Sejenak Melambat di Era Serba Cepat
Manusia masa kini memang tak mungkin lari dari teknologi, apalagi teknologi juga bermanfaat. Namun, manusia bisa mengendalikan penggunaannya.
Di tengah gaya hidup serba cepat dan tergesa-gesa, sebagian orang justru memperlambat ritme hidupnya. Mereka tidak mau aneka teknologi dan aplikasi digital mendikte hidup mereka. Sebuah gejala perlawanan untuk mengambil alih kembali kendali kehidupan dari dominasi teknologi.
Dua dekade lalu, para penguasa teknologi internet mengatakan, ”Kecepatan adalah jantung dunia masa kini.” Orang harus bergerak cepat dan bertindak cepat demi memenangi persaingan. Kalau bisa, orang lain baru berpikir, kita sudah menawarkan solusinya. Orang lain baru niat makan seblak, kita sudah menyodorkan seblak ke hadapannya.
Era digital dengan kecerdasan buatannya mewujudkan visi gaya hidup serba cepat. Kini, triliunan informasi—yang bermanfaat atau tidak, yang benar atau palsu—berseliweran seperti kilat di sirkuit digital. Data algoritma setiap saat memberi tahu langkah apa yang perlu segera diambil seorang pebisnis dan penyelenggara negara. Aneka notifikasi dan promosi setiap detik menyuapkan konten yang sedang viral, gosip artis, berita terkini, aneka tutorial, hingga tawaran kaya lewat pesugihan.
Teknologi digital menyeret orang untuk terus memproduksi dan mengonsumsi apa saja tanpa batas, mendorong orang lari terbirit-birit mengejar gaya hidup serba cepat, segera, dan instan. Dunia semacam itulah yang menyergap Magali Dargahamel (31), Muhammad Khan (30), perupa Nasirun (56), dan jutaan manusia masa kini.
Sebelum 2018, Magali, perempuan blasteran Sunda-Perancis, malang-melintang di galeri-galeri seni dunia. Pekerjaan memaksanya terus bergerak dan berputar sangat cepat. Hari ini di New York, besok sudah di Hong Kong untuk bertemu kolektor dan orang-orang superkaya. Demi pekerjaannya, ia mesti memantau aneka informasi dan mencernanya. ”Saya selalu bekerja dan mem-push diri sampai ke tahap maksimal. Push, push, dan push,” ujar Magali, Rabu (1/9/2021).
Lama-lama ia lelah. Ia memutuskan hijrah ke Bali sekalian membantu ibunya yang memiliki Galeri Darga di Sanur. Di Pulau Dewata yang tenang, hidup Magali ternyata tetap bergerak cepat. Pekerjaan dan aneka kewajiban tetap menyergapnya. Sampai di satu titik, tubuhnya menolak untuk berfungsi.
Ia mesti dirawat di rumah sakit dan diagnosis dokter menunjukkan ia mengalami depresi tanpa tahu penyebabnya. Setelah mengikuti aneka terapi diri, Magali akhirnya tahu ia mengalami information overload. ”Saat mengalami itu, pikiran saya dipaksa terus bekerja dan tidak pernah bisa diam,” ujar Magali yang akhirnya mengikuti terapi penyembuhan diri Kokoro.
Ia diajarkan untuk tidak mengejar atau membuktikan apa pun. Kondisi mentalnya yang kebanjiran informasi diubah jadi miskin informasi lewat laku isolasi dan kembali pada alam. ”Rasanya enak banget ternyata. Relasi dengan orang dekat makin dekat. Saat ketemu, kita benar-benar saling mengobrol dan mendengarkan tanpa diganggu HP,” ujar Magali yang rutin mematikan gawainya sejak pukul 20.00.
Kendali penuh
Seperti Magali, Muhammad Khan (30) berusaha memiliki kendali penuh atas tubuh dan pikirannya. Kesadaran itu ia peroleh saat mendalami seni teater dan keaktoran di ISI Yogyakarta. Peralatan utama seorang aktor untuk berkarya tidak lain tubuh, jiwa, dan pikirannya. Oleh karena itu, Khan tidak ingin mencemarinya dengan aneka kesadaran palsu, termasuk yang dibangun industri kapitalistik.
Dia memutuskan berhenti merokok dan tidak menenggak alkohol. Ia pelajari cara kerja tubuhnya dan bahan makanan yang ia makan. Ia olah dan racik sendiri makanannya yang ia santap. Mirip para penganut slow food, Khan tidak mau didikte oleh industri soal apa saja yang harus ia konsumsi.
Khan membatasi penggunaan gawai agar tidak terganggu oleh informasi yang tidak ia butuhkan. Dia bahkan pernah berpuasa gawai selama tiga bulan pada akhir 2020. Ia mengganti telepon pintarnya dengan telepon seluler yang hanya bisa dipakai untuk menelepon, mengirim serta menerima pesan teks. Hasilnya, Khan merasa hidupnya sangat tenang, ritmenya melambat. Ia berencana akan kembali melakukan detoksifikasi efek gawai.
Khan melakukan semua itu karena ingin adil dan menjadi pemimpin bagi tubuh, pikiran, dan jiwanya sendiri. ”Apalagi aku punya cita-cita panjang untuk berkarya sebagai seorang aktor,” ujar pemeran Juno di film Kucumbu Tubuh Indahku itu, Kamis (2/9/2021).
Perupa Nasirun (56) sudah hampir dua dekade hidup tanpa telepon dan gawai. Hal itu justru ia lakukan ketika lukisannya mengalami booming di pasar sejak 1997. Banyak kolektor dari Tanah Air maupun mancanegara memburunya. Para pengelola galeri berebut menawarkan aneka kontrak.
”Hingga tahun 2000, saya ingat dalam sebulan ada lima galeri dari Hong Kong, Singapura, Jakarta, dan lainnya bersamaan menawarkan kontrak kerja sama. Saya tidak bisa menolak, tetapi sekaligus tidak bisa menerima kontrak dari setiap galeri itu,” cerita Nasirun di Yogyakarta, Selasa (31/8/2021).
Kontrak dari galeri biasanya mengikat seniman dan itu tidak ia kehendaki. Setiap kali menerima tawaran kontrak lewat telepon dari galeri, ia berusaha mengelak. Kadang saat mengelak terselip kebohongan. ”Saya merasa ketika menjawab telepon, saya jadi begitu mudah berbohong. Saya tidak mau menjadi pembohong,” ujarnya.
Nasirun mengambil langkah dratis. Ia memutus saluran kabel telepon rumahnya. Ketika gawai mulai banyak digunakan, ia juga tidak mau memilikinya. ”Saya bukannya antiteknologi, saya hanya melihat kebermanfaatan bagi profesi seorang seniman yang bekerja mengolah dari dalam, bukan dari luar diri kita,” kata Nasirun yang menyerahkan urusan di luar produksi karya kepada anak dan istri.
Tanpa telepon dan gawai, ia ternyata lebih produktif. Selama pandemi Covid-19, ia membuat ratusan karya, baik lukisan maupun patung. ”Kalau saya punya gawai, mungkin semua ini tidak pernah terjadi,” ujar Nasirun.
Di antara ratusan karya yang ia buat, ada 200 maneken berbentuk kepala manusia yang dilukis dengan beragam tema seputar aplikasi, mulai Tiktok, Zoom, Go-Food, Grab-Food, dan seterusnya. ”Di kepala-kepala itu saya ingin menunjukkan yang ada sekarang aplikasi gawai,” ucapnya.
Keseimbangan baru
Idi Subandy Ibrahim, pakar komunikasi dan gaya hidup, melihat, teknologisasi di hampir semua aspek kehidupan membuat orang jenuh. Itu terjadi karena teknologi digital berikut aplikasi dan kecerdasan buatan di dalamnya membombardir waktu luang, mengintervensi imajinasi, mendikte kesadaran, dan merenggut kebiasaan paling sederhana manusia.
Setiap saat, industri memaksa orang untuk beradaptasi dengan teknologi, tren, dan aplikasi baru. Belum selesai beradaptasi dengan satu teknologi dan kultur digital baru, sudah muncul teknologi dan kultur lainnya.
Industri berusaha mengonstruksi bahwa apa yang lebih cepat, itu lebih baik. Orang takut ketinggalan informasi dan tren, takut ketinggalan dalam memproduksi konten. Kecepatan, kuantitas, kebaruan, ketenaran jadi ukuran kesuksesan dan keberhasilan. ”Ini berbahaya. Sebab, kesadaran kemanusiaan soal kehati-hatian, kebijakan, kualitas, dan lain-lain itu dihilangkan dan dimarjinalkan,” tegas Idi.
Idi tidak heran, dalam kondisi seperti ini, muncul perlawanan di kalangan kelas menengah yang berusaha memperlambat gaya hidup, termasuk lewat gerakan slow food, slow fashion, dan slow journalism. ”Ini perlawanan kelas menengah terhadap ideologi teknologisasi dan kapitalisme mutakhir. Sebuah perlawanan untuk melepaskan diri dari penjajahan oleh teknologi dan kecepatan. Mencari keseimbangan baru.”
Manusia masa kini memang tak mungkin lari dari teknologi, apalagi teknologi juga bermanfaat. Namun, manusia bisa mengendalikan penggunaannya. Sekarang pilihan bergantung pada kesadaran Anda. (BSW)