Institusi Pendidikan Formal Belum Optimal
Kunci merebut masa depan adalah penguasaan terhadap teknologi yang dapat diraih dengan banyak belajar. Hal itu perlu dibarengi dengan kerja keras.
JAKARTA, KOMPAS — Institusi pendidikan formal saat ini dinilai belum optimal membekali siswa dengan keterampilan praktis. Padahal, keterampilan itu menjadi modal mengembangkan diri secara mandiri atau untuk masuk dunia kerja. Institusi pendidikan informal pun hadir mengisi celah itu.
Nuseir Yassin atau yang dikenal sebagai Nas Daily, vloger berdarah Arab-Israel, mengatakan, kondisi itu turut melatarbelakangi berdirinya Nas Academy, platform belajar berbayar dalam bentuk kelas daring. Ada sejumlah praktisi dari berbagai bidang yang menjadi mentor.
Menurut pendiri Nas Academy ini, paradigma pendidikan sudah bergeser. Guru tidak lagi terbatas pada orang tua. Orang muda pun kini bisa mengajar. Metode mengajar orang muda dinilai bisa lebih segar dan relevan dengan konteks pelajar masa kini.
”Orang berusia 19, 20, atau 25 tahun bisa menjadi guru di internet,” kata Nas pada Kompas Fest, Sabtu (21/8/2021). ”Ibuku sudah mengajar selama 35 tahun dan dia tidak mengubah caranya mengajar. Ketika Anda mencapai usia tertentu, Anda akan mengajar dengan cara yang sama. Itu kenapa kita butuh darah muda di dunia pendidikan,” tambahnya.
Belajar dengan praktisi ia nilai lebih efektif untuk pembekalan keterampilan siswa, bahkan masyarakat secara umum. Metode ini juga dinilai lebih dapat menginspirasi siswa.
Di sisi lain, internet memungkinkan publik belajar banyak hal dari banyak sumber. Nas menambahkan, institusi pendidikan formal yang bergantung pada fasilitas fisik berpotensi tutup jika tidak menyesuaikan diri dengan dinamika zaman.
Baca juga : Pandemi dan Era Pendidikan Berbasis Teknologi
Hal ini sesuai dengan tumbuhnya teknologi pendidikan atau education technology (edtech). Adapun edtech mencakup, antara lain, kursus daring (e-learning), kursus daring terbuka untuk peserta berjumlah besar (MOOC), sistem manajemen pembelajaran (LMS), hingga laman yang menyediakan akses terhadap audio digital, video, dan materi tertulis (e-library). Pandemi dinilai mempercepat adopsi teknologi pada pendidikan (Kompas, 21/12/2020).
Adapun total investasi global pada teknologi pendidikan disebut mencapai 8,5 miliar dollar AS selama 10 bulan pertama 2017. Asia menjadi pasar yang diincar karena banyaknya penduduk usia muda. Hal ini disebut Co-Founder Reedsy, Emmanuel Nataf, dari artikel Techcrunch.
Di sisi lain, upaya mengintegrasikan pendidikan dengan teknologi dilakukan di Indonesia. Ini tampak, misalnya, dari Indonesia Cyber Education (ICE) Institute. ICE Institute merupakan lembaga pembelajaran daring yang diresmikan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 2019.
Ada sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta yang bergabung dalam platform itu. Ibarat pasar daring, publik dapat mengakses dan memilih kelas yang diinginkan. Platform ini juga diintegarsikan dengan program Kampus Merdeka.
Nas mengatakan, seseorang perlu punya sikap sebagai pemelajar seumur hidup jika ingin berkembang. Mengambil kelas di internet dan mengasah keterampilan penting untuk masa depan.
Sementara itu, kreator konten dan Co-Founder Thirty Days of Lunch Podcast, Fellexandro Ruby, mendorong anak-anak muda untuk aktif bertanya pada diri sendiri. Untuk pengembangan diri di masa depan, pertanyaan bisa dimulai dengan, ”Apa yang kusukai?”
”Kebanyakan orang menjawab dengan kata benda, misalnya suka game. Jangan berhenti di situ. Cari kata kerjanya. Misalnya, jika kalian suka game, apa yang disukai dari itu? Bermain game? Riset dan mengembangkan game? Atau jadi komentator game?” kata Ruby.
Pertanyaan-pertanyaan itu berguna untuk memetakan keinginan dan kemampuan seseorang. Peta itu jadi cetak biru untuk menentukan langkah hidup selanjutnya, entah untuk menentukan jurusan kuliah, membaca peluang kerja, atau melatih keterampilan yang diperlukan.
Baca juga : Pandemi Covid-19 Mengubah Dunia Kerja, Inilah Keterampilan yang Dibutuhkan
Ruby menambahkan, publik masa kini perlu jeli melihat pergeseran tren dan perubahan zaman, terlebih karena teknologi saat ini berkembang pesat. Hal ini memunculkan banyak peluang baru, baik untuk bekerja, berkarier, maupun sekadar mengembangkan diri. Ini bisa disikapi apabila seseorang terbuka dengan pemikiran baru dan siap belajar hal-hal baru.
Ia juga membesarkan hati anak-anak muda untuk giat bekerja dan belajar. Berinvestasi pada pekerjaan, pengalaman, pertemanan, hingga keterampilan baru niscaya membawa manfaat di masa depan.
”Usia 20-an tahun adalah masa ketika kita bekerja keras. Tabur benih sebanyak-banyaknya agar nanti hasilnya bisa dituai di usia 30-an tahun atau 40-an tahun. Jika di usia 20-an tahun tidak ada yang ditanam, apa yang akan dituai di masa depan?” kata Ruby.
Kerja keras
Selain itu, kerja keras juga diperlukan untuk mencapai mimpi. Penjaga gawang Tottenham Hotspur dan tim nasional Perancis, Hugo Lloris, mengatakan, ia masih berlatih dan belajar sepak bola hingga kini. Padahal, ia sudah menggeluti sepak bola sejak belia.
”Dalam menghadapi berbagai tantangan, kita perlu menyiapkan diri dengan belajar. Banyak hal bisa dipelajari dalam hidup ini. Akan jauh lebih baik jika sesuatu yang kita pelajari dibagikan kepada teman, keluarga, dan sekitar. Langkah ini bisa membantu kita semakin berkembang,” ucap Lloris.
Keputusan Lloris untuk berkarier di dunia sepak bola muncul pada usia 17 tahun. Pilihan tersebut tidak serta-merta dibuat. Jauh sebelumnya, sejak usia 12 tahun, dia telah mengenal sepak bola. Dia merasa bahagia setiap kali bersinggungan dengan dunia itu. Rupanya hal ini yang mendasari keputusannya jatuh pada sepak bola.
Menurut dia, bakat yang dimiliki seseorang itu penting, tetapi itu saja tak cukup. Bakat harus diperkuat dengan kerja keras, ketegasan, ketetapan hati, dan ambisi. ”Lebih dari itu, kita perlu menikmatinya (sepak bola),” kata Lloris.
Seiring berjalannya waktu, dia menyadari bahwa minatnya pada sepak bola semakin besar. Ia kian memantapkan diri untuk mempelajarinya lebih lanjut. Buah manis yang diterimanya sekarang tak lepas dari kerja keras dan perjalanan yang telah dilalui. Bagi dia, kerja sama dan kekompakan tim juga berperan dalam membawa klub menjadi juara.
Baca juga : Hugo Lloris: Tak Ada Kesuksesan Tanpa Kerja Keras
Rupanya dalam menentukan pilihan, penting untuk mempertimbangkan beragam hal. Charles A Gallagher SJ dalam buku Anda Dapat Mengubah Dunia: Kiat Menata Hidup Keluarga Bahagia (1996) mengatakan, seseorang tidak mendapatkan apa pun jika tidak melakukan sesuatu dalam hidup ini. Mereka akan dihadapkan pada suatu pilihan yang memiliki risiko. Oleh sebab itu, penting untuk menentukan prioritas yang berfokus pada tujuan. Mungkin banyak hal harus dikorbankan untuk mencapainya, mulai dari bakat atau talenta yang dimiliki, pendidikan yang ditempuh, waktu, energi, hingga perencanaan.
Dalam prosesnya, penting untuk mengenali potensi diri dalam meningkatkan kualitas hidup. Potensi ini dapat digali dengan mengetahui lebih dalam bakat yang dimiliki. Sebab, setiap orang memiliki bakat yang berbeda. Meski demikian, bakat tidak boleh hanya dipergunakan untuk diri sendiri, tetapi juga memberikan manfaat dan bermakna bagi sekitar. Terkadang bakat luar biasa tidak disadari oleh diri sendiri. Menurut Gallagher, bakat seseorang dapat dikenali melalui orang-orang terdekat, yakni keluarga.
Kondisi ini bisa menumbuhkan kepercayaan diri seseorang sehingga mereka terbuka untuk mengembangkannya. Kuncinya, tidak boleh membanding-bandingkan dan meremehkan setiap bakat yang muncul. Bahkan, kemampuan kecil yang dimiliki pun dapat bernilai berharga bagi hubungan-hubungan pribadi. Hal ini membuat mereka merasa jadi diri sendiri dan terus mengasahnya. Ke depan, banyak keputusan atau pilihan yang akan bertentangan dengan kebiasaan umum.