Tetap Makan Saat Isoman dan Pentingnya Asupan Gizi untuk Pikiran
Terus makan saat isoman dan asupan gizi untuk pikiran menjadi hal penting menghadapi pandemi Covid-19. Dukungan orang terdekat dan yakin bisa terus menghadapi tantangan menjadi modal utama lainnya.
Oleh
CORNELIUS HELMY
·5 menit baca
KOMPAS/ARSIP SEDULUR SEPENANGGUNGAN
Jerry Komara (kanan), jurnalis yang sedang menjalani isolasi mandiri, menerima kiriman bahan makanan dari rekan seprofesinya di Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (3/7/2021). Jurnalis di Cirebon yang tergabung dalam komunitas Sedulur Sepenanggungan berupaya membantu rekan jurnalis yang terdampak Covid-19. Hingga kini, setidaknya lima jurnalis di Cirebon menjalani isoman.
Tidak pernah mudah bagi penyintas atau orang-orang terdampak Covid-19. Butuh cara pandang dan gaya hidup baru menghadapinya.
Belum lama mengabarkan tentang kondisi tubuhnya yang terpapar Covid-19, Adeng Bustomi (33) lekas mendapat banyak cinta pertengahan Juli lalu. Dia tidak menyangka bakal segera kebanjiran banyak makanan dari rekan-rekannya. Rupanya beragam. Ada buah-buahan segar, multivitamin, dan makanan berpengawet dalam kemasan.
”Untuk meningkatkan imun, begitu kata teman-teman yang begitu perhatian itu,” kata warga Imbanagara, Ciamis, Jawa Barat, ini, Kamis (5/8/2021).
Akan tetapi, dalam kondisi tidak fit, dia tidak mau gegabah menyantap semuanya begitu saja. Sulit mengakses layanan kesehatan, Adeng lantas bertanya kepada beberapa kenalannya yang pernah menjalani isolasi mandiri seperti dia. Adeng sengaja menghindari internet karena tidak ingin terpapar informasi tertentu yang bisa bikin kondisi kesehatannya semakin rentan.
Dari informasi mulut ke mulut, dia mendapatkan banyak saran. Demi pemulihan kesehatan, dia harus memprioritaskan makanan bergizi, vitamin dan mulai berolahraga. Ada saran juga, apabila tidak bisa makan sekaligus, sebaiknya satu porsi tetap dimakan secara bertahap.
”Khusus makan, saya tidak kesulitan karena masih bisa menyantap apa saja. Mungkin itu juga yang membuat efek Covid-19 tidak terlalu kentara,” kata Adeng, yang dinyatakan negatif setelah menjalani isoman selama dua minggu.
Informasi yang didapatkan Adeng tidak keliru. Ahli gizi dari Universitas Padjadjaran, Siska Wiramihardja, mengatakan, makan saat isolasi mandiri mesti tetap mengacu rekomendasi WHO untuk meningkatkan imunitas tubuh. Kuncinya, makanan bernutrisi dan gizi seimbang. Dalam setiap porsi, makanan sebaiknya berisi karbohidrat, protein, serta vitamin dan mineral.
”Untuk bisa memenuhi kebutuhan ini tidak harus mahal. Vitamin dan mineral ada di sayuran dan buah-buahan,” kata dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran Unpad ini dalam acara Ngobrol Edukasi Santai ”Gaya Hidup saat Isoman” yang digelar Klinik Kesehatan Unpad secara virtual Selasa (3/8/2021).
Hanya saja tidak semua penderita Covid-19 yang sedang isoman mampu makan dengan seperti biasa. Selain kondisi tubuh yang lemah, adanya yang mengalami anosmia, kehilangan indra perasa, mual, dan gangguan pencernaan. Semuanya rentan menyulitkan penderita untuk bisa makan dengan nyaman.
Untuk itu, Siska mengatakan, selain jenis makanan, pola makan juga perlu disiasati. Ketika tidak bisa menghabiskan satu porsi makanan, aktivitas makan bisa diperbanyak dengan porsi lebih sedikit.
”Kita buat dulu jadwal mau makan jam berapa. Harus ada usaha buat menepatinya. Ketika sudah waktunya, silakan berdoa dan niatkan itu adalah ikhtiar. Berusahalah tetap makan suap demi suap,” kata Siska.
Dokter Ratna Dewi melayani pasien di Poli Curhat Puskesmas Krian, Kamis (1/10/2020). Pemeriksaan kesehatan mental dan konseling merupakan bagian dari layanan yang diberikan oleh Puskesmas Krian.
Akan tetapi, tubuh tidak hanya butuh asupan makanan. Semangat dan kesehatan mental penting diolah selama terpapar Covid-19. Aldi Ginastiar, alumnus Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Unpad sekaligus penyintas Covid-19, sudah membuktikannya.
”Awalnya terkejut mendengar kabar positif. Apalagi, saat itu hanya tiga hari sebelum jadwal sidang skripsi,” kata Aldi.
Aldi mengatakan, kampus sudah menawarkan keringanan memundurkan jadwal sidang. Namun, dia memutuskan tetap menjalani sidang skripsinya pada 16 Juli 2021. ”Saya sudah janji kepada almarhum teman saya (untuk lulus bulan Juli),” ujar Aldi.
Sidang akhirnya tetap digelar sesuai waktunya. Awalnya, sempat berjalan tidak mulus. Aldi sempat sulit berkonsentrasi dan berpikir. Diduga, hal itu disebabkan dampak Covid-19.
”Terasa sekali. Biasanya tahan 2-3 jam di depan komputer. Saat sidang, baru setengah jam sudah pusing, linglung, dan ngantuk,” kata Aldi.
Beruntung ujungnya mulus. Saat yudisium, Aldi meraih nilai ”A” dan mendapatkan indeks prestasi kumulatif 3,4.
Dengan hasil itu, Aldi mendorong mahasiswa lain, terutama yang sedang menjalani isoman, tetap semangat meski tak mudah. ”Saya rasakan sendiri sakitnya. Bukan karena fisik saja, melainkan beban mental. Jadi jangan terlalu banyak pikiran apabila punya tanggung jawab lebih baik selesaikan, jangan ditunda-tunda,” katanya.
Akan tetapi, tidak semua sekuat Aldi. Warga Kota Bandung, GB, misalnya. Dia tidak terinfeksi Covid-19. Namun, diduga terdampak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, pelaku usaha kuliner ini melukai diri sendiri di depan Balai Kota Bandung, Rabu (4/8/2021). Dia lantas dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).
Koordinator Pelayanan Medik RSHS Zulvayanti mengatakan, pasien itu datang ke IGD pada Rabu pukul 13.54. Dia terluka di perut dan leher. Zulvayanti mengatakan, ada kecurigaaan pasien hendak bunuh diri.
Menurut Zulvayanti, setelah dirawat, kondisi pasien stabil dan tanpa menggunakan bantuan oksigen tapi masih diawasi kondisi kesehatannya. Perdarahannya sudah tertangani dan pasien sudah mendapatkan obat-obatan antinyeri.
Kejadian yang dialami Aldi dan GB membuktikan respons setiap orang menghadapi pandemi tidak sama. Selalu ada sisi lebih dan kurang yang mendominasi saat hidup di zaman yang tidak mudah ini.
Menarik pendapat Guru Besar Fakultas Psikologi Unpad Prof Hendriati Agustiani tentang pentingnya memelihara kelenturan atau resilensi demi menjaga kesehatan jiwa. Resiliensi adalah kemampuan bangkit dari peristiwa atau tantangan berat.
”Kita mesti mengubah cara pandang. Ini tantangan dan harus dihadapi. Di satu sisi, kita tengah terpuruk tapi kita harus bangkit. Semua harus tetap berjalan. Ini yang membantu ketahanan terhadap stres atau gejala depresi,” katanya.
Selain itu, bekal agama, ilmu pengetahuan, dukungan sosial, dan rasa beryukur juga harus dipertebal. ”Beberapa hasil penelitian menunjukkan semuanya menjadi energi positif yang membuat orang mau beradaptasi dan memunculkan motivasi baru untuk tetap bisa berjalan,” kata Agustiani.
Kondisi tubuh dan pikiran sama-sama penting dijaga saat pandemi ini masih belum ketahuan ujungnya. Dukungan orang sekitar dan kemauan diri untuk tetap bertahan menjadi modal kuat mengarunginya.