Nasi Ulam Ibu Yoyo masih dimasak dengan kayu bakar. Sementara Nasi Ulam Misdjaja dijual dengan gerobak. Di sudut-sudut Jakarta, para penjual sajian khas Betawi itu mempertahankan usahanya sejak lebih dari 50 tahun lalu.
Oleh
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Nasi ulam tak lekang ditelan waktu meski hanya dijual dengan gerobak, warung, dan kedai sederhana. Santapan itu masih dihidangkan mereka yang bersikukuh melestarikannya. Walau kalah pamor dari nasi uduk yang juga sajian khas Betawi, beberapa usaha itu mampu bertahan lebih dari separuh abad.
Edi Kurniawan (48) memberi tahu beberapa pengunjung soal dagangannya yang sudah ludes. Baru sekitar pukul 19.15, penjual nasi ulam itu sudah berkemas. Meski ia menutup gerobaknya pada pukul 21.00, makanan tersebut acap kali habis lebih awal.
Setiap hari, ia menjual sekitar 300 porsi nasi ulam. Usaha di Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Jakarta tersebut, bertahan sejak tahun 1964 dan tak pernah pindah. Di gerobak Edi yang buka mulai pukul 16.00 tertulis Misdjaja, nama ayahnya.
Edi membuat sendiri semua dagangannya dengan bangun pukul 06.00. Setelah selesai belanja dan memasak, ia berangkat pukul 15.00. ”Saya mau melestarikan makanan tradisional. Jadi, masih jualan karena saya memang warga Betawi,” katanya, Jumat (11/6/2021).
Nasi itu bertabur kerupuk, emping, irisan telur, dan kemangi dengan sedikit kuah semur di tepi piring. Di antara gundukan nasi, sensasi sambal kacang dan bihun sesekali menyelip. Hidangan itu semakin unik dengan kacang sangrai yang ditumbuk dan diayak sehingga lebih halus.
Lauk paling sering dipesan, dendeng, menguarkan kenyal yang sedikit manis. Jahe, lengkuas, ketumbar, lada, dan kunyit menyatu dalam tebalnya daging tersebut. Selaras dengan tahu cokelat, bumbu-bumbunya menyerap baik dan lembut. Seporsi hidangan itu disajikan dengan teh tawar gratis.
Harga sepotong tahu, tempe tepung, dan telur, sama atau Rp 5.000. Selain dendeng, cumi asin termasuk paling banyak dipesan konsumen. ”Harga sepotong dendeng Rp 10.000 dan cumi asin Rp 5.000. Paling cepat habis dua lauk itu. Kadang, nasi dipesan seporsi tapi dendengnya tiga potong,” kata Edi.
Saat itu, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) belum diterapkan. Santap malam tersebut menjadi agak ganjil namun mengundang senyum karena sebentuk patung singa ala Tionghoa ditempatkan bersebelahan dengan meja disertai pendar lampion yang berputar di langit-langit.
Meja dan bangku sederhana untuk menyantap nasi itu memang berada di halaman Wihara Dharma Jaya Toasebio. Gerobak Edi pun tak kalah bersahaja yang dinaungi terpal. ”Saya enggak jual nasi uduk. Kemampuan saya bikin nasi ulam. Enggak saingan sama nasi uduk karena pembeli punya selera masing-masing,” katanya.
Kayu bakar
Nasi ulam legendaris juga dijual Asmawi (68) lewat usaha yang dimulai ayahnya, Yoyo, pada tahun 1952. Hidangan itu masih dimasak dengan sumber api yang sudah langka. Kayu bakar dimasukkan dalam tungku dengan panjang 1 meter, lebar 75 sentimeter (cm), dan tinggi 50 cm.
Susunan batu bata terlihat dengan sebagian semen yang mengelupas dan berjelaga. Kukusan, bakul bambu, dan dandang pun sudah menghitam. Dandang tembaga yang sudah digunakan lebih dari 40 tahun itu belum rusak. Peralatan tradisional masih digunakan untuk menyesuaikan hidangannya.
Makanan itu dijual Asmawi yang ingin mempertahankan sajian khas Betawi. Usaha tersebut berada di Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Jakarta. Semula, warung itu bernama Yoyo. Istri Asmawi, Rohani kemudian diajak menjadi peserta festival kuliner di Jakarta pada tahun 2007.
”Merek dicantumkan penyelenggara. Jadilah namanya Ibu Yoyo yang masih dipakai untuk menyebut warung saya,” ucap Asmawi. Nasi ulam ia sajikan di warungnya pada pukul 07.00-20.00. Lauk paling favorit, empal bulat dengan bentuk dan rasa tak berbeda sejak awal dijual.
Saat dikunyah, empal itu terasa empuk. Kilasan rasa mirip abon sesekali menyelinap di sela sedapnya daging tersebut. Asam, garam, dan gula jawa berpadu sedikit asin yang pas. Bagian dalam daging itu berwarna cokelat tua dan luarnya lebih gelap.
Sementara, nasi ulam agak berkuah dengan genangan semur. Hidangan tersebut juga meriah dengan warna kuning serundeng. Nasi pun tercecap gurih diselang-seling taburan mentimun, bawang goreng, kemangi, dan kacang hijau yang lunak karena direndam.
Tahu cokelat empuk dan semur telur tak kalah sedap. Campuran ketumbar, lengkuas, dan jahe sekilas terhirup dalam kuah olahan kedelai tersebut. Sambal goang dari cabai rawit mentah dan garam juga tersedia. Hidangan pendamping itu lazim menggunakan gandaria namun sudah semakin sulit didapatkan.
Jika konsumen membeli nasi ulam dengan empal, harganya Rp 25.000 per porsi. Harga sepotong empal Rp 17.000, tahu Rp 3.000, dan telur Rp 6.000. ”Saya juga jual nasi uduk. Pedagang lain banyak. Kalau saingan, enggak juga karena masakannya punya cita rasa sendiri-sendiri,” kata Asmawi.
Iwan Kurniawan (46) ikut membuat nasi ulam untuk melestarikan sajian khas Betawi itu. Di kedainya, Nasi Ulam Ala Betawi, ia juga menjual empal, ayam goreng, dan semur jengkol. Nasi ulam bukan hidangan yang tergolong mudah dimasak.
”Serundengnya masak sendiri. Bisa sampai empat jam karena api harus kecil dan terus diaduk. Telat sedikit gosong. Memang menjelimet,” katanya. Ia mendapatkan resep dari ayahnya yang bersuku Betawi. Iwan membuka kedainya di Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta sejak tahun 2016.
Otentik Betawi
Berdasarkan buku Wisata Jajan Jabodetabek yang diterbitkan PT Intisari Mediatama tahun 2009 dengan tim peliput M Sholekhudin, Shinta Teviningrum, dan Fajar Ayuningsih, nasi ulam merupakan satu di antara puluhan makanan khas Betawi yang kondang.
Sayangnya, popularitas hidangan itu tak secemerlang ”kerabat dekatnya”, nasi uduk. Penjual nasi ulam sangat jarang dijumpai. Berbeda dengan nasi uduk yang bisa ditemukan hampir di setiap tikungan jalan. Sampai sekarang, hanya segelintir orang yang tetap loyal berjualan nasi ulam.
Moderator Komunitas Jalansutra, Lidia Tanod, mengacu kepada novel karangan Aman Datuk Madjoindo tahun 1932, Si Doel Anak Betawi. ”Doel kecil membantu emaknya jualan kue dan nasi ulam. Cerita itu mengindikasikan nasi ulam otentik sebagai kuliner khas Betawi,” katanya.
Hidangan itu mampu meniti zaman meski tak terlalu populer dibandingkan nasi uduk. Nasi uduk lebih disukai masyarakat karena rasanya. ”Sama-sama makanan khas Betawi tapi penambahan kelapa sangrai sebagai campuran nasi ulam buat sebagian orang mungkin terasa berat,” ucapnya.
Sementara nasi uduk hanya ditambahkan santan sehingga lebih gurih namun tetap terkesan ringan. Selain itu, nasi ulam kerap dikonsumsi dengan lauk tertentu. ”Adapun nasi uduk dikombinasikan dengan lebih banyak lauk. Bisa lebih diterima lidah pada umumnya,” ujarnya.