengan masyarakat lokal di Jepang untuk memburu Kappa. ”Semua karakter diperankan orang lokal, bukan aktor profesional,” kata Takuro.
Melalui film ini, Takuro menerbitkan harapan bahwa pandemi dapat diatasi. Meski ia menyinggung pula, banyak pemerintah, seperti Jepang dan Indonesia sendiri, memberitakan kebohongan terkait pandemi Covid-19. Takuro tidak merinci kebohongan itu seperti apa.
Petani merupakan bagian masyarakat yang esensial dalam menyuguhkan pangan. Akan tetapi, nasibnya seperti bayang-bayang, seperti tidak nyata.
Ketangguhan
Seniman Syam Terajana asal Gorontalo merespons tema kuratorial pameran ke dalam karyanya yang diberi judul ”Perempuan di Hari Rawan Berpose Bersama Kampung Halamannya” (2021). Syam melukis seorang perempuan bernama Femi yang bekerja di rumahnya. ”Dia tetangga dan asisten rumah tangga keluarga saya. Femi di mata saya adalah perempuan tangguh,” ujar Syam.
Kisah Femi berlanjut. Femi adalah istri ketiga dari lima istri suaminya yang berpoligami. Femi sudah ditinggalkan suaminya dan harus membesarkan lima anak mereka. Dalam bahasa suku Suwawa di Gorontalo, Femi itu seperti sosok Ti Bainiya Nateya, yang bermakna sebagai ibu kami semua.
”Ini karya fantasi sejarah yang ingin menggambarkan ketangguhan sekaligus penyerahan diri, terutama di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang,” ujar Syam, yang belum lama ini ditinggalkan ayahnya yang meninggal di Magelang, Jawa Tengah, karena terpapar Covid-19.
Peserta pameran ini terlihat menggunakan keleluasaan untuk merespons tema kuratorial ”Ekosistem: Pranatamangsa”. Bahkan, karya kolektif seni grafiti dan hiphop Hellhouse X Honf yang diserahi kerja komisi untuk pameran ini merespons dengan tak kalah unik.
Karya pesanan para kurator untuk merespons tema pameran itu sekaligus mengisi ruang depan gedung pameran. Hellhouse X Honf membuat sebuah kubah yang diberi judul ”LoveHateLove & Muck”. Kemudian, ragam goresan warna dituangkan di atas dua panel multipleks. Kedua karya itu diberi judul ”Prototrophic” dan ”Arcapada”.
Kubah ”LoveHateLove & Muck” menjadi representasi Bumi sebagai tempat tinggal manusia. Kubah ini dihadapkan pada Prototrophic sebagai spesies predator. Kemudian ada Arcapada yang dilukiskan sebagai jejak manusia di semesta.
Hellhouse X Honf yang bertumbuh di Jalan Wijilan, tempat penjualan gudeg di Yogyakarta, berhasil membangkitkan imajinasi yang tak menentu. Ada manusia dengan ruang hidupnya. Sekaligus manusia dihadapkan pada predator. Kemudian terlihat ruang jejak manusia di semesta. Ini begitu mencekam, seperti menggambarkan ancaman bagi kelangsungan kehidupan manusia.