Manggis asal Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tidak hanya diminati pasar lokal, tetapi juga merambah pasar ekspor. Kondisi cuaca yang tidak menentu dan adanya penyakit buah kini menjadi ancaman budidaya itu.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
Nusa Tenggara Barat memiliki buah manggis varietas unggul, yakni manggis lingsar. Tidak hanya pasar lokal, manggis lingsar telah menjadi komoditas ekspor. Namun, selain perubahan cuaca yang tidak menentu, para petani manggis menghadapi serangan penyakit getah kuning pada buah.
Kecamatan Lingsar berada di Kabupaten Lombok Barat, sekitar 15 kilometer sebelah timur Mataram, ibu kota NTB. Di kecamatan ini, sentra manggis tersebar di tiga desa, yakni Batu Kumbung, Batu Mekar, dan Karang Bayan.
Menurut data Unit Pelaksana Teknis Balai Penyuluhan Kecamatan (UPT-BPK) Lingsar, jumlah petani pemilik pohon manggis sebanyak 328 orang. Mereka tergabung dalam puluhan kelompok petani di tiga desa tersebut.
Penanaman manggis di Lingsar tidak menggunakan sistem monokultur atau penanaman tunggal pada satu areal kebun. Melainkan, polikultur, yakni manggis ditanam di kebun bersama buah-buahan lain seperti durian dan rambutan.
Ketua Kelompok Manggis Maju Bersama, Sahnan (47), saat ditemui di Dusun Ndut, Desa Batu Mekar, Selasa (25/5/2021), mengatakan, keterbatasan lahan menjadi alasan para petani tidak menerapkan monokultur untuk manggis mereka.
Oleh karena itu, selain menggunakan kebun, para petani juga menanam manggis mereka di halaman rumah. Mulai dari dua pohon hingga puluhan pohon. Tergantung luas halaman.
”Kadang, jika ada anggota keluarga yang lahir, warga menanam satu pohon manggis di halaman rumah mereka,” kata Ketua Kelompok Tani Karya Bhakti, Desa Batu Kumbung, Sukirno (52).
Tidak ada catatan tertulis tentang asal usul manggis lingsar. Tetapi, menurut Sukirno, induk pohon manggis berukuran besar bisa ditemukan, antara lain, di Pura Lingsar atau Taman Narmada. Usianya juga diperkirakan telah puluhan tahun.
”Di kelompok kami, usia manggisnya rata-rata 15 tahun. Ada juga yang lebih tua, yakni 30 tahun lebih,” kata Sukirno.
Ekspor
Sahnan mengatakan, kelompoknya memiliki 40 anggota dengan rata-rata luas lahan sekitar 1 hektar. Termasuk di dalamnya untuk menanam manggis. Masing-masing petani memiliki antara sekitar 100 sampai dengan 150 batang pohon manggis.
”Kalau di kelompok saya, dari 25 anggota, ada 1.600-an pohon manggis,” kata Sukirno.
Musim panen berlangsung sekali dalam setahun. Setiap kali panen, jumlah buah yang diperoleh 20-30 kilogram untuk pohon manggis berusia 7-15 tahun. Sementara yang berusia di atas 15 tahun menghasilkan 30-50 kilogram.
Dengan musim panen yang berlangsung sekitar dua bulan, satu pohon manggis berusia 7-15 tahun bisa menghasilkan 75 kg hingga satu kuintal buah. Sementara yang berusia di atas 15 tahun hingga 2 kuintal.
Meski produksi melimpah, kata Sahnan, mereka terkendala pemasaran. Pasar lokal seperti tidak sanggup menampung produksi manggis.
Selain itu, pengepul di desa itu hanya satu orang. ”Sekitar tahun 2013-2015, manggis produksi kami dijual Rp 3.000-Rp 4.000 per kg. Kami tidak punya pilihan. Apalagi, jika manggis dari Bali masuk ke Lombok,” kata Sahnan.
Saat itu, ekspor telah berjalan. Tetapi, semua lewat Bali. Manggis dari Lingsar dibawa ke Bali, kemudian dikirim ke negara tujuan. ”Saat ini sudah ada empat pengepul. Sejak tahun 2018-2019, harga manggis lingsar per kilogram juga naik hingga Rp 65.000. Itu benar-benar bisa membuat kami bersemangat,” kata Sahnan.
Pada Selasa (17/12/2019), NTB mengekspor 1.120 ton manggis Lingsar. Ekspor itu senilai Rp 1 miliar dengan tujuan Guangzhou, China.
Ekspor langsung menuju negara tujuan karena petani sudah ada surat keterangan asal (KSA) sehingga tidak perlu lagi melalui daerah lain. Sebelumnya, pada 2018, manggis asal Lombok terlebih dahulu dikirim ke Bali. Dari Bali, kemudian diekspor. Dari 100 ton yang dikirim ke Bali, hanya 60 persen yang bisa dieskpor setelah melalui proses sortir.
Kekhasan manggis Lingsar, antara lain, buah relatif besar, kulit buah merah kehitaman, dan daging buah putih bersih dengan rasa manis.
Pohon manggis di Lingsar juga cepat berproduksi serta mampu beradaptasi dengan baik di dataran tinggi ataupun rendah. Oleh karena kekhasan itu, Kementerian Pertanian pada September 2006 menyatakan manggis Lingsar sebagai varietas unggul (Kompas, 17/12/2019).
Cuaca dan penyakit
Menurut Sahnan, meski ekspor meningkatkan pendapatan mereka, volume produksi mereka tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Data UPT-BPK Lingsar, pada 2020 produksi buah segar manggis lingsar sekitar 56,9 ton.
”Populasi tanaman manggis kami banyak, tetapi tidak banyak yang berbuah. Tidak serentak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dulu, saat panen hampir setiap malam truk berangkat ke Bali,” kata Sahnan.
Menurut Sahnan, kondisi itu tidak terlepas dari cuaca yang semakin tidak menentu. Jika sebelumnya mereka bisa memprediksi puncak musim panen, sekarang kian sulit. ”Sekarang bulan Juni masih ada hujan. Sebelumnya, pada Juni-Agustus, sudah mulai penyiraman (melalui irigasi),” kata Sahnan.
Akibatnya, pohon manggis di Lingsar tidak berbuah secara serentak hingga tidak berbuah sama sekali. Hujan yang masih tetap turun menghalangi fase berbunga hingga berbuah manggis.
Selain itu, menurut Sahnan, yang telah menggeluti manggis sejak tahun 1996, manggis di Lingsar juga menghadapi penyakit getah kuning. Penyakit ini, menurut data Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya kualitas buah manggis.
Cemaran getah kuning tidak hanya berada di bagian luar buah manggis yang membuatnya kelihatan tidak menarik, tetapi juga hingga bagian dalam daging buah. Cemaran ke daging membuat warnanya menjadi kuning dan rasanya pahit.
”Jadi, kalau bantuan bibit, pupuk, hingga pembinaan, sudah banyak. Tetapi, sampai sekarang yang belum ada solusinya adalah getah kuning ini,” kata Sahnan.
Koordinator Penyuluh UPT-BPK Lingsar Ida Ayu Kadek Astuti mengatakan, getah kuning juga berpengaruh terhadap harga manggis. Tetapi, menurut dia, sampai saat ini memang tidak ada obat untuk penyakit tersebut.