Menilik pada sejarah ”modest wear” atau busana santun ini memang tak bisa dilepaskan dari konteks keagamaan, juga budaya.
Oleh
Riana A Ibrahim
·5 menit baca
Kerap kali muncul sangkaan modest wear merupakan busana muslim atau terikat dengan konsep religi tertentu. Wajar saja mengingat presentasi tentang modest wear selalu berpadu dengan aneka jilbab atau kerudung. Konsep modest bahkan kerudung penutup kepala sendiri sesungguhnya juga milik kelompok lain, di luar muslim. Bahkan, kini diadopsi banyak perempuan dari sejumlah negara tanpa memandang agama.
Menilik pada sejarah modest wear atau busana santun ini memang tak bisa dilepaskan dari konteks keagamaan, juga budaya. Memang, semula berawal dari kalangan perempuan Muslim di Arab dan Turki pada periode Islam Abbasiyah sampai Kesultanan Ottoman pada abad ke-14. Mereka akrab menggunakan abaya, kaftan, dan memadukannya dengan luaran panjang, seperti cardigan atau mantel. Tak jarang juga yang mengenakan tunik panjang dengan celana panjang.
Kala itu, busana semacam itu juga dikenakan para perempuan Kristen Ortodoks, bahkan Yahudi Ortodoks. Begitu pula dengan penutup kepala. Islam mengenakan jilbab, Yahudi Ortodoks memakai kain yang diikatkan ke belakang, tepat di bawah tengkuk untuk menutupi seluruh rambut dengan sebutan mitpahat. Kristen Ortodoks juga memasang penutup kepala dengan cara diikat ke depan, di bawah leher yang terkadang masih menyembulkan sedikit rambut bagian depan, tetapi ada juga yang menutup seluruh rambut.
Mundur lagi pada masa-masa kerajaan di Eropa, konsep berpakaian santun bagi para perempuan ini sudah berjalan. Penekanannya ada pada pemakaian bawahan yang panjang menutup hingga mata kaki. Bagian atasnya bisa jadi tetap terbuka, tetapi dalam batasan tertentu, bahkan masih dipadu dengan sarung tangan yang panjang hingga siku untuk para bangsawan.
Namun, pada modest wear yang terus berkembang belakangan ini mengambil kiblat pada busana yang didominasi kaftan, kemeja longgar berlengan panjang, celana wideleg atau kulot lebar, juga tunik. Pilihan menggabungkannya dengan penutup kepala, yakni jilbab, pun dilakukan karena pangsa pasar awal akhir 1990-an didominasi perempuan Muslim.
Indonesia menangkap sinyal ini. Lahir kemudian banyak desainer yang berkiprah memajukan tren modest wear di Tanah Air. Salah satunya Restu Anggraini lewat jenama ETU. Tekad Restu untuk fokus pada modest wear yang mengawali karier di bidang mode pada 2010 ini tepat. Jenama miliknya pun menjadi salah satu yang populer di tengah para hijabers.
Meski pada tampilannya selalu memadukannya dengan jilbab, busana milik ETU ini bisa dipakai juga oleh para perempuan yang tak memakai jilbab. Sebelum nyemplung dengan spesifikasi modest wear, Restu menjalankan lini busana kantoran. Beberapa desainnya saat ini pun masih terasa sesuai untuk digunakan ke kantor.
Di akhir 2020, Restu yang mengeluarkan koleksi baru di atas panggung Jakarta Fashion Week 2021 bertajuk ”Reverie”. Motif bunga lili yang disebutnya sebagai penggambaran harapan mewarnai sejumlah koleksinya. Lukisan beraliran kubisme juga turut menginspirasinya. Namun, ciri khasnya dengan pemilihan warna, seperti hitam, putih, biru, dan abu-abu tak lepas. Kombinasi motif yang simpel juga menjadi penandanya.
”Yang terpenting itu punya DNA. Itu wajib jika ingin berjalan di dunia mode. Pilih DNA-mu mau seperti apa. Itu nantinya akan melahirkan ciri khas yang membedakanmu dari brand lain walau bergerak di area atau fokus yang sama. Sekarang kan modestwear ini banyak sekali,” ujar Restu dalam gelaran Kompas Fest dengan perbincangan ”Kunci Sukses Brand Modest Fashion” yang digelar secara virtual, Sabtu (21/8/2021).
Selain DNA, Restu juga menyingung soal kain yang dipakai dalam menghasilkan busana yang didesainnya. Bahan dasar katun dan rayon disebutnya paling sesuai jika ingin bermain dengan modest wear. Potongan yang panjang dan longgar harus dipadankan dengan kain yang adem dan bertekstur ringan sehingga nyaman dikenakan dalam durasi lama.
Keluhan dari para pengguna modest wear adalah bahan yang tak menyerap keringat, bahkan cenderung gerah. Ini sangat dihindari oleh ETU. Meski harus dipakai dengan pilihan gaya bertumpuk, ia berupaya pakaian besutannya nyaman dan cocok untuk kondisi cuaca yang terik sekali pun.
Siapa saja
Sementara itu, Mutiara Kamila Athiyya, pendiri jenama Thenblank, meski mengaku tak spesifik bergerak dalam lingkaran modest wear, beberapa koleksi jenamanya menimbulkan kesan tersebut. Terlebih lagi, ia juga sempat menggandeng pesohor berhijab untuk membantu promosi karyanya. Ia pun tak mempermasalahkannya.
”Pada dasarnya, konsep Thenblank ini minimalist style yang bisa digunakan daily basis, tapi juga bisa dipakai di acara yang lebih formal. Untuk potongan bajunya, memang dibuat lebih longgar dengan berpegang pada kenyamanan yang ingin dicapai, tapi bisa dipakai siapa saja. Tidak harus yang berhijab,” ucapnya.
Andalan dari Thenblank sejak awal diperkenalkan adalah celana chino berpadu dengan kemeja longgar. Produk ini laku keras dan terus dikreasikan ulang. Belakangan mulai muncul dress, kaus lengan panjang, hingga inner lengan panjang untuk dipadukan dengan dress atau tunik yang sengaja dibuat tak berlengan. Kemejanya pun dibuat tak hanya polos, tetapi ada yang bermotif garis atau kotak. Kini, Thenblank juga merambah ke pakaian pria.
Kembali lagi pada babakan sejarah, modest wear memang tidak serta-merta busana muslim. Modest wear lebih menggarisbawahi konsep sopan yang secara paralel mengambil inspirasi dari busana muslim. Karena itu, fokusnya lebih pada siluet longgar, baik untuk atasan, bawahan, maupun gaun. Potongan bajunya pun cenderung tertutup. Warna dan motif kini lebih variatif dan menyenangkan. Penutup kepala? Itu hanya pilihan.
Hal ini yang diadaptasi jenama besar, seperti Uniqlo, H&M, DKNY, hingga desainer Oscar de la Renta yang mengeluarkan koleksi Ramadhan. Busana yang sopan, tetapi tak terikat pada penutup kepala yang khusus sehingga dapat dikenakan banyak perempuan sesuai dengan pilihannya. Berhijab atau tidak.
Bebas
Kendati demikian, kehadiran modest wear ini juga tak luput dari perdebatan. Apabila desainer Barat pada era pasca-Perang Dunia I menggugat tampilan berpakaian perempuan, bahkan pada periode selanjutnya gugatan kebebasan ditampilkan dengan setelan pakaian terbuka dan mini, modest wear ini memang sebaliknya, tetapi bukan berarti membelenggu.
Hal ini tampaknya yang kerap dipersoalkan. Pemakaian busana yang tertutup hingga aturan penutup kepala yang dikaitkan dengan ajaran agama adalah sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan berekspresi perempuan. Tidak juga. Memilah kebebasan dengan standar pakaian terbuka atau tertutup justru menutup ruang kebebasan itu sendiri.
Pada masa kini, cara berpakaian adalah hal yang sangat personal, apa pun pengaruh atau nilai yang melatarbelakanginya. Bagi yang ingin berekspresi dengan celana pendek dan kaus ketat atau gaun dengan tali spaghetti, tidak ada masalah. Begitu pula dengan mereka yang lebih merasa nyaman dengan kemeja dan celana panjang, bahkan memilih berpenutup kepala. Boleh saja.
Kata kuncinya adalah semua dilakukan atas dasar kesadaran diri. Bukan paksaan.