Kelamnya Habitat Sastra (Tanggapan untuk Hasan Aspahani, Binhad Nurrohmat, dan Warih Wisatsana)
Jangan-jangan rendahnya penghargaan ekonomis terhadap puisi dan kritik sastra merupakan salah satu manifestasi dari pemberhalaan ekonomi, yang merupakan buah dari pembengkakan ekonomi yang berorientasi akumulasi laba.
Setiap pembicaraan ihwal perpuisian Indonesia selalu mungkin menjauhi puisi. Konsekuensinya bukanlah menghentikan upaya membicarakan perpuisian Indonesia, tetapi sedapat-dapatnya memungkinkannya sedikitnya berpijak atas data yang sahih, pemahaman yang tepat dan jelas perihal puisi, dan pengamatan yang telik.
Presisi
Saya sendiri memahami puisi sebagai upaya menamai secara presisi pemaknaan atas pengalaman. Pengalaman yang dimaksud bisa pengalaman individu, bisa pengalaman bersama. Keduanya terjalin, saling memengaruhi, dan unik.
Pengalaman cinta, misalnya, pastilah tidak seragam. Kehilangan kekasih, merindukan kekasih, dan bertemu kekasih adalah pengalaman setiap pecinta yang khas. Begitu pula pemaknaan terhadapnya. Kita tahu memaknai selalu dari posisi tertentu, dalam situasi tertentu, dengan stok pengetahuan tertentu, dan dengan cakrawala harapan tertentu.
Cinta pun bagi para penyair menjadi seperti mata air yang tak pernah kering. Namun, untuk mengalir dan menghidupi, mata air itu perlu saluran yang sesuai dengan yang dibutuhkannya. Ketika penyair berhasil membangun saluran seperti itu, puisi cintanya menjadi otentik. Dan otentisitasnya memperkaya cinta, meningkatkan daya bahasa, serta memperdalam dan memperluas kemajemukan. Puisi-puisi cinta itu pun menjadi upaya pemberadaban.
Begitu pula puisi-puisi religius, puisi-puisi sosial, puisi-puisi kesejarahan, puisi-puisi ekologis, dan sebagainya. Dengan caranya sendiri-sendiri, puisi-puisi itu turut memungkinkan peradaban menjadi proses pemanusiaan. Pemanusiaannya bahkan bisa jadi pemanusiaan dengan solidaritas lintas spesies, bukan pemanusiaan kolonialis yang menempatkan manusia sebagai tuan.
Jika begitu, bukan kebaruan, tapi otentisitas yang perlu sungguh diupayakan, karena setiap puisi yang otentik niscaya mengandung hal-hal baru, baik dalam cara memandang maupun cara mengungkap. Dan memungkinkan lahirnya puisi-puisi otentik di republik dengan 17.000 pulau lebih, yang membentang dari timur ke barat sepanjang lebih dari 5.000 kilometer, melintasi tiga zona waktu, ini, bagi kebanyakan orang, sampai hari ini masih saja susah sungguh.
Habitat
Melalui ”Wahai, Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian?” (Kompas, 8/8/2021), Hasan Aspahani penuh mau menyerukan betapa perlu inovasi dalam perpuisian Indonesia. Seruan ini menyiratkan berpijak atas close reading terhadap puisi-puisi Indonesia.
Melalui ”Fundamentalisme Puisi” (Kompas, 22/8/2021), Binhad Nurrohmat menanggapi bahwa seruan Hasan ”sebenarnya kurang bisa dipertanggungjawabkan obyektivitasnya. Bahkan ia memungkas esainya: ”Jangan-jangan seruan Hasan itu berasal dari anutan fundamentalisme puisi yang dipaksakan ditempuh oleh para sastrawan saat ini?”
Melalui ”Lapis Realitas Penyair Kini” (Kompas, 5/9/2021), Warih Wisatsana memandang Hasan dan Binhad mengabaikan era digital yang merupakan ruang-waktu penyair kini. Padahal, menurut dia, era digital membentuk ”Dunia rekaan virtual yang bahkan lebih nyata dari kenyataan menampilkan sebuah rekayasa audiovisual yang kerap bersifat ’manipulatif’ mengaburkan batas yang fiksional dan yang faktual”, menjadikan ”betapa berlapisnya realitas yang dihadapi hari ini”.
Maka, lanjut Warih, ”pencarian dan pembaruan itu tidak cukup hanya dengan mengedepankan inovasi (reka baru)”—yang diklaimnya dikedepankan Binhad, tak cukup ”sebatas penggalian stilistik, estetik, ataupun ragam tematik, melainkan menyarankan pentingnya paradigma baru”.
Tanggapan Warih terbaca mengena, terutama untuk Hasan. Seruan Hasan sulit diterima berdasarkan close reading terhadap seluruh puisi di era yang dicakupnya. Dulu saja, ketika internet belum masuk, ketika puisi-puisi terbit sepekan sekali di koran-koran, sebulan sekali di majalah-majalah, tiga atau empat bulan sekali di jurnal-jurnal, dan di entah berapa buku dalam setahun, yang penerbit-penerbitnya bukan saja penerbit besar, tapi pun penerbit kecil, yang pula tak saja di Jawa, tapi juga di pulau-pulau lain, mendokumentasikan setiap puisi Indonesia sudah seperti menegakkan benang basah. Apalagi melakukan close reading terhadap kesemuanya.
Mengumpulkan data tersebut menjadi lebih sulit lagi ketika internet masuk. Memang masuknya internet ke negara ini diikuti oleh tak sedikitnya media cetak, termasuk media cetak sastra dan budaya, yang tutup. Beberapa koran cetak yang masih hidup pun menutup rubrik puisi. Namun, internet tidak saja memungkinkan munculnya media-media sastra online serta puluhan grup sastra dan puisi, tapi pun puluhan ribu orang Indonesia setiap hari menulis minimal satu puisi.
Memang puisi-puisi di Facebook, Instagram, dan Twitter tak melalui saringan. Namun, tak sedikit yang mem-posting puisi-puisi mereka sendiri yang pula sekaligus penyunting. Saya pun acap menemukan puisi-puisi di medsos yang otentisitasnya tak kalah oleh puisi-puisi di media cetak. Puisi-puisi itu pun tak sedikit yang menampakkan jejak-jejak tekun dan telik mempelajari tradisi-tradisi perpuisian baik di Indonesia maupun di tempat-tempat lain. Puisi-puisi di medsos pun tak sedikit yang hadir bersama gambar. Tampilan visualnya menjadi unsur signifikan strukturnya. Begitu pula keterbatasan ruang verbal seperti di Twitter. Hal ini sedikitnya menambah kuat dorongan untuk mengungkap sebanyak dan setepat mungkin dengan sesedikit mungkin kata.
Kemajuan teknologi informasi jadi tidak saja seperti disampaikan Warih, ”mendorong terjadinya chaostic sosial kultural”, tapi juga membuka jalan lapang bagi yang bukan penyair untuk terjun bebas ke lautan puisi, termasuk dengan keleluasaan mengeksplorasi dan bereksperimentasi.
Meski begitu, masih jarang warga Indonesia yang menjadikan internet sebagai ruang untuk menulis kritik sastra. Sehaluanlah saya jadinya dengan Binhad perihal absennya dan perlunya kritikus sastra seotoritatif HB Jassin. Sebenarnya tak sedikit yang sudah terbukti kritiknya luas dan dalam, yang memungkinkan teks sastra menjadi penting, relevan, dan berwibawa. Namun, orang-orang seperti Faruk HT, Kris Budiman, Melani Budianta, Maneke Budiman, Hasif Amini, Ignas Kleden, Aquarini Priyatna, dan Ari Jogaiswara—sekadar menyebut beberapa nama—itu belum punya ketekunan mendokumentasikan karya sastra Indonesia dan teks-teks yang bertalian dengannya seperti Jassin. Pun belum punya kesediaan untuk secara berkelanjutan menulis kritik sastra.
Saya kira itu bukan sebab mereka tak mau, tapi lebih karena di Indonesia penghargaan ekonomis akan kritik sastra sama rendahnya dengan pernghargaan ekonomis akan puisi. Saya tak mau berkata bahwa otentisitas puisi dan krtitik sastra tergantung pada ekonomi. Saya hanya menduga, jangan-jangan rendahnya penghargaan ekonomis akan puisi dan kritik sastra itu merupakan salah satu manifestasi dari pemberhalaan ekonomi, yang merupakan buah dari pembengkakan ekonomi yang berorientasi akumulasi laba, yang mencapainya dengan berkeras membuat segala jenis interaksi masyarakat menjadi transaksi ekonomi. Teks-teks yang memungkinkan itu diberi nilai ekonomi tinggi. Sementara teks-teks yang dianggap merintangi itu, seperti puisi dan kritik sastra, direndahkan nilai ekonominya. Proses ini berjalan bukan saja karena ketamakan pemodal, tapi pun oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif di berbagai tingkatan di negara ini.
Jika begitu, biang penyakitnya agaknya bukan terutama sastrawan dan kritikus sastra, tapi selingkuh pemodal dan lembaga-lembaga negara. Tentu sastrawan dan kritikus sastra tetap harus berdarah-darah melahirkan karya-karya. Namun, ikan cuma bisa berenang di air. Penyair dan kritikus sastra memang bukan paus dan pesut. Namun, jika habitat sastra sesuai kebutuhan mereka, amat mungkin makin berlimpah karya yang makin otentik dan makin besar dayanya menjadikan mata air sastra yang tak pernah kering itu mengalir menyuburkan pemanusiaan.
Hikmat Gumelar adalah Koordinator Program Institut Nalar Jatinangor