Literasi Digital Menjadi Benteng dari Banjir Informasi
Masyarakat sebagai konsumen perlu mengetahui cara membatasi atau menyaring informasi agar tidak kewalahan. Cara yang bisa dilakukan adalah menyeleksi sumber media tepercaya.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seperti dua sisi mata uang, perkembangan teknologi memajukan peradaban sekaligus membuat informasi datang tak terkendali. Hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian turut berseliweran dengan leluasa di dunia maya, terutama media sosial. Literasi digital adalah senjata utama dalam menyaring banjir informasi ini.
Kompas menggelar Kompasfest 2021: Navigate— We Navigate Your Passion for a Brighter Future, secara virtual, selama 20-21 Agustus 2021. Kompasfest menghadirkan lebih dari 50 ahli dari berbagai bidang untuk mengasah potensi generasi muda yang tengah menghadapi tantangan perubahan. Berkolaborasi dengan berbagai pihak, festival ini mengambil tema penjelajahan antariksa dengan pesawat luar angkasa.
”Harian Kompas ikut menyaksikan perjalanan sejarah dari generasi ke generasi meyakini generasi muda merupakan agen perubahan dan ujung tombak kemajuan bangsa. Kehadiran KompasFest dapat menjadi sarana bagi sahabat muda untuk mengasah potensi-potensi yang dimiliki,” kata Sutta dalam pembukaan KompasFest secara virtual, Jumat (20/8/2021).
Dalam paparannya di sesi Shaping Literacy For Future Generation, Sutta menyoroti pertumbuhan pengguna medsos sekitar 13 kali lipat lebih cepat dari pertumbuhan populasi dunia. Fenomena ini membuat generasi sekarang menghadapi tantangan banjir informasi di media sosial.
Medsos menjadi platform bagi orang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, trolling, doxing, dan disinfodemik yang mengancam keselamatan manusia. Kementerian Komunikasi dan Informatika, selama periode 23 Januari 2020-22 Juni 2021, menemukan 1.656 isu hoaks tentang Covid-19 di media sosial dan platform lainnya.
Menurut Sutta, literasi digital menjadi sangat penting. ”Artinya, di era informasi yang sedemikian melimpah ini, kita semua sebagai individu harus mempunyai kemampuan untuk memilah, memilih, dan menggali informasi,” tuturnya.
Media arus utama adalah salah satu sumber informasi kredibel. Informasi yang diperoleh telah dipilah. Berita dari media arus utama juga melewati proses pengawasan berjenjang di ruang redaksi sehingga meminimalkan terjadinya bias dalam pembuatan konten. ”Ibarat labirin, informasi yang diberikan dan disebarkan tidak boleh membuat salah arah atau bahkan tersesat,” kata Sutta.
Peran masyarakat
Sutta berpendapat, peran pembaca tidak kalah penting dalam penyebaran informasi. Kesadaran ini juga didorong pandemi yang membuat masyarakat mencari informasi dari media terpercaya di negara maju, seperti yang terlihat di Amerika Serikat, Jerman, dan Korea Selatan.
Dalam jajak pendapat Kompas pada Juni 2021, menurut publik, ada tiga pemangku kepentingan yang bertanggung jawab terhadap pengendalian banjir informasi. Mereka adalah pemerintah sebagai regulator (39 persen), institusi media sebagai produsen berita (24,9 persen), dan masyarakat sebagai pasar (25,2 persen).
Peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti, menambahkan, temuan itu menarik sebab ada kesadaran diri masyarakat dalam melawan hoaks. Ada empat ciri-ciri hoaks yang bisa membantu masyarakat mengidentifikasi hoaks, yaitu sumber tidak resmi, judul atau isi konten bombastis, judul dan isi berbeda, serta sumber tulisan tidak terlacak.
”Ada satu aturan yang bisa kita lakukan, yaitu memiliki sikap skeptis. Pertanyakan apa pun yang kita lihat di media sosial dan internet. Asumsikan itu tidak benar sebelum itu terverifikasi benar,” kata Rangga dalam sesi Countering Fake News In Time Of Information Overload.
Konten kreator Gita Savitri Devi menuturkan, masyarakat sebagai konsumen perlu mengetahui cara membatasi atau menyaring informasi agar tidak kewalahan. Cara yang bisa dilakukan adalah menyeleksi sumber media terpercaya. Dengan demikian, konten-konten yang dikonsumsi bisa sesuai dengan kemampuan diri memproses informasi.
”Literasi digital itu penting. Kita harus menyadari tidak semua orang mempunyai intensi baik, sedangkan institusi dan individu itu ada bias dalam narasi yang mereka sampaikan. Jurnalistik yang baik adalah memberitakan berita apa adanya, gak perlu dibumbui,” kata Gita, dalam dalam sesi Transforming Inspiration to Lifelong Knowledge.
Ia melanjutkan, kebebasan berbicara dijamin di negara demokrasi. Namun, sebagai pembuat konten, dirinya juga belajar untuk tahu kapan harus berhenti berbicara, mendengarkan, dan menyadari dirinya kurang pengetahuan tentang suatu topik.
Gita berusaha melakukan riset sebelum beropini dan menyebarkan informasi. ”Ini kenapa pengetahuan penting karena memberi kita rasa percaya diri dan rasa kontrol. Kalau hidup jadi orang ignorant, kita jadi tidak berpikir dan tidak memiliki kesadaran diri,” tuturnya. (LSA/Elsa Emiria Leba)