Angkie Yudistia bermimpi para penyandang disabilitas dapat mandiri dan berdaya atas dirinya sendiri. Hal itu bisa dicapai jika mereka bekerja. Kemandirian mereka diharapkan jadi teladan buat teman-teman difabel lain.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
Pendengarannya hilang saat dia berusia 10 tahun. Hilang pendengaran, hilang pula jati dirinya. Tapi, itu dulu. Kini Angkie Yudistia (34) sudah tahu siapa dirinya dan makna kehadirannya di dunia.
Saat kecil, Angkie demam tinggi karena malaria. Pendengarannya hilang karena efek samping pengobatan. Itu bukan tantangan mudah bagi anak usia 10 tahun. Kehilangan pendengaran membuat dia limbung menjalani hari. Hal sepele seperti percakapan jadi luar biasa sulit bagi dia.
”Itu membuat aku bingung. Rasanya kehilangan jati diri. Tidak bisa dengar itu (seperti) tidak bisa apa-apa. Dalam diriku, aku seperti lagi berantem dengan diri sendiri. Hidup dalam keterbatasan itu tidak nyaman, tetapi harus dihadapi,” kata Angkie dalam sesi wawancara daring, Jumat (20/8/2021).
Alat bantu dengar tidak selamanya membantu, apalagi alat versi zaman dulu. Kata Angkie, alat bantu dengarnya dulu terasa sakit saat dipakai. Suara yang terdengar pun tidak selalu jelas. Ia lalu belajar berkomunikasi dengan membaca gerak bibir lawan bicara. Namun, cara ini tidak bisa dipakai saat semua orang memakai masker karena pandemi Covid-19.
Hal itu membuat para penyandang tuli semakin kesulitan. Namun, Angkie optimistis bahwa tantangan selalu hadir sepaket dengan solusi. Terlebih, saat ini ada teknologi yang bisa mengubah lisan menjadi teks. Teknologi ini sangat membantu penyandang tuli.
10 tahun
Angkie saat ini dikenal publik sebagai Staf Khusus Presiden, milenial inspiratif yang menembus keterbatasan fisik. Nyatanya, perempuan kelahiran Medan ini butuh waktu 10 tahun untuk menerima diri apa adanya. Selama itu pula ia jatuh-bangun mencari jati diri.
Beruntung dia tumbuh di keluarga yang selalu mendukungnya. Sang ibu, kata Angkie, mendidik dia dengan disiplin. Pelajaran sekolah diulang lagi di rumah agar paham, lalu malamnya dia belajar lagi untuk mempersiapkan pelajaran esok hari. Angkie yang belajar di sekolah umum bekerja keras agar tidak ketinggalan.
”Menurut ibuku, aku harus dapat pendidikan, perlakuan, dan teman yang sama tanpa pembedaan. Ibuku tidak mau aku dapat perlakuan khusus karena aku terbatas. Dengan keterbatasan itu, aku dididik agar bisa beradaptasi,” ujarnya setelah sesi Kompas Fest dengan Tanoto Foundation.
Walau hidupnya tidak selalu mudah, Angkie melingkupi dirinya dengan energi positif orang-orang di sekitarnya. Dia punya teman-teman yang tidak sungkan berkelahi untuk membela Angkie saat dirundung di sekolah.
Titik balik
Pada usia 20 tahun, Angkie melakukan ibadah umrah dan itu mengubah hidupnya. Perjalanan spiritual menuntunnya pada tujuan hidup baru, yakni membantu sesama difabel. Menurut Angkie, masih banyak penyandang disabilitas yang terjebak dengan dirinya sendiri. Mereka sulit berdamai dengan keadaan sehingga lupa bahwa dirinya berharga dan punya kelebihan. Angkie ingin membantu mereka.
Hal ini jadi latar belakang berdirinya Thisable Enterprise, sebuah yayasan yang fokus ke pemberdayaan difabel. Sejak didirikan pada 2011, Thisable Enterprise telah mewadahi 36.000 penyandang disabilitas. Lebih dari 12.000 orang telah mengikuti pelatihan dan sebagian di antaranya sudah bekerja.
Menurut Angkie, salah satu masalah utama difabel adalah akses kerja yang terbatas. Tidak semua perusahaan mau menerima penyandang disabilitas. Di sisi lain, keterampilan yang dimiliki difabel kerap tidak sesuai dengan pasar tenaga kerja. ”Di Thisable Enterprise, kami melatih mereka berdasarkan kebutuhan pasar,” kata finalis Abang None Jakarta tahun 2018 itu.
Ia bermimpi agar para penyandang disabilitas dapat mandiri dan berdaya atas dirinya sendiri. Hal itu bisa dicapai jika mereka bekerja. Kemandirian mereka diharapkan jadi teladan buat teman-teman difabel lain.
Mimpi itu jadi selangkah lebih dekat ketika ia diangkat menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo. Sejak 2019 hingga kini, Presiden Joko Widodo telah mengesahkan tujuh Peraturan Pemerintah dan dua Peraturan Presiden sebagai turunan Undang-Undang 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Tahun ini pemerintah akan fokus ke implementasi untuk memenuhi hak dan memberdayakan penyandang disabilitas yang jumlahnya mencapai 30 juta orang di Indonesia.
”Pada 3 Desember 2021 akan dibentuk Komisi Nasional Disabilitas. Dengan komisi ini, Indonesia diharapkan menjadi negara yang ramah disabilitas,” kata Angkie. Semoga mimpi itu terwujud!