Isu lingkungan menjadi konsen banyak pihak, termasuk para perancang busana dan konsumen karya-karya mereka. Mereka lebih memilih yang simpel dan praktis, sejalan dengan ”slow fashion” dan ”sustainable fashion”.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Isu mode berkelanjutan terus bergulir. Meski praktiknya telah berjalan secara global, penerapan di Indonesia tidak semudah yang disangka. Selain dipandang sebagai bahasan yang berat, memahami mode sebagai bentuk menyuarakan pendapat bahkan sebagai penanda jati diri masih kurang merasuk.
”Cukup berat untuk mengedukasi bagi pasar lokal. Menyediakan fashion dengan poin-poin sustainable itu tidak mudah dan tidak murah. Konsumen harus membayar lebih salah satunya. Di luar negeri, kesadaran ini sudah terbangun,” ujar Founder dan Creative Director Purana Indonesia Nonita Respati dalam Kompas Fest dengan tema perbincangan Sustainable Fashion is The Future, Jumat (20/8/2021).
Kini, Nonita tengah berada di Los Angeles, Amerika Serikat. Dari yang disaksikannya melalui butik-butik di sana, busana dengan konsep mode berkelanjutan ini sudah menjadi pilihan. Bahkan, menurut pengalamannya, lebih mudah memasarkan produk mode berkelanjutan ke negara lain daripada di negeri sendiri.
Persaingan di luar sendiri bukan mudah. Menurut Nonita, suatu jenama dapat diakui benar mengusung nilai sustainable fashion apabila dapat secara transparan menyebutkan asal kain. ”Jadi, enggak bisa dari distributor, harus dari produsen. Dengan detialnya, sekian persen cotton, sekian persen rayon. Asal-usul kain ini sangat penting, apalagi kalau mau masuk ke pasar internasional,” kata Nonita.
Selama 12 tahun Purana berdiri, Nonita pun terus belajar dan makin kokoh memadukan konsep sustainable fashion dengan wastra serta menggandeng potensi lokal. Salah satu yang baru saja dirilisnya adalah koleksi Synchronized yang berkolaborasi dengan fotografer Hakim Satriyo. Mengangkat budaya lokal dengan bekerja bersama seniman lokal dan menghidupkan sustainable fashion di Indonesia menjadi suara yang ingin digaungkan Purana.
”Harus punya voice. Apakah itu empowerment? Apakah itu sustainability? Apakah itu eco-friendly? Harus punya voice sebagai brand,” kata Nonita.
Langkah serupa diikuti oleh desainer muda yang merupakan Founder Thenblank, Mutiara Kamila Atiyya. Semula, ia mengaku tidak begitu melek dengan isu ini. Meski menyadari adanya semangat slow fashion. Karena itu, busana yang dihadirkannya selalu simpel dan dapat digunakan sehari-hari maupun untuk acara formal.
Bahkan, pada koleksi Lebaran 2021, Thenblank memiliki busana yang sederhana tanpa payet, tanpa renda, dan tanpa pernak-pernik. Menurut Mutiara, hal ini agar busana lebaran itu juga dapat dipakai dalam kegiatan casual sehari-hari sehingga lebih menghemat produksi baju.
“Ternyata sejalan dengan konsep minimalis yang dijalankan Thenblank. Jadi, enggak perlu selalu purchase. Bisa dipakai berulang untuk kesempatan apapun. Cukup purchase sekali dalam jangka waktu yang panjang. Untuk kemasan juga plastic free,” jelas Mutiara.
Berdasarkan MacArthur Foundation Study, industri mode menyumbang banyak limbah yang membuat air tercemar. Industri mode juga menyumbang kerusakan lingkungan karena penggunaan kayu yang berlebihan 70 juta ton kayu dari pepohonan yang telah digunakan untuk memproduksi berbagai macam kain.
Untuk itu, Head of Marketin Communication dari Asia Pacific Rayon, Sheila Rahmat, menjelaskan mengenai serat rayon milik APR yang kini juga dimanfaatkan Purana dan Thenblank merupakan produk ramah lingkungan. “Sudah tersertifikasi juga biodegradable,” ujar Sheila.
Dari hulu ke hilir
Nonita pun menggarisbawahi perlunya menelaah kain yang digunakan. Isu sustainable fashion ini sangat kompleks. Tak cukup hanya dengan kain. Bahannya hingga pewarnaannya harus sangat detil dipertahankan jika ingin benar berkomitmen menghidupkan mode berkelanjutan. Ia pun meyakini bahwa mode berkelanjutan dapat subur di Indonesia.
”Karena menurut aku industri sustainable fashion sudah sangat siap dan pasarnya menerima dengan baik. Lokal harapannya bisa menerima juga dengan baik. Pasar lokal mau membayar sedikit lebih dan peduli lebih banyak lagi ke pelestarian lingkungan,” harap Nonita.
Sementara Mutiara memilih untuk mengajak anak muda lebih peduli lingkungan dengan cara yang sesuai. Anak muda saat ini tak lagi suka yang ribet. Mereka lebih memilih yang simpel dan praktis. Hal ini sejalan dengan slow fashion yang juga dekat dengan sustainable fashion. Idealisme anak muda pun sudah terbangun. Bahkan mode vintage pun hidup kembali di tangan anak muda dengan meminjam baju orangtuanya. Hanya tinggal membangun ekosistemnya. “Ini pekerjaan rumah bersama,” tutur Mutiara.