Ni Nengah Widiasih, Menembus Berbagai Keterbatasan
”Saya senang dan bangga sekali dengan medali perak ini karena sesuai target saya sebelum Paralimpiade 2020. Semoga medali ini menjadi motivasi untuk kawan-kawan yang lain,” kata Ni Nengah Widiasih.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
Lifter putri Indonesia, Ni Nengah Widiasih, meningkatkan prestasinya di ajang Paralimpiade, yaitu dari perunggu angkat berat 41 kilogram pada Rio de Janeiro 2016 menjadi perak di kelas yang sama di Tokyo 2020. Atlet asal Bali ini berharap prestasi itu tidak menjadi satu-satunya medali Indonesia seperti lima tahun lalu, tetapi menjadi pembuka keran medali yang lebih banyak dari rekan-rekannya di cabang lain.
”Saya senang dan bangga sekali dengan medali perak ini karena sesuai target saya sebelum Paralimpiade 2020. Semoga medali ini menjadi motivasi untuk kawan-kawan yang lain agar Merah Putih bisa berkibar sebanyak-banyaknya di Tokyo kali ini,” ungkap atlet yang biasa disapa Widia itu seusai laga perebutan medali di Tokyo International Forum, Jepang, Kamis (26/8/2021).
Widia merupakan atlet yang memiliki keterbatasan pada tubuh bagian bawah. Ketika berusia tiga tahun, tubuh atlet kelahiran 12 Desember 1992 ini dihantam polio sehingga kakinya tidak berkembang sempurna. Sama dengan atlet lainnya, dalam berlaga, dia mengangkat beban sambil berbaring dengan tiga kali kesempatan.
Di laga kelas 41 kg ini, Widia merebut perak berkat angkatan terbaik 98 kg pada kesempatan ketiga. Emas diraih lifter China, Guo Lingling, dengan 108 kg pada kesempatan ketiga, sedangkan perunggu direbut lifter Venezuela, Clara Sarahy Fuentes Monasterio, dengan 97 kg pada kesempatan kedua.
”Atlet China ini tangguh. Sebelum ikut Paralimpiade 2020, dia memecahkan rekor dunia (dengan 107 kg pada seri Piala Dunia 2021 di Dubai, Uni Emirat Arab, 19 Juni 2021). Pada pertandingan tadi, dia dua kali memecahkan rekor (rekor Paralimpiade menjadi 105 kg pada kesempatan pertama dan rekor dunia menjadi 108 kg pada kesempatan ketiga). Jadi, saya bersyukur bisa dapat perak dan mengibarkan Merah Putih kali ini,” ujar Widia, lifter peringkat kedua dunia.
Selain meraih perak, Widia mempertajam rekor angkatan terbaiknya, yaitu dari angkatan 97 kg saat meraih perunggu di Asian Para Games Jakarta-Palembang 2018 menjadi 98 kg di Paralimpiade Tokyo.
Medali Widia menjadi yang pertama untuk kontingen Indonesia di Tokyo. Selain Widia, pengurus Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Indonesia berharap itu bukan medali pertama dan terakhir di Tokyo. NPC Indonesia menargetkan membawa pulang satu emas dan satu perak dari bulu tangkis serta tiga perunggu masing-masing dari angkat berat, atletik, dan tenis meja.
Widia membuktikan bahwa kontingen Indonesia punya potensi mencapai target itu, bahkan melampauinya, seperti perak yang diraihnya. ”Semoga medali yang saya dapat ini menjadi pelecut semangat kawan-kawan untuk mengeluarkan penampilan terbaik bagi Merah Putih,” katanya.
Mental tangguh
Di Tokyo, Widia hampir gagal mendapatkan perak. Sehabis menyelesaikan angkatan 96 kg pada kesempatan pertama, dia mampu mengangkat barbel 98 kg pada kesempatan kedua. Namun, wasit mengangkat bendera merah yang artinya angkatan tersebut tidak sah.
Hasil itu sempat membuat posisi Widia melorot dari posisi kedua menjadi ketiga karena Fuentes Monasterio mampu mengangkat barbel 97 kg pada kesempatan kedua. ”Setelah angkatan kedua didiskualifikasi, saya dan pelatih (Yanti) sempat ingin protes ke wasit. Namun, kami mengurungkan niat dan baru akan protes jika angkatan ketiga juga dibatalkan,” terang Widia.
Meski kecewa, Widia tetap menjaga semangat dan konsentrasinya untuk mengangkat barbel 98 kg pada kesempatan ketiga. Dia pun berhasil menyelesaikan angkatan itu dengan baik. Akan tetapi, beberapa detik usai angkatan tersebut, wasit lagi-lagi mengangkat bendera merah.
Widia melalui pelatihnya sontak melayangkan protes kepada wasit dan meminta diputar video tayangan ulang. Ternyata, sehabis melihat tayangan ulang, wasit mengubah keputusannya dengan mengesahkan angkatan tersebut.
Keputusan itu menjadi salah satu kunci jalan Widia meraih perak. Sebab, pada kesempatan ketiga, Fuentes Monasterio justru gagal mengangkat barbel 99 kg sehingga harus puas membawa pulang perunggu.
Mental tangguh itu bukan sekali ini saja ditunjukkan oleh Widia. Sebelum ini, dia membuktikan bisa menembus keterbatasan di sejumlah hambatan yang dihadapi. Widia dan para atlet Paralimpiade nasional lainnya sempat kecewa karena ASEAN Para Games Filipina 2020 urung digelar akibat pandemi Covid-19.
Padahal, mereka sudah menjalani masa pelatnas cukup panjang sejak awal 2019. Mereka juga telah berada di puncak performa dan siap untuk mempertahankan juara umum yang didapat pada ASEAN Para Games Malaysia 2017. Kekecewaan kian bertambah ketika Paralimpiade 2020 pun ditunda setahun akibat pandemi tersebut.
Dibalut rasa kecewa, mereka sempat dipulangkan ke daerah masing-masing sebelum dipanggil lagi ke pelatnas pada Oktober tahun lalu. Sekembali ke pelatnas di Solo, Jawa Tengah, latihan berlangsung dengan diselimuti jadwal Paralimpiade yang masih tanda tanya karena angka kasus Covid-19 belum mereda di Jepang.
Kendati demikian, Widia dan atlet Paralimpiade lainnya menunjukkan bahwa mereka memang memiliki keterbatasan fisik, tetapi tidak demikian dengan semangat atau motivasinya. Mereka terus berlatih menyiapkan diri agar bisa memberikan yang terbaik untuk Merah Putih apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.
Kerja keras Widia itu nyatanya tidak membohongi hasil. Dia sukses mengharumkan nama Indonesia di Paralimpiade ini. ”Widia adalah atlet yang punya semangat luar biasa. Motivasinya tidak pernah turun di setiap hambatan yang dihadapi, termasuk pandemi Covid-19. Pelatih pun tidak kesulitan untuk mengarahkannya agar terus melakukan yang terbaik dalam latihan maupun tanding,” ungkap Yanti, pelatih yang mendampingi Widia di Paralimpiade Tokyo.
Terbentuk sejak kecil
Semangat besar Widia itu lahir dari akumulasi krisis yang mengakrabi hidupnya sejak belia. Tanah gersang tempatnya dilahirkan di lereng Gunung Agung, Bali, mengajarinya untuk gigih menyiasati keterbatasan. Polio yang melanda sejak usia tiga tahun melatihnya untuk tidak mudah pasrah dengan keadaan. Semuanya menempa jiwa sehingga memiliki karakter yang tangguh.
Maka itu, Widia tak menyerah begitu saja tatkala mengawali karier angkat berat dengan peralatan seadanya, 15 tahun lalu. Berkat ketekunan dan bakat alaminya, dia cepat muncul ke permukaan dengan prestasi pertama emas +40 kg pada Kejuaraan Nasional Paralimpiade Pelajar 2006 di Bali. Prestasi nasional itu mengantarkannya menjadi atlet pelatnas dan berulang kali menyumbangkan emas, perak, dan perunggu untuk Indonesia di ajang internasional mulai 2008.
Menjadi salah satu andalan Indonesia dalam 13 tahun terakhir tidak membuat Widia besar kepala dan mengendurkan tekadnya. Dia terus mencoba menjadi lebih baik dari hari ke hari di tengah tantangan yang kian besar. Salah satu bukti kegigihannya ialah perjuangan mengatasi cedera dan menjalani diet ekstra setelah gagal meraih medali di Paralimpiade London 2012. Hasilnya, dia sukses merebut perunggu di Paralimpiade berikutnya.
Seusai Paralimpiade 2016, karier Widia tetap diwarnai cobaan baru, antara lain cedera bahu kanan yang kambuhan. Lagi-lagi, dia bisa keluar dari impitan hidup. Terbukti, dia bisa bangkit dan meraih emas 45 kg ASEAN Para Games 2017, perak 41 kg Asian Para Games 2018, dan perak Paralimpiade 2020.
”Jangan pernah menyerah. Tidak ada orang yang bisa melakukan segalanya, tetapi semua orang bisa melakukan sesuatu,” pesan Widia dilansir Olympic.com.
Ni Nengah Widiasih
Lahir: Karangasem, Bali, 12 Desember 1992
Orangtua:
I Gede Gambar (ayah)
Ni Luh Bingin (ibu)
Pendidikan:
SD YPAC Jimbaran, Bali
SMP YPAC Jimbaran, Bali
SMA Dwijendra Nusa Dua, Bali
Prestasi:
Perak 41 kg Paralimpiade Tokyo 2020
Perunggu 41 kg Paralimpiade Rio de Janeiro 2016
Perak 41 kg Asian Para Games Jakarta-Palembang 2018
Perak 41 kg Asian Para Games Incheon 2014
Emas 45 kg ASEAN Para Games Malaysia 2017
Emas 41 kg ASEAN Para Games Singapura 2015
Perunggu 41 kg Kejuaraan Dunia 2014 di Uni Emirat Arab