Mitos harimau dalam konteks ini dapat dipandang sebagai suatu arketipe, suatu gambaran dasar yang terpendam dalam mental kolektif kita dan dihayati melalui berbagai foklor ataupun tarian ritualistik.
Oleh
Saras Dewi
·5 menit baca
Kegawatan bagi umat manusia! Demikian maklumat para ilmuwan terkait dengan krisis iklim yang tengah terjadi. Laporan yang dihasilkan oleh lembaga Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) merupakan dokumen berbasiskan sains yang menguraikan secara komprehensif status kedaruratan lingkungan hidup. Penelitian ini ditempuh dengan cara mengolah 14.000 makalah ilmiah dari penelitian empiris dan dilakukan selama tiga tahun terakhir.
Laporan ini merupakan kerja sama 234 ilmuwan yang berasal dari 65 negara. Inti daripada laporan ini adalah pembuktian menggunakan dasar saintifik bahwa tindakan-tindakan manusia berakibat pada bumi yang semakin memanas.
Kenaikan suhu bumi akan berakibat malapetaka bagi manusia. Para ilmuwan memperkirakan kebencanaan yang dapat terjadi jika suhu terus meningkat, cuaca yang ekstrem dapat menyebabkan bencana banjir, begitu pula gelombang panas dan kekeringan di seluruh penjuru dunia. Laporan IPCC menyampaikan fakta-fakta kelam dampak perbuatan manusia, konsentrasi CO2, permukaan air laut yang meninggi, menghilangnya lapisan es di Arktika, juga mencairnya gletser, dan meningkatnya keasaman air laut.
Degradasi lingkungan hidup disebabkan pemanasan ini terjadi secara cepat, suhu permukaan bumi dinyatakan 1,09 derajat celsius lebih tinggi dalam waktu sepuluh tahun terakhir. Bahkan, laporan IPCC menegaskan, tahun 2015-2020 tercatat sebagai suhu terpanas semenjak 1850. Jika tidak ada mitigasi demi menekan emisi karbon dalam skala besar, dalam waktu 20 tahun ke depan suhu bumi akan meningkat lebih dari 1.5 derajat celsius.
Publikasi penelitian iklim ini serasa mencekam sebab kita melihat kebencanaan iklim tengah terjadi di seluruh dunia. Banjir besar di Jerman dan Belgia, lalu kebakaran hutan di Yunani yang disebutkan sebagai bencana terburuk selama 30 tahun terakhir. Begitu pula kebakaran di Turki, Rusia, Italia, dan Amerika Serikat. Manusia perlu mawas diri, bayangkan saja, wilayah terdingin seperti Siberia pun menderita karena gelombang panas yang menyebabkan kebakaran hutan seluas 3.4 juta hektar. Manusia telah menciptakan neraka di bumi. Di balik deretan kata-kata ilmiah, juga bertumpuknya grafik dan diagram, laporan ini sesungguhnya adalah sangkakala, menandakan lenyapnya keseimbangan yang purba. Kehilangan ini semestinya menjadi dukacita, kehancuran daya topang alam berarti kemusnahan biodiversitas.
Tertuliskan dalam penelitian itu bahwa perubahan yang terjadi disebabkan emisi gas rumah kaca tidak dapat dipulihkan kembali dalam jangka waktu berabad-abad hingga milenium pada masa depan. Terlebih lagi, aktivitas manusia berdampak sebegitu besarnya terhadap sistem iklim, hingga menyebabkan ketidakseimbangan energi bumi.
Saya merenungkan makna energi bumi, yakni keterhubungan antara bumi dan matahari menyangkut energi yang ditangkap dan dilepaskan. Betapa indahnya harmonisasi itu, titik keseimbangan itu memungkinkan kehidupan yang berlimpah dengan jejaring dan keberagaman. Terganggunya energi bumi, dalam benak saya, berarti sakitnya kesatuan tubuh bumi. Tubuh bumi adalah seluruh laut, sungai, gunung, hutan, lembah, juga sabana yang semarak dengan berbagai spesies flora dan fauna. Energi itu adalah gabungan dari beraneka ragam makhluk. Namun, keselarasan itu terancam binasa, satu demi satu spesies mengarah pada kepunahan.
Harimau, sang penguasa rimba, berjalan terhuyung-huyung lemas. Ketika sekarat, ia menghampiri permukiman warga dengan napas berat. Warga di Padang Gelugur, Pasaman, Sumatera Barat, sontak riuh. Mereka pun iba melihat harimau yang sakit itu. Meski diberikan pertolongan, harimau itu pada akhirnya meninggal.
Warga setempat meyakini bahwa harimau bukanlah makhluk biasa, mereka makhluk gaib yang menjaga keselamatan jagat. Itu mengapa, harimau yang mati tersebut dibalut kain, seolah-olah dikafani, lalu dikuburkan dan didoakan seperti layaknya manusia.
Saya terngiang masa penelitian di Leiden, Belanda, kala itu pada suatu sore sambil menyeruput teh mint, saya berdiskusi dengan Profesor Peter Boomgaard. Berjam-jam lamanya kami berbincang tentang harimau dan betapa pentingnya keberadaan harimau sebagai pemangsa apeks bagi ekosistem. Profesor Boomgaard adalah pakar sejarah lingkungan hidup, dan karyanya, ”Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay World, 1600-1950” adalah pelopor penelitian tentang lingkungan hidup dan harimau di Asia Tenggara. Dalam buku itu, ia mempertanyakan, apakah satwa, atau dalam hal ini harimau, memiliki sejarah? Ia berargumen bahwa sejarah dunia bukan berarti sejarah manusia saja, melainkan pengetahuan tentang semua nexus kehidupan di bumi.
Kesalahan paham jika menganggap sejarah manusia sebagai sesuatu yang terpisah dan utama dibandingkan dengan sejarah alam atau sejarah flora dan fauna. Tidakkah kehidupan manusia dirangkai oleh alam sekitarnya? Para leluhur kita pada masa lampau menyimpan sejarah tentang alam menggunakan tubuhnya. Mereka menari meniru gerakan satwa sekaligus meneladani karakteristik makhluk tersebut, seperti; harimau, burung, monyet, kuda, dan berbagai bentuk tarian lainnya.
Penari legendaris Hurriah Adam menuliskan tentang kemelekatan budaya Minang dengan ketakjuban terhadap alam, ”Pengamatan terhadap alam melahirkan tarian-tarian...”. Salah satu karya koreografinya adalah tari Barabah yang mengekspresikan gerak kebebebasan sepasang burung. Selain itu, di Sumatera dikenal juga silat harimau yang konon gerakannya terinspirasi kesaktian harimau.
Saya mendengarkan cerita Esha Tegar Putra, seorang penyair asal Sumatera tentang kampungnya di Saniangbangka, Solok. Ia menuturkan tentang Inyiak Balang, panggilan untuk harimau gaib yang amat dihormati.
Mereka memiliki tradisi Rasaki Harimau atau rezeki harimau, mereka berbagi hasil perburuan sebagai simbol ucapan terima kasih dan tanda saling menghargai ruang hidup bersama tersebut. Mitos harimau dalam konteks ini dapat dipandang sebagai suatu arketipe, suatu gambaran dasar yang terpendam dalam mental kolektif kita dan dihayati melalui berbagai foklor ataupun tarian ritualistik. Imaji tentang alam juga mengisi relung kosmogonik manusia. Sekalipun, membayangkan makhluk mitologis seperti Barong, Garuda, ataupun Naga, figur-figur ini adalah amalgamasi dari keelokan dunia satwa.
Malangnya, habitat bagi spesies-spesies ini semakin tergerus. Kehadiran mereka menjadi langka, rapuh, dan samar. Sejarah kehidupan mereka dihanguskan dalam api yang disebabkan oleh manusia. Saya terkenang kisah di dalam Visnu Purana yang menceritakan tentang tibanya zaman ketika Dharma telah dilupakan dan dunia dikendalikan kemungkaran. Api akan meluluhlantakan dunia yang kemudian disambung dengan hujan selama ratusan tahun sehingga membenamkan dunia. Pengandaian apokaliptik ini membuat batin saya resah. Lantas, adakah ritual tarian untuk menghadapi katastrofe yang akan terjadi ?