Di tengah gelombang pandemi Covid-19 yang menyesakkan, bermekaran aksi solidaritas yang melegakan. Orang-orang berhati baik di sejumlah kota menawarkan aneka pertolongan.
Oleh
Herlambang Jaluardi, Wisnu Dewabrata, Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Di tengah gelombang pandemi Covid-19 yang menyesakkan, bermekaran aksi solidaritas yang melegakan. Orang-orang berhati baik di sejumlah kota menawarkan aneka pertolongan atau menyediakan dirinya sebagai teman bagi warga korban pandemi. Inilah modal sosial terbesar yang kita miliki untuk melawan pandemi.
Sekitar dua pekan yang lalu, Indrawan alias Capung (56) menyaksikan suasana yang menyesakkan di ruang jenazah salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Beberapa jenazah dengan Covid-19 yang telah dimandikan dan didoakan tidak bisa segera dimakamkan karena rumah sakit kehabisan peti jenazah.
Pengalaman itu membuat Capung sangat terenyuh. Pulang dari rumah sakit, ia bertemu teman-temannya sesama aktivis untuk mencarikan solusi. Dari situ muncul ide membuat peti jenazah. Mereka menunjuk Herlambang Yudho sebagai ”ketua kelas” proyek pembuatan peti jenazah sederhana tetapi aman.
Pembuatan peti dipusatkan di pekarangan rumah Capung di daerah Nogotirto, Sleman, sejak Selasa (6/7/2021). Dananya berasal dari alumni UGM. Pekerjanya siapa saja, termasuk tukang jahit pada usaha konfeksi milik Capung, yang sebelumnya tidak pernah memegang alat pertukangan.
Kamis petang, mereka telah membuat 25 peti jenazah yang akan dihibahkan ke RSUP Dr Sardjito dan RS Akademik UGM. Jumlah itu masih jauh dari kebutuhan peti jenazah di Yogayarta saat ini. Menurut Capung, satu rumah sakit saja ada yang butuh 20-30 peti jenazah per hari untuk pemakaman korban Covid-19.
”Sekarang kebutuhannya memang melonjak dan stok amat terbatas. Mudah-mudahan, yang kami lakukan bisa menginspirasi banyak pihak. Saya yakin di tiap desa ada tukang kayu dan banyak yang punya alat pertukangan. Mereka bisa membuat peti mati,” ujar Capung, aktivis kebencanaan, Kamis.
Di tempat lain di Sleman, Kalis Mardiasih (29) menyediakan diri sebagai induk semang bagi lima perantau yang kesulitan mendapat tempat untuk isolasi mandiri setelah mereka dinyatakan positif Covid-19. ”Aku tanya-tanya mereka, perkembangan kesehatan mereka, terus tanya isi ATM-nya ada berapa? Sudah sarapan atau belum? Ya, sudah, aku kirim aja sarapan sekalian,” katanya.
Kalis tak mau mereka berjuang sendirian. Ia menawari anak indekos yang terinfeksi Covid-19 menjalani isolasi di pesanggrahan (guest house) lima kamar yang ia sewa. Tawaran itu ia unggah di akun Twitter. Responsnya luar biasa.
”Banyak curhatan yang saya terima. Ada yang tidak boleh kembali ke kos setelah tes PCR-nya positif, diusir secara halus, sampai yang tragis ada cerita anak kos meninggal sendirian di kamar kosnya,” ucap Kalis.
Jumat (9/7/2021), Kalis sibuk mencari kamar kos lain yang bisa disewa untuk tempat isolasi mandiri. Ia membuka dompet donasi di kanal Kitabisa.com untuk membiayai aksi sosial tersebut. ”Baru dibuka sekitar lima hari, terkumpul donasi sekitar Rp 190 juta. Syukur masih banyak orang baik yang mau terlibat,” lanjutnya.
Di kawasan Karet Semanggi, Jakarta Selatan, komunitas Demi Anak Negeri, Disaster Response Volunteer Manguni 86, dan Amerika Bersatu di New York City membuka Dapur Umum Peduli Covid-19. ”Kami ingin bantu warga terutama yang harus isolasi mandiri, tetapi tak ada jatah makan, juga pekerja harian yang kalau tak kerja, tak bisa makan,” ujar Ketua Komunitas Demi Anak Negeri Ahi Suheryatno.
Dapur itu sehari-hari dikelola beberapa chef asal Sulawesi Utara, seperti Jodi Cross Ante, Stedy Watung, Caroline Pelokang, Bobby Sumual, Farry Tunas, Hendra Rumondor, dan Fernando Nando. Mereka ikhlas jadi sukarelawan ketika bisnis rumah makan mereka tutup akibat pandemi. Mereka bekerja sejak subuh untuk membuat setidaknya 400-1.000 pak makanan untuk warga yang membutuhkan.
Dapur umum serupa dibuka Nike Natalia (33) dan suaminya, Alfred Syahrulizar (40), serta komunitas Allienn Workshop di Malang, Jawa Timur. Setiap pagi, Nat dan timnya memasak nasi dan lauk-pauknya untuk 150 paket makanan. Pukul 07.00 dan 11.00, mereka mengantarkan makanan kepada warga yang sedang menjalankan isolasi mandiri.
Melalui gerakan itu, ia dan tim bisa merasakan apa yang dirasakan oleh warga yang tengah menjalani isolasi. ”Saya belum pernah isolasi mandiri, tapi setidaknya kalau saya di posisi mereka. Kan, kayak merinding gitu, lho, rasanya kalau dapat perhatian, apalagi dari orang yang mereka tidak kenal,” ujar Nat.
Nat sejak Mei 2021 rutin membagikan nasi bungkus setiap Jumat. Ketika PPKM darurat diberlakukan, ia memperluas gerakannya. Ia menginformasikan kepada warganet tentang bantuan makanan, vitamin, dan buah-buahan bagi mereka yang sedang isolasi mandiri. Tak dinyana, permintaan bantuan membeludak.
”Pokoknya, yang bisa dikerjakan, ya, ayo,” kata Nat yang tidak membuka donasi. Ia percaya, jika yang dikerjakan baik, Tuhan akan membantu membukakan jalan.
Sejumlah orang memilih membangun sistem yang menghubungkan antara warga yang membutuhkan bantuan dan para dermawan serta sukarelawan yang menggalang bantuan. Hal itu, antara lain, dilakukan Ananda Badudu dan rekan-rekan lewat gerakan Warga Bantu Warga serta Faiz Ghifari lewat Urun Daya Covid-19.
Mereka mengumpulkan berbagai informasi yang tersebar di media sosial terkait lokasi penyedia oksigen, layanan ambulans, layanan rumah sakit, penyedia obat, hingga berbagai macam bantuan untuk warga terdampak pandemi. Dengan begitu, warga lebih mudah mencari bantuan.
”Selama 1,5 tahun pandemi ini, enggak pernah lihat ada pusat data yang bisa memudahkan orang-orang (mencari bantuan). Semua terpisah-pisah. Orang bingung enggak bisa nyisir informasi satu per satu,” kata Ananda.
Terkoneksi
Lebih dari setahun kita hidup di bawah teror pandemi dan situasinya memburuk belakangan ini. Kasus harian mendekati angka 40.000 per hari, korban yang meninggal pernah menembus angka 1.000 orang per hari, sistem kesehatan nyaris kolaps, pemerintah gagap dalam mengoordinasikan penanganan pandemi, dan masih banyak warga yang abai menjalankan prosedur kesehatan.
Dalam situasi seperti ini, munculnya gelombang aksi solidaritas yang melintasi sekat-sekat perbedaan memberi secercah harapan. Apalagi aksi solidaritas muncul di mana-mana dengan penggerak mulai dari individu, komunitas, organisasi, wirausaha sosial, hingga industri.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, melihat aksi solidaritas yang bermunculan belakangan bukan gerakan yang berbasis kedekatan komunitas, persaudaraan, atau geografis, melainkan gerakan yang melintasi itu semua. Mereka beroperasi lebih luas melalui media sosial.
Pelakunya adalah mereka yang Imam sebut sebagai social champions, para juara dalam gerakan sosial baru. Mereka bergerak ketika negara kurang efektif dan lamban dalam menangani masalah besar seperti pandemi. Jumlah mereka tidak sebesar ormas tradisional, tapi mampu menggerakkan dan menggalang aksi-aksi sosial secara efektif lewat jejaring mereka. Sayangnya, gerakan mereka masih berupa titik-titik yang berserakan dan belum terkoneksi.
Negara, lanjut Imam, harus hadir dan bisa menghubungkan titik-titik itu (connecting the dots). Caranya, akui keberadaan mereka dan fasilitasi. ”Keberadaan jejaring (solidaritas sosial) yang kuat, terkoneksi, dan terlembaga semakin diperlukan dalam kondisi seperti sekarang,” ujar Imam. (IAN/TRI)