Rayuan Kemayu Kuliner Tradisional Indramayu
Kuliner tradisional Indramayu tetap bertahan di tengah perkembangan zaman. Pesonanya terus merayu pencinta kuliner masa kini untuk datang mencicipinya.
Soedirman Wamad (29) rela mengendarai sepeda motor hampir 120 kilometer dari Kabupaten Cirebon ke Indramayu, Jawa Barat, pekan lalu. Perjalanan terik siang itu demi mencari pesanan sang istri yang hamil, yakni rumbah, kuliner tradisional di pantura.
”Istri lagi ngidam, pengin rumbah Darinih,” ucapnya, Jumat (6/8/2021). Rumbah terdiri dari beberapa jenis sayuran yang direbus dan dilumuri sambal asam pedas, serupa pecel. Salah satu penjual rumbah tersohor di Indramayu ialah Darinih yang tinggal di Eretan, Indramayu.
Dalam Google Reviews, warung ini diganjar 4,5 bintang dari 354 ulasan. Saking banyaknya peminat, muncul jasa titip rumbah Darinih. ”Kebetulan ada teman istri yang buka jasa titip. Akhirnya pilih jasa titip ketimbang ke sana,” ujar Soedirman.
Ia bertemu dengan pengantar pesanannya di depan Pendopo Indramayu, sekitar 41 kilometer dari Eretan. Satu porsi rumbah harganya Rp 5.000 dan biaya jasa titip Rp 3.000. Total ia mengeluarkan Rp 22.000 untuk dua porsi rumbah dan gorengan.
”Banyak juga yang nitip (rumbah Darinih) waktu itu. Kata istri, rumbah di sana khas banget. Kayak ada magnet buat makan itu,” ujar Soedirman. Padahal, banyak penjual rumbah di Cirebon yang lebih dekat dengan rumahnya di Mundu, Cirebon.
Kumpulan kangkung, taoge, kacang panjang, serta sambal itu mengobati kerinduan istrinya akan kuliner tradisional Indramayu. ”Paling suka sambal terasinya. Ada rasa pedas, asam, dan manis. Kami beli sambalnya tiga porsi, padahal rumbahnya cuma dua porsi. Ha-ha-ha,” katanya.
Dulu, mimi (nenek) bikin geblog, putu, dan limpung. Mimi jualan itu di pasar dan almarhum abah (kakek) nelayan, tapi bisa membesarkan lima anak. (Ayu Artantiani)
Rindu dengan makanan khas Indramayu juga mendera Ayu Artantiani (30), warga Kota Cirebon. Biasanya, setiap mudik dua kali sebulan, ia pasti membeli blengep, kue tradisional Indramayu, di Pasar Balong.
Berbentuk bulatan pipih, kudapan ini terbuat dari singkong yang dikukus, ditumbuk, kemudian dicampur irisan kelapa goreng. Ia juga kangen dengan geblog, serupa blengep yang dibuat dengan gula merah dan kelapa parut.
Akan tetapi, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat dan level 4 sejak awal Juli memaksanya tidak pulang kampung. Sayangnya, ia belum menemukan kue incarannya itu di Cirebon. Di Indramayu saja hanya pasar tradisional yang menjual kudapan itu.
”Harga blengep enggak dipatok. Bisa beli Rp 2.000 atau Rp 5.000. Saya kalau beli Rp 5.000 itu 10 biji. Dari dulu juga kayak gitu, enggak tahu kenapa. Mungkin kalau ditarif, enggak ada yang beli,” ungkapnya.
Aneka kue tradisional itu juga mengingatkannya akan almarhumah neneknya. ”Dulu, mimi (nenek) bikin geblog, putu, dan limpung. Mimi jualan itu di pasar dan almarhum abah (kakek) nelayan, tapi bisa membesarkan lima anak,” kenangnya.
Baca juga : Kebangkitan Makanan Tradisional
Empat jenis
Blengep, geblog, dan rumbah hanyalah sederet makanan khas Indramayu. Skripsi Wiwin Al Akbar berjudul ”Studi Potensi Wisata Kuliner di Kabupaten Indramayu” pada 2014 menggolongkan makanan khas setempat dalam empat bagian.
Pertama, lauk-pauk yang berbahan utama hewani. Salah satunya, pindang gombyang berupa kepala ikan manyung besar dengan kuah pindang aneka rempah. Jahe, lengkuas, kunyit, bawang merah, bawang putih, cabai rawit, tomat, daun salam, hingga air menyatu ke dalamnya.
Ada pula pedesan entok, semacam gulai berbahan utama entok atau itik. Bumbunya berasal dari campuran kemiri, jahe, lengkuas, bawang merah, bawang putih, daun jeruk, serai, cabai, hingga kecap manis. Daging itiknya empuk dan rasanya pedas, mengundang keringat.
Kedua, makanan sepinggan atau tidak mengenyangkan. Beberapa di antaranya adalah rumbah, burbacek, dan ramusan remucu. Burbacek merupakan paduan bubur, rumbah, dan cecek (kulit sapi). Sementara remucu terbuat dari pisang biji muda direbus yang dicampur sambal dan parutan kelapa.
Ketiga, makanan insidental yang hanya disajikan saat momentum tertentu, seperti hajatan, tahlilan, dan upacara adat. Misalnya, cimplo atau apem yang terbuat dari tepung beras, ragi, daun jeruk, gula merah, hingga kelapa. Kue ini disajikan setiap bulan Safar penanggalan Hijriah.
Ada pula rumbah edan yang menggunakan daun mengkudu dan sambal gecok. Sambal ini terbuat dari kacang tanah, cabai merah, cabai rawit, terasi, kencur, bawang merah, gula, dan ditumbuk bersama parutan kelapa. Rumbah edan kerap disantap saat tujuh hari kelahiran bayi.
Keempat, makanan kecil yang menemani teh atau kopi. Ada blengep, geblok, jalabiya, ongol-ongol, krawu boled, cikak, hingga limpung. Berbagai kudapan tersebut hanya bisa didapatkan di pasar tradisional. Penjualnya pun umumnya orangtua. ”Banyak yang sudah langka”. tulis Wiwin.
Penganan tradisional erat kaitannya dengan destinasi wisata di Indramayu. Ada enam kecamatan wisata kuliner yang ramai, punya kekentalan budaya, dan potensi alam mendukung. (Wiwin Al Akbar)
Padahal, menurut mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Boga Universitas Negeri Yogyakarta ini, penganan tradisional erat kaitannya dengan destinasi wisata di Indramayu. Ada enam kecamatan wisata kuliner yang ramai, punya kekentalan budaya, dan potensi alam mendukung.
Pertama, Karangampel yang berada di jalur Cirebon-Indramayu. Daerah ini khas dengan dodol enom, keripik melinjo, dan rumbah. Kedua, Juntinyuat yang punya Pantai Glayem, Pantai Tirtamaya, dan Pantai Rembat. Pengunjung bisa menikmati terasi, kecap Junti, dan sate kambing.
Ketiga, Balongan, pusat pengolahan minyak Pertamina, yang kaya akan sirop mangga hingga olahan makanan laut. Keempat, Kecamatan Indramayu yang terkenal dengan pindang gombyang di Pantai Karangsong dan pedesan entok di dekat Sport Center. Pejabat kerap makan di sana.
Kelima, ada Kecamatan Sindang yang memiliki salah satu burbacek tersohor. Terakhir, pengunjung dapat mencicipi pindang gombyang dan pedasan entok di Jatibarang. Keberadaan berbagai pusat perbelanjaan dan Stasiun Jatibarang turut mengembangkan kecamatan ini.
Baca juga : Dari ”Ontbijt” hingga ”Rijsttafel”, Akulturasi Kekayaan Kuliner Negeri
Karakter terbuka
Budayawan Indramayu, Supali Kasim, menilai, selain karya warga setempat, makanan tradisional lahir juga dari perpaduan daerah lain. Rumbah, misalnya, tidak jauh beda dengan pecel khas Jawa. Di Indramayu, sajiannya diramu dengan rempah. Jadi, rasanya bukan hanya manis, melainkan juga asam dan pedas.
”Ini menandakan kultur masyarakat Indramayu itu terbuka dan blak-blakan. Semua rasa ada di situ,” ucapnya.
Kuliner tradisional di pesisir utara itu juga memanfaatkan berbagai bahan yang sebelumnya tidak dilirik. Misalnya, pindang gombyang. Kepala ikan manyung dulunya tidak digunakan karena amis. Setelah diolah dengan rempah, bau amisnya menjelma aroma lezat.
Pedasan entok dan pindang gombyang ini lahir karena keadaan rakyat miskin. Masyarakat bawah hanya mengolah apa yang ada, murah. Daripada terbuang, bahan itu diolah dan kini naik kelas. (Supali Kasim)
Begitu pun dengan pedasan entok. Dulunya, itik dipandang ternak bau karena hidup di sawah. Harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan ayam. Namun, saat warga mengolahnya dengan aneka bumbu, rasanya jadi nikmat. Bahkan, kini harga entok lebih mahal daripada ayam.
”Pedasan entok dan pindang gombyang ini lahir karena keadaan rakyat miskin. Masyarakat bawah hanya mengolah apa yang ada, murah. Daripada terbuang, bahan itu diolah dan kini naik kelas,” papar Supali.
Akan tetapi, ada juga makanan yang hadir dari kreativitas warga. Misalnya, burbacek yang menggabungkan bubur, rumbah, dan cecek. ”Mungkin baru 15 tahun terakhir burbacek populer. Ini muncul karena kejenuhan ketika bubur gitu-gitu aja,” ujarnya.
Beginilah kuliner tradisional Indramayu yang berusaha bertahan di tengah gempuran aneka makanan baru, termasuk yang cepat saji. Meskipun tertatih-tatih, makanan khas ini tetap merayu agar punya tempat di hati warganya.
Baca juga : Sarapan di Bandung, Bangunlah Lebih Pagi agar Tidak Gigit Jari