Mengamati Burung Indonesia, Tidak Mudah tapi Selalu Menarik
Ribuan burung Indonesia adalah harta dunia. Namun, keberadaanya terancam keegoisan manusia. Biarkan mereka di alam bukan hidup di kandang.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/CORNELIUS HELMY
·5 menit baca
Ribuan jenis burung Indonesia berdaya pikat dunia selalu memiliki pembahasan yang tidak ada habisnya. Namun, bukan perkara mudah untuk melihat rupa atau sekadar menemukan suaranya di alam liar. Bentuknya yang serupa, tapi tidak sama, perburuan, dan pemeliharaan manusia, menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Hal itu menjadi salah satu benang merah dalam webinar bedah buku Birds of the Indonesian Archipelago (edisi kedua), Sabtu (31/7/2021). Acara ini diinisiasi secara daring oleh Burung Indonesia. Hadir sebagai pembicara adalah dua penulisnya, James Eaton dan Bas van Balen. Selain itu, ada juga Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia Achmad Ridha Junaid.
Birds of the Indonesian Archipelago edisi kedua ini hadir dengan wajah dan isi lebih lengkap. Terbit Februari 2021, ada 1.456 spesies dalam 107 famili burung di Indonesia. Sebanyak 628 burung di antaranya endemik. Ada juga sejumlah spesies baru yang masih belum dideskripsikan secara resmi.
Selain itu, kali spesies burung yang serupa dan berada di satu wilayah di letakkan berdekatan untuk mempermudah perbandingan. Setidaknya, ada penambahan 39 spesies baru dari edisi sebelumnya.
Bas van Balen memaparkan, sejumlah tantangan yang ditemui saat merampungkan buku ini. Mulai dari identifikasi, menentukan taksonomi atau pengelompokan, hingga pengamatan di alam. Selain itu, maraknya pemeliharaan manusia memicu burung lepasan yang hidup bukan di habitat aslinya.
Oleh karena itu, pengamatan sangat teliti perlu dilakukan. Balen mengatakan, hal itu penting karena burung-burung yang berada di irisan satu wilayah sukar dibedakan. Bahkan, satu jenis burung dengan jenis burung lainnya hanya bisa dibedakan dengan cuitannya karena memiliki bentuk fisik sangat mirip.
”Sampai sekarang ada beberapa burung yang sangat mirip. Kalau penelitian dengan menggunakan DNA bisa langsung terlihat perbedaannya, tapi kalau hanya melihat di alam itu sulit,” ujar Balen.
Balen mencontohkan burung meninting. Di Semenanjung Melayu, Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan pulau-pulau di sekitarnya terdapat tiga jenis meninting yang mirip. Di gugus kepulauan yang disebut Sunda Besar ini, hidup meninting jawa, meninting borneo, dan meninting malaya.
Dalam gambar yang disajikan, gambar ketiga burung seperti tidak berbeda. Ketiga burung yang sangat suka dengan ekosistem air ini memiliki warna hitam putih dengan motif warna bergaris yang mirip.
Balen berujar, kesulitan pengamatan bisa ditemui ketika burung-burung tersebut beririsan di satu habitat, seperti meninting borneo dan meninting malaya yang ditemukan di Pulau Kalimantan.
”Kalau dilihat dari gambar ini, siapa yang bisa membedakan? Beda yang didapatkan hanya dari panjang ekor, luas putih di dahi, bahkan hanya perbedaan suara. Itu masih menjadi tantangan untuk menelitinya dan sekarang sudah mulai terkuak,” ujarnya.
Meski sulit, pengamatan burung di Indonesia menjadi hal yang menarik bagi James Eaton yang juga co-founder and pendamping Birdtour Asia. Dalam penyusunan buku ini, dia mendapati sejumlah burung berada dalam status terancam punah saat diidentifikasi.
Karena itu, Eaton berharap pengamatan burung tetap dilakukan agar kelestarian tetap terjaga dan pengetahuan masyarakat bertambah dengan banyaknya jenis burung di sekitar mereka. Selain itu, pengamatan yang ada juga bisa menjadi petunjuk untuk upaya konservasi burung.
”Revisi taksonomi ini memberikan wawasan yang signifikan, bahkan bisa mengetahui burung yang terancam punah,” ujar Eaton, yang merampungkan buku terbaru ini dalam delapan bulan atau jauh lebih singkat ketimbang edisi pertama hingga tujuh tahun.
”Kami sangat menikmati ketika menyusun buku ini, tapi tidak tahu dengan keluarga kami, he-he-he,” kata Eaton, yang sempat kembali ke hutan dan membuka banyak literatur lawas dan terbaru untuk menguatkan ilmu dalam buku ini.
Sementara itu, Achmad Ridha Junaid menjamin buku edisi kedua akan semakin memudahkan banyak pihak memetakan burung-burung di Indonesia. Kehadirannya menyempurnakan keistimewaan yang diberikan buku edisi pertama.
Dia mengupasnya dari tampilan buku yang diklaim dibuat berbahan seperti plastik dan lebih tahan air. ”Ini berbeda dengan edisi pertama yang dibuat dari kertas keras. Ketika dibawa ke hutan, rawan rusak karena terkena hujan dan hal lainnya,” katanya.
Kelebihan lainnya adalah bertambahnya taksonomi burung. Di Jawa, misalnya, banyak burung yang teridentifikasi terpisah hingga akhirnya menjadi endemis.
Di satu sisi, hal itu sangat karena banyak endemis yang ditemukan. Namun, tantangan upaya konservasi juga semakin besar karena semakin banyak endemis yang harus diproteksi.
Selain itu, tantangan menemukan burung tertentu dalam bahasa Indonesia juga terjawab di buku kedua. Penemuannya semakin mudah karena nama-nama burung dikelompokkan dalam indeks tertentu, bukan abjad seperti buku pertama.
Dia mencontohkan penyebutkan keluarga Heleia dipermudah dengan dimasukan ke dalam kelompok burung white eye (mata putih). Jenis endemis juga relatif lebih mudah ditemukan karena disebutkan nama daerahnya. Misalnya, myzomela alor, myzomela sumba, atau myzomela wetar.
Kenali di alam
Ridha mengatakan, pengamatan dan pengelompokan ini diharapkan bisa menyadarkan masyarakat. Di Indonesia ada banyak burung endemis yang harus dilindungi. Sejauh ini, Burung Indonesia telah mengidentifikasi 1.812 jenis burung hingga pertengahan 2021. Dari ribuan jenis ini, 557 spesies di antaranya berstatus dilindungi.
Dari jenis ini, 31 jenis burung berstatus kritis, 52 genting, 96 rentan, dan 241 jenis lainnya mendekati kepunahan. Bahkan, satu spesies burung, trulek jawa (Vanellus macropterus), berstatus kemungkinan punah di alam liar (possibly extinct).
Karena itu, kesadaran untuk peduli terhadap alam perlu dipupuk untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang berharga dan hanya dimiliki Indonesia. Salah satunya ialah mengenal mereka lebih jauh melalui berbagai media dan pemantauan langsung di alam.
Eaton juga menyarankan, masyarakat menjadi pengamat amatir burung-burung yang ada di sekitar mereka. Jika ingin mendalami, ada banyak jenis burung yang bisa diamati di pegunungan atau daerah lainnya.
”Semua bisa pergi memulai pengamatan burung, bisa saja di daerah perkotaan tempat kita tinggal. Di sana pasti ada spesies yang menarik. Jika ingin meningkatkan pengetahuan, bisa ke area yang lebih tinggi. Hampir semua burung memiliki jenis yang khas,” ujarnya.
Menurut Balen, ketertarikan masyarakat dalam mengamati burung di alam bisa mengurangi tren penangkaran burung di rumah-rumah. Hal ini bisa mengurangi ancaman kepunahan jenis burung karena perburuan liar. Bahkan, burung yang terbang bebas mampu menyeimbangkan alam karena burung memiliki peran penting dalam ekosistem.
”Antusiasme dalam melihat burung-burung berkicau di alam ini perlu ditularkan. Indonesia itu sangat kaya diversitasnya, jenis burungnya. Semua orang berperan untuk melestarikan burung-burung ini,” ujarnya.
Burung-burung yang lebih bebas di alam memilik kicau yang jauh lebih menarik daripada sekadar di sangkar. Kebebasan ini tidak hanya untuk diri mereka saja, tetapi untuk masa depan manusia dan alam yang harus tetap lestari.