Berdaulat di Meja Makan dan Lemari Pakaian
Lewat ”slow food” dan ”slow fashion”, mereka kembali berdaulat di meja makan dan lemari pakaian.
Ketika kaum urban sibuk mengejar gaya hidup yang serba cepat, industri mengurus hampir semua kebutuhan rumah tangga, termasuk makanan serba instan. Tetapi, semua kemudahan itu mesti dibayar mahal. Keluarga-keluarga urban kehilangan kedaulatan di dapur dan meja makan.
Saat meniti karier di dunia periklanan selama 21 tahun, Bertha Suranto (53) jarang berurusan dengan dapur. Ia serahkan semua urusan makan keluarga kepada asistennya. Perempuan karier yang berperan ganda sebagai ibu rumah tangga seperti Bertha lazim melakukan itu.
Di era digital, bahkan banyak rumah tangga yang menyerahkan urusan makan keluarga pada aneka aplikasi penyedia makanan dan restoran cepat saji. Tinggal klik, makanan datang seketika.
Ketika tidak lagi berkarier, Bertha mulai berkutat di dapur. ”Saya baru belajar masak meski saya tahu saya punya bakat memasak. Saya gali resep-resep enak buatan ibu saya yang jago masak, seperti tempe bosok, lodeh, dan sayur genjer,” tutur Bertha, Kamis (2/9/2021), di Yogyakarta.
Dengan memasak sendiri, ia tahu persis bahan-bahan makanan yang ia racik dan konsumsi. ”Saya menikmati benar peran saya sebagai ibu rumah tangga, masak untuk keluarga, makan bersama di meja makan. Dari situ, saya tahu apa yang dikerjakan dan dipikirkan anak-anak,” katanya.
Di meja makan, kami belajar soal toleransi dan tak boleh korupsi. Saya menerapkan nilai-nilai serupa kepada kedua anak saya. Jatah makanan diatur demi mencegah kerakusan.
Di meja makan, Bertha melarang anak-anaknya memakai gawai karena bisa merusak keintiman di meja makan. ”Bahkan, kalau ke restoran, HP mereka saya kumpulkan. Paling saya yang pakai untuk memfoto makanan.”
Bagi Bertha, dapur dan meja makan mesti berdaulat dari intervensi apa pun, termasuk media sosial dan aneka aplikasi. Pasalnya, di meja makanlah proses internalisasi nilai dilakukan dari orangtua kepada anak.
”Dulu waktu kecil, kami tidak boleh mengambil sendiri-sendiri. Semua dijatah agar cukup untuk tujuh orang. Di meja makan, kami belajar soal toleransi dan tak boleh korupsi. Saya menerapkan nilai-nilai serupa kepada kedua anak saya. Jatah makanan diatur demi mencegah kerakusan,” tuturnya.
Belakangan, Bertha membuka Joglo Ndeso dan Kebun Hidroponik di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, konsep serupa slow food. Restoran itu menanam sayur-mayur dan buah sendiri secara hidroponik serta membeli ikan dan ayam dari petani atau pasar tradisional terdekat. Memasak masakan dengan resep yang diturunkan dari ibu.
Slow food merupakan gerakan antitesis dari fast food yang berkembang di Italia pada pertengahan 1980-an. Fast food bermodal besar dan mengusung kecepatan. Semua rantai proses produksi makanan dikuasai industri. Intinya, konsumen tinggal makan, tanpa perlu tahu bagaimana makanan itu diproses, dari mana bahan mentahnya, kandungan gizi, dan efeknya pada tubuh.
Sementara gerakan slow food yang berlambang keong itu mengajarkan kita mengonsumsi makanan yang asal-usul bahannya jelas, dimasak dengan cinta seorang ibu, dan dinikmati dalam kehangatan keluarga.
Di Jakarta, Jessica Halim (41) menghayati gaya hidup slow food tanpa sengaja. Awalnya, ia hanya ingin punya peran dalam melestarikan lingkungan meski sedikit. Maka, sejak pandemi Covid-19 merebak, Jessica yang juga Co-Founder demibumi.id mulai menanam sendiri aneka sayur-mayur, umbi-umbian, buah, jamur, dan bumbu dapur untuk konsumsi keluarga di halaman rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
”Saya melakukan ini supaya enggak nyampah. Kalau apa-apa serba beli, terutama snack, itu kan dibungkus plastik,” ujar Jessica, Jumat (3/9/2021).
Dari ”supermarket” di halaman rumah, ia mengolah aneka makanan untuk keluarga dengan cinta. Kedua anak perempuannya senang terlibat di kebun dan di dapur. ”Melibatkan mereka untuk mengenal dan merasakan, menurut saya, penting karena itu akan mereka bawa terus sampai tua,” katanya.
Kebersamaan berlanjut di meja makan. Mereka menikmati hidangan sambil mengobrol hal-hal ringan, termasuk aktivitas berkebun. Sesuatu yang sulit dilakukan jika makan di restoran fast food yang hiruk pikuk dengan pelayan dan pengunjung serba tergesa-gesa.
Jessica merasakan kualitas hidupnya meningkat drastis dengan gaya hidup slow food. ”Selama pandemi, semua anggota keluarga tetap sehat. Kalau alamnya sehat, manusianya juga sehat,” kata Jessica.
Mode yang lambat
Mengikuti jejak perkembangan slow food, sejumlah pelaku dunia mode mencoba melambatkan roda dunia mode lewat gerakan slow fashion. Istilah ini mulai digunakan oleh seorang profesor dari University of The Arts London’s Centre for Sustainable Fashion, Kate Fletcher, sebagai sebuah gerakan mode yang mengedepankan kualitas daripada kuantitas produk mode.
Gerakan yang mengemuka pada awal tahun 2000-an itu berusaha meredam masifnya produksi pakaian dan hasrat manusia urban untuk membeli pakaian. Ini berlawanan dengan cara kerja industri kapitalisme yang mendorong hasrat orang untuk mengonsumsi tanpa batas dengan terus menyodorkan kebaruan dan perputaran tren mode setiap saat. Pada akhirnya, produk mode yang dikonsumsi menumpuk sebagai sampah yang membebani lingkungan.
Kesadaran tentang perlunya menjaga lingkungan membuat gerakan slow fashion mulai banyak diadopsi kaum urban, termasuk oleh Puteri Indonesia 2005 Nadine Chandrawinata. Pada hari pernikahannya, ia bahkan memilih mengenakan gaun pengantin yang berusia 37 tahun yang dikenakan ibunya saat menikah.
”Banyak barang dan pakaian masih bisa dipakai lagi karena mama seorang good keeper (pemelihara barang yang baik). Semua barang itu masih dalam kondisi baik, seperti gaun, taplak meja, gorden, serta peralatan makan dan masak,” ujar Nadine, Rabu (1/9/2021).
Nadine juga biasa merangkai ulang beberapa pakaian atau sepatu lamanya. Dengan tambahan sedikit perhiasan dan pernak-pernik, barang lama seolah tampak baru. Dengan cara itu, Nadine berusaha mengendalikan nafsunya untuk mengonsumsi produk mode baru. ”Yang namanya sifat konsumerisme enggak akan bisa berhenti,” tegasnya.
Marina Putri (35), seorang pegawai swasta, menghayati konsep mode lambat ini meski awalnya ia tak mengerti apa itu mode lambat. ”Gue waktu itu mikir-nya biar hemat saja, ha-ha-ha. Dulu mana ngerti gue sama slow fashion. Yang gue tahu beli baju melulu, duit habis, lemari sampai enggak muat.”
Marina mulai menyortir pakaian lama dan mengkreasikan ulang. Kaus lama dipotong bagian kerahnya agar berubah menjadi kerah sabrina. Celana jinsnya yang sudah ketinggalan zaman dipotong menjadi pendek dengan ditambahkan aksesori.
Ia juga rajin mengubek-ubek lemari sang mama dan nenek. ”Jangan salah, baju oma juga bisa jadi tren sekarang. Ada dress lama oma yang masih bagus banget dan muat. Gue pinjam buat pergi, eh ada yang tanya beli di mana? Ha-ha-ha.”
Kesadaran soal slow fashion mulai direspons sejumlah jenama mode Indonesia, antara lain Sejauh Mata Memandang, Thenblank, dan Tinkerlust. Menurut Chitra Subyakto dari Sejauh Mata Memandang, kita tak lagi fokus pada kecepatan produksi, tetapi kualitas produk. Ia juga mengaitkan konsep ini dengan kesejahteraan pekerja.
”Kualitas yang baik itu artinya lebih awet sehingga konsumen juga bisa menggunakan dalam jangka panjang. Karena itu, proses produksinya dan kesejahteraan serta kesehatan pekerjanya diperhatikan. Yang pasti lingkungan diperhatikan dengan tidak terus-menerus mengambil dari alam atau mencemarinya,” ujar Chitra.
Jenama Thenblank milik Mutiara Kamila Athiyya menjalankan konsep ini sejak awal dibentuk pada 2012. Pakaian yang diproduksi dirancang bisa dipakai untuk acara formal ataupun sehari-hari. Ia juga mendorong para konsumen untuk lebih bijak dalam berbelanja pakaian.
Adapun Tinkerlust mendedikasikan platform belanja daring ini untuk barang-barang preloved. Samira Shahab dan Aliya Amitra memberi kehidupan kedua bagi baju-baju yang sudah tidak terpakai. Juga mendorong para konsumen untuk tak melulu mencari yang baru ketika barang lama masih bisa dipakai.
Lewat slow food dan slow fashion, mereka kembali berdaulat di meja makan dan lemari pakaian. (BSW)