Perubahan cara hidup disebabkan pandemi Covid-19 menuntut respons kreatif perancang. Butuh lebih dari sekadar kreatif dalam desain untuk tetap ada di dalam peta mode.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Perubahan cara hidup disebabkan pandemi Covid-19 menuntut respons kreatif perancang. Butuh lebih dari sekadar kreatif dalam desain untuk tetap ada di dalam peta mode. Menggunakan media sosial semakin menjadi keharusan bagi perancang untuk memperlihatkan dia ada dan terus berkarya pada masa pàndemi Covid-19.
Tidak ada lagi pergelaran busana yang rutin diadakan setidaknya satu kali setahun di Jakarta. Toko fisik, terutama yang berada di dalam mal atau toko serba ada, semakin sulit menarik orang datang ketika pencegahan penularan Covid-19 memaksa orang harus membatasi aktivitas luar rumah. Pesta dan resepsi berkurang dan bekerja kantoran berganti dengan aktivitas daring (online).
Sebastian Gunawan, Didit Hediprasetyo, dan Heaven adalah tiga di antara sekian banyak perancang busana yang memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi dengan pelanggan yang tersebar di beberapa kota sejak sebelum pandemi. Pandemi membuat peran media sosial semakin strategis.
Instagram dan Facebook adalah media sosial yang paling banyak digunakan desainer Indonesia. Kini, Tiktok juga mulai dilirik dengan semakin populernya media sosial ini di seluruh dunia.
Namun, media sosial berisi miliaran akun. Di Instagram ada 1 miliar pengguna aktif setiap bulan, sementara di Facebook ada 2,89 miliar pemakai aktif. Tantangannya adalah membuat media sosial juga menarik pengunjung baru dan berujung menjadi pelanggan.
Rajin mengunggah hasil kerja kreatif menjadi kunci kehadiran mereka dan karena itu akan diingat oleh pengguna media sosial. Sebastian Gunawan memiliki empat akun media sosial di Instagram dan Tiktok berbeda untuk empat merek busananya yang terdiri dari label utama Sebastian Gunawan, label khusus pakaian pengantin hingga gaun siap pakai berlabel Votum dan Red.
Selama pandemi, pemanfaatan media sosial menjadi lebih intensif dan mendapatkan respons dari pembeli di kota-kota di luar Jakarta. ”Ada pembeli dari Surabaya yang mengontak karena melihat di media sosial,” kata Seba, panggilan akrab Sebastian.
Di luar itu, dia rajin mengirimkan info baru produk kepada pembeli yang datanya tersimpan di arsip.
Busana rancangan Sebastian Gunawan
PenyesuaianTantangan lain bagi ketiga perancang ini adalah membuat busana yang dapat dimiliki pelanggan yang tidak tinggal di Indonesia.
”Beberapa desain dibuat dengan potongan longgar meskipun kami tetap menggunakan cara mengukur tubuh pelanggan,” kata Didit mengacu pada setelan jas dan celana panjang berpipa lurus ramping. Sebelum pandemi dia bolak-balik ke Paris yang menjadi tempat kerjanya juga.
Sementara Heaven, yang beberapa waktu sempat bekerja kepada Biyan dan kemudian lama di tempat Dries van Noten di Belgia seraya memiliki produk aksesori dengan namanya sendiri, kini bekerja dari Bali serta menyasar pasar Jepang.
Meski permintaan tidak sebanyak sebelum pandemi, menurut Heaven, beberapa pelanggan tetap mencari desain yang tidak biasa dalam bentuk, tekstur, dan warna. Itu artinya permintaan tetap ada untuk desain dengan ciri khas eyelet dan pengolahan tekstur kain.
Namun, melayani keinginan pelanggan tidak selalu mudah, terutama karena keterbatasan materi. Seorang pelanggan yang menikah di Maladewa, negara atol di Samudra Hindia, menginginkan serat organik untuk pakaian pengantin. Perubahan iklim menjadi perhatian dalam desain pakaian tersebut. ”Untuk dapat kain organik yang bagus masih sulit dan harganya jadi mahal sekali,” ujar Heaven.
Mendapatkan materi yang eksklusif dan berkualitas menjadi isu sendiri. Bagi Didit, pandemi justru memberi kesempatan lebih banyak waktu bekerja sama dengan penenun songket di Batu Bara, Sumatera Utara.
Untuk koleksi musim gugur dan dingin 2021/2022, dia meminta perajin menenun corak yang dia modifikasi dari ragam hias yang sudah ada dalam kain tenun asli para perajin sebagai keturunan Melayu. Didit mengombinasikannya dengan bulu sebagai penekanan musim gugur dan dingin. Pendekatan ini selain memberikan desain kain eksklusif juga minim jejak karbon sebab dibuat memakai alat tenun bukan mesin.
Waktu kreatif
Kemauan para desainer mengadaptasi daya kreatif mereka dengan tatanan baru ikut memperkuat daya sintas Indonesia yang akan berulang tahun ke-76 tahun lusa. Permintaan yang menurun menjadi tantangan membuat semua proses produksi lebih efisien seraya terus menghasilkan inovasi.
Seba menggunakan media digital menggantikan pergelaran busana yang biasanya dilakukan setahun satu kali untuk setiap label. Untuk meramaikan perayaan Imlek pertengahan Februari 2021 lalu, misalnya, Seba membuat pergelaran secara daring. Dia menggunakan busana berpotongan A dan baby doll. Menggantikan payet dan manik yang biasanya menyertai rancangannya, Seba menggunakan banyak teknik bordir untuk membentuk corak. Bordir menghemat tenaga dibandingkan dengan memasang payet dan manik.
Adapun Didit tahun ini juga disibukkan pembuatan buku peringatan 40 tahun Yayasan Jantung Indonesia. Sebagai direktur kreatif pembuatan buku, Didit bekerja sama dengan 15 perancang busana dan 11 seniman kriya yang masing- masing membuat satu karya bertema ”jantung”.
Foto rancangan disajikan bersama sejarah dan kiprah Yayasan Jantung Indonesia. Menurut rencana, buku diluncurkan November 2021 dan karya para desainer akan dilelang. ”Dana yang terkumpul dipakai membiayai operasi jantung pasien tidak mampu,” kata Didit.
Sementara Heaven menikmati suasana pandemi dengan banyak membuat eksperimen bahan dan desain. Beberapa hasilnya muncul dalam bentuk tas monokromatik, beberapa bercorak tonjolan paku yang mengingatkan pada bentuk virus korona. Dia juga meluaskan energi kreatifnya memenuhi permintaan perusahaan sepatu di Tokyo membuat desain sepatu olahraga. Saat ini dia memasuki tahap menemukan materi yang cocok supaya sepatu nyaman dikenakan.