Xiaomi: Kapitalisasi Peluang di Tengah Krisis
Bagaimana Xiaomi menjadi penguasa pasar ponsel Indonesia? Mengapa ada iklan di sistem operasinya? Berikut wawancara dengan Country Director Xiaomi Indonesia Alvin Tse.
Selama dua tahun terakhir, bisa dibilang, industri dan pasar gawai bergejolak. Banyak peristiwa mengubah lansekap pasar. Dari pandemi Covid-19 yang memicu digitalisasi masyarakat global secara tiba-tiba hingga krisis cip yang diakibatkannya. Belum lagi perang dagang yang diterapkan oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap sejumlah perusahaan asal China. Kemunculan teknologi baru seperti jaringan 5G pun menambah gairah konsumen.
Katanya, di balik sebuah krisis ada peluang yang muncul. Xiaomi, perusahaan elektronik asal Beijing, China, bisa jadi adalah salah satu yang berhasil memanfaatkan berbagai peluang tersebut.
Pada kuartal II-2021, Xiaomi untuk pertama kali menjadi merek ponsel pintar dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia dengan segmentasi sebesar 28 persen, menurut firma riset pasar Canalys. Angka ini tumbuh 112 persen dibandingkan 2020.
Bahkan, menurut firma lain, Counterpoint Research, Xiaomi menjadi brand ponsel pintar nomor satu secara global di bulan Juni 2021, mengalahkan sejumlah brand yang lebih established dari Amerika Serikat maupun Korea Selatan.
Alvin Tse, Country Director Xiaomi Indonesia, menilai, pencapaian ini hanyalah awal. Bahkan, ia berkeyakinan, perusahaan yang baru berdiri 11 tahun lalu tersebut berada dalam posisi yang tepat untuk menyambut perkembangan pasar elektronik di masa depan, yang akan diramaikan gawai Internet of Things (IoT) hingga mobil listrik.
Mengapa demikian? Alvin menjelaskannya dalam wawancara khusus dengan Kompas pada Senin (23/8/2021) secara virtual di Jakarta. Berikut kutipan wawancaranya.
Di Indonesia, pangsa pasar Xiaomi sebelumnya berada di urutan ketiga atau keempat; di belakang raksasa dari Korea Selatan, dan sejumlah kompetitor dari China. Apa perubahan di dalam Xiaomi Indonesia yang berbuah pada capaian ini?
Kami di Xiaomi sadar bahwa kami harus kembali ke pada prinsip yang membuat Xiaomi terkenal di awal, yakni produk dengan harga yang jujur dan teknologi yang bagus. Sebelas tahun yang lalu, Xiaomi adalah perusahaan yang sungguh berfokus untuk menyediakan produk teknologi yang inovatif dengan harga yang honest, jujur, sehingga masyarakat dunia bisa mengaksesnya.
Bagaimana caranya meraih honest pricing ini? Ini kami lakukan dengan memastikan ongkos operasional kami rendah dan efisien. Lalu, kami bisa meneruskan penghematan ini kepada konsumer Xiaomi.
Sejak saya di Indonesia dua tahun terakhir ini kami juga mempermudah akses konsumen terhadap produk Xiaomi. Selain situs resmi dan enam kanal toko digital, kami juga mendirikan sekitar 400 toko resmi Xiaomi di seluruh Indonesia. Kami juga mengawasi harga yang dipatok setiap toko sehingga tidak di-mark up terlalu tinggi. Ini semua adalah ”secret sauce” atau bumbu rahasia kami.
Bagi saya sebetulnya, angka market share hanyalah angka. Angka ini akan berfluktuasi di masa depan. Hal yang penting adalah bagaimana Xiaomi berinovasi dan bagaimana para pengguna Xiaomi puas dengan produk yang dibelinya. Ini yang lebih penting secara jangka panjang.
Lalu, apakah ada faktor eksternal yang juga berkontribusi pada raihan Xiaomi ini?
Hal pertama adalah berubahnya demografi konsumen, di mana generasi ”Z” dan milenial tumbuh besar. Segmen ini tidak memiliki ”kesetiaan” terhadap sejumlah merek yang mungkin sudah terkenal lebih dahulu. Mereka memberikan Xiaomi dan brand di pasar lainnya peluang yang setara untuk Xiaomi dan brand-brand lainnya. Generasi sebelumnya mungkin sudah terlalu biasa dengan merek lama.
Nah, Gen-Z dan milenial ini adalah audiens yang sangat terbuka dan paham internet. Mereka akan melakukan riset sebelum membeli barang. Membaca artikel di media, menonton review di Youtube akan mereka lakukan.
Faktor kedua adalah pandemi. Pandemi ini menyebabkan ponsel pintar dianggap sebagai hal yang esensial. Produktivitas, hiburan, dan komunikasi kini dilakukan melalui ponsel. Bersamaan dengan itu, situasi ekonomi lebih sulit. Masyarakat kian berhati-hati dengan segala keputusan pembelian. Mereka cenderung mengesampingkan status sehingga mengabaikan endorsement selebritas, misalnya.
Ketiga, industri ponsel masih terus tumbuh. Permintaan ini akan terus besar karena penetrasi ponsel pintar di Indonesia mungkin masih 50 persen. Jadi masih banyak orang belum pakai ponsel pintar.
Xiaomi, bersama brand POCO, sudah meluncurkan setidaknya 10 ponsel pada 2021. Lebih dari satu ponsel tiap bulan. Mengapa Xiaomi merasa perlu merilis ponsel sedemikian banyak?
Betul, ini memang tahun yang sangat sibuk. Xiaomi sebagai perusahaan memang memiliki dua brand, Xiaomi-Redmi dan POCO. Kalau dilihat satu persatu mungkin jadi tidak terlihat banyak.
Tetapi, memang konsumen semakin cerdas dan masing-masing memiliki keinginannya sendiri. Ada beberapa orang yang membutuhkan NFC (konektivitas untuk mengisi ulang kartu uang elektronik, misalnya), ada juga yang membutuhkan kamera yang bagus. Jika kami tidak bisa memenuhi kebutuhan spesifik itu, mereka akan memilih merek lain.
Masyarakat kian berhati-hati dengan segala keputusan pembelian. Mereka cenderung mengesampingkan status sehingga mengabaikan endorsement selebritas, misalnya.
Lalu, secara khusus, krisis cip ini juga menjadi alasan kedua. Bagaimana risiko kelangkaan ini bisa dimitigasi? Kami sebar risikonya ke lebih dari satu produk. Ada ponsel yang pakai Qualcomm Snapdragon, ada yang pakai cipset Mediatek.
Kalau kami hanya punya satu produk, ketika misalnya ditelepon pemasok bahwa cipnya tidak tersedia, maka hilang sudah produk itu. Sedangkan, jika punya banyak variasi produk, kita bisa ajak konsumen untuk melihat produk kami yang lain.
Ponsel Xiaomi menggunakan sistem operasi berbasis Android yang dinamakan MIUI. Apakah MIUI berperan penting di balik kesuksesan Xiaomi?
Xiaomi bermula dari MIUI. MIUI adalah produk pertama kami. Dulu, kami merasa Android bukanlah sistem operasi yang ramah digunakan. Jadi MIUI dibuat dengan tujuan mempermudah penggunaan sekaligus penambahan sejumlah fitur-fitur penting.
MIUI adalah salah satu sistem operasi berbasis Android yang menanamkan advertisements atau iklan di sejumlah elemen tampilannya. Menilik laporan keuangan tahunan 2020, iklan yang masuk dalam kategori ”Internet Services” menyumbang 9,7 persen total pendapatan. Bagaimana Xiaomi melihat ini?
Saya meyakini bahwa sejatinya iklan tidaklah buruk. Iklan adalah medium untuk membagikan informasi. Sudah biasa ditemui di aplikasi media sosial, misalnya. Saya pikir, iklan menjadi bagian sangat alamiah di bisnis internet.
Iklan berperan penting dalam model bisnis Xiaomi. Bagaimana kita bisa memenuhi prinsip operasional yang efisien tadi? Kami juga berfokus untuk mencari sumber revenue lainnya sehingga bisa memberikan hardware yang lebih bagus dengan harga yang sama.
Iklan menyumbang besar dalam kategori ”Internet Services” ini. Kategori ini juga mencakup pemasukan dari kerja sama gim yang preinstalled atau sudah bawaan. Di China, kami juga punya Xiaomi Fintech.
Strategi pemanfaatan iklan ini saya kira sangat krusial. Ini yang membuat kami bisa secara konsisten mengeluarkan produk yang bagus dengan harga yang rendah.
Sejumlah merek lain itu di satu produk harganya bisa agresif, karena semacam ”disubsidi”. Begitu subsidi selesai, produk selanjutnya akan melambung lagi harganya. Model semacam ini tidak sustainable.
Sumber pemasukan kedua Xiaomi (30 persen dari revenue) adalah barang lifestyle dan Internet of Things (IoT). Sekarang sudah biasa orang membeli bohlam pintar hingga penyedot debu bermerek Xiaomi. Kapan Xiaomi memulai masuk ke segmen pasar ini dan apa alasannya?
Para pendiri kami sangat visioner. Dulu, 10-11 tahun yang lalu, Lei Jun, salah satu pendiri kami meyakini bahwa IoT akan menjadi tren besar di masa depan. Ini sebelum perusahaan elektronik benar-benar memikirkan hal ini.
Early start inilah mengapa Xiaomi menjadi platform IoT nomor 1 di dunia dengan lebih dari 350 juta produk yang tersambung internet. TV pintar Xiaomi, misalnya ada di lima besar secara global. Untuk kategori gawai kebugaran, Xiaomi di peringkat satu karena popularitas Mi Band.
Generasi muda pun semakin nyaman untuk menerapkan teknologi ini di kehidupan sehari-hari; menyalakan lampu secara otomatis, misalnya. Dengan masuk ke segmen IoT ini juga, Xiaomi bisa berinteraksi dengan konsumer lebih sering. Kalau hanya berjualan ponsel, mungkin konsumer datang ke kami 2-3 tahun sekali.
Pertumbuhan IoT di Indonesia pun menjanjikan bersamaan dengan meningkatnya kesejahteraan kelas menengah dan generasi Z serta milenial.
Xiaomi juga sudah mulai memasuki pasar mobil listrik pintar (smart electric vehicle/EV). Dalam beberapa tahun ke depan, kita semua akan melihat mobil listrik pertama Xiaomi.
Di pasar ponsel pintar, kira-kira tren apa yang akan hadir di masa depan?
Pertama, saya kira adalah sistem pengisian daya nirkabel (wireless charging), khususnya yang versi cepat. Teknologi fast wireless charging ini bisa menembus 100 Watt. Bisa jadi, baterai penuh dalam 15 menit. Kedua, teknologi kamera akan semakin bagus.
Lalu ketiga adalah true bezel-less phone atau ponsel tanpa bingkai yang sesungguhnya. Ke depan, kamera depan akan bisa dibenamkan di bawah layar. Ponsel foldable atau ponsel lipat juga akan populer di masa depan begitu material fleksibelnya semakin terjangkau. Sekarang ini masih fase awal sekali.
Jaringan 5G juga jadi tren penting. Dengan kecepatan yang tinggi, ini akan memudahkan gim multiplayer, mengunduh film akan lebih cepat, penggunaan data akan semakin tinggi. Perusahaan yang memiliki portofolio ponsel 5G dengan beragam tingkatan harga akan lebih siap. Saya kira, tren dunia ponsel pintar ke depan masih sangat seru.