Orang Bali yang minder karena merasa menjadi minoritas dalam pergaulan nasional telah menemukan kebudayaan sebagai celah untuk memperkokoh identitas sekaligus memperkuat ekonomi.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·6 menit baca
Pesta Kesenian Bali bukan sekadar tontonan, melainkan telah lama menjadi wahana pengukuhan jati diri. Orang Bali yang minder karena merasa menjadi minoritas dalam pergaulan nasional telah menemukan kebudayaan sebagai celah untuk memperkokoh identitas, sekaligus membawa dampak ekonomi yang menjanjikan masa depan lebih cerah.
Pemandangan di Taman Budaya Denpasar, Sabtu (19/6/2021) malam, tampak lengang. Hanya satu dua orang yang tampak duduk di beberapa sudut halaman yang begitu luas. Setelah melewati jajaran instalasi bambu yang menghubungkan amfiteater Ardha Candra dan panggung tertutup Ksirarnawa, kita akan sampai di sebuah pelataran. Ada ruang-ruang di mana para penekun industri kerajinan memamerkan hasil karya mereka. Sebelum memasuki ruang pameran, Ketua Dekranasda Bali Putri Suastini Koster sedang mengobrol dengan seseorang. ”Mari singgah dulu, minum kopi,” katanya.
Setelah kami duduk bersama, Putri bercerita nyaris setiap malam ia nongkrong di kafe bawah panggung Ksirarnawa sejak November 2020. Ia ingin mendampingi para perajin tetap bergeming menghadapi pandemi. ”Pameran tak hanya dagang, tetapi juga memberikan harapan,” katanya.
November tahun lalu, untuk pertama kalinya para perajin Bali berpameran bersama dalam kemasan Bali Bangkit di tengah kecamuk pandemi Covid-19. Pameran kerajinan, terutama kain tradisional, telah lama menjadi bagian dari agenda pergelaran Pesta Kesenian Bali (PKB). Tahun 2021, pesta rakyat itu digelar pada 12 Juni-12 Juli 2021 dan dibuka secara virtual oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut Putri, selain seni pertunjukan, musik, rupa, dan tarian, kain tradisional juga menjadi bagian penting dari PKB. Hasil ekspresi cita rasa para perajin Bali dalam wujud kain tradisional menjadi landasan penting dalam mengangkat kebudayaan dan ekonomi Bali. ”Kain itu ekspresi kebudayaan yang memiliki dampak langsung pada ekonomi dan kita banyak punya itu,” kata istri Gubernur Bali I Wayan Koster itu.
Pakar tekstil serta dosen desain dan mode Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Tjok Istri Ratna Cora, Selasa (22/6/2021), di Denpasar, mengatakan, selembar kain justru memiliki pengaruh yang jauh lebih signifikan dibandingkan dengan seni lainnya. Ia menceritakan, kain tradisional Bali sudah lama menjadi bagian rancangan dari para perancang dunia. ”Dulu, Prada pernah gunakan kain tradisional Bali, sekarang ada Christian Dior yang ambil endek. Tiba-tiba, kan, itu berdampak sampai ke tingkat paling bawah, para petenun di kampung,” ujar Ratna.
Penggunaan kain seperti endek oleh Dior, misalnya, kata Ratna, telah mengangkat rasa percaya diri para petenun lokal. Dulu, para petenun Bali menganggap aktivitas menenun sebagai pekerjaan sambilan. ”Sekarang pelan-pelan ini menjadi sebuah industri,” katanya.
Industri budaya
Skala industri, tutur Rektor ISI Denpasar Kun Adnyana, yang juga kurator PKB, amat penting sebagai semaian awal memupuk kepercayaan diri. ”Bahwa apa yang mereka hasilkan diberi apresiasi dan bermanfaat secara ekonomi,” katanya.
Kun mengingat gagasan dasar penyelenggaraan PKB pertama tahun 1979 di masa Gubernur Bali Ida Bagus Mantra. Sejak awal, katanya, PKB digagas sebagai wahana penguatan jati diri orang Bali yang minder. Perasaan sebagai minoritas secara etnis dan kebudayaan dalam pergaulan nasional telah membuat orang Bali malu melakukan praktik keagamaan. Kalau pergi ke pura, kata Kun, dulu orang Bali baru mengenakan pakaian adat sebelum benar-benar memasuki pura.
Mereka malu memakai destar dan pakaian adat, bahkan malu disebut pemangku atau pengabdi di pura
”Mereka malu memakai destar dan pakaian adat, bahkan malu disebut pemangku atau pengabdi di pura,” katanya. Perasaan itu tak lain bersumber dari kehilangan identitas yang telah berlangsung lama. Sejak masa kolonialisme, tahun 1920-an, restorasi yang dilakukan Pemerintah Belanda terhadap kebudayaan Bali dengan program Baliseering (Balinisasi) justru menguntungkan kaum bangsawan.
Dalam buku Negara Teater, antropolog Clifford Geertz mengatakan, negara (kerajaan) telah menjadikan upacara adat sebagai teater kuasa. Gelaran upacara, seperti ngaben yang megah, menjadi teater untuk mengukuhkan kekuasaan raja (kaum bangsawan) terhadap rakyat jelata yang ”hanya” kebagian peran figuran. Padahal, sejak persiapan hingga pelaksanaan upacara, figuran-figuran inilah yang telah menyelesaikan seluruh pekerjaan.
Pada ujungnya, kata Kun Adnyana, terjadi dominasi secara kultural yang menyebabkan rakyat umumnya kehilangan identitas. ”Mereka tidak pernah mampu meraih identitas itu karena didominasi oleh kaum bangsawan. Pemerintahan yang terlalu kuat, apalagi korup, membuat rakyat kehilangan jati diri sebagai pelaku budaya,” kata Kun.
Realitas sejarah dan politik itu, ujarnya, yang mendorong penggelaran PKB tahun 1979. Dalam suatu kesempatan pada 1990-an, kepada Kompas, Gubernur Bali Ida Bagus Mantra pernah mengatakan bahwa orang Bali malu dengan kebudayaannya sendiri. Mereka berpikir bahwa yang mereka warisi dari para leluhur sebagai sesuatu yang kuno dan primitif. ”Maka, Pesta Kesenian Bali, pertama-tama punya misi mengangkat citra rendah diri itu. Ini seperti revolusi kebudayaan,” kata Mantra.
Mungkin juga karena diperkuat oleh kehadiran pariwisata sebagai industri mulai naik. Maka, orang Bali tiba-tiba jadi bangga, ke mana-mana tak malu pakai pakaian adat
Peneliti kebudayaan Bali asal Perancis, Jean Couteau, melihat, setelah PKB digelar selama 15 tahun pertama, barulah memiliki imbas nyata kepada orang Bali. ”Mungkin juga karena diperkuat oleh kehadiran pariwisata sebagai industri mulai naik. Maka, orang Bali tiba-tiba jadi bangga, ke mana-mana tak malu pakai pakaian adat,” kata Jean.
Ia memberikan contoh, orang-orang di Ubud, seperti Anak Agung Rai (pemilik Museum Arma) atau Sutedja Neka (pemilik Museum Neka), ke mana pun pergi hampir selalu menggunakan pakaian adat, setidaknya destar di kepalanya. ”Itu karena pakaian adat jadi identitas baru dengan muatan yang kental terhadap citra Bali. Ya, itu juga untuk branding diri karena mereka juga punya usaha,” kata Jean.
Bahkan, ketika pandemi menghancurkan pariwisata Bali ke titik nadir, kata Kun Adnyana, identitas orang Bali justru menjadi kian tangguh. Krisis yang pernah mengikis jati diri telah menjadi penguat penting dalam pembentukan keutuhan identitas lokal sekaligus internasional.
”Itu karena mereka percaya bahwa kebudayaan, lewat seni, selalu menyemai harapan. Sekarang pariwisata boleh hancur, tetapi, kan, tiba-tiba ada faktor Dior, misalnya,” kata Kun.
Kehadiran Christian Dior, kata Kun, bukan sebuah kebetulan belaka. Bisa dipastikan para ahli kain dari rumah mode berkelas dunia itu telah melakukan survei secara teliti untuk mengembangkan rancangan busananya. Karena kain tradisional Bali telah hidup dalam diskursus internasional, maka sangat bisa dimungkinkan akan menjadi pilihan para perancang dunia.
Apalagi, tambahnya, perbincangan mengenai Bali telah lama hidup dalam buku-buku yang banyak ditulis oleh para peneliti asing. Dan, itu sudah dimulai sekitar abad ke-19 silam. ”Kalau Dior memilih Bali itu karena Bali siap, baik secara artistik maupun skala industrinya,” kata Kun yang juga pelukis itu.
Kebudayaan boleh dikemas, sebatas yang dibutuhkan, tetapi tidak menghambakan diri pada industri.
Kun, Jean, dan Ratna meyakini bahwa revolusi yang diembuskan dalam kebudayaan Bali lewat PKB akan membawa kebudayaan ke dalam pusaran industri. Meski begitu, orang Bali memiliki rambu-rambu yang tak kalah kokohnya untuk menjaga agar penetrasi industri tidak justru menggerogoti praktik religiusitas yang berakar jauh dalam bongkahan tradisi mereka. Oleh sebab itu, ketiganya juga sepakat bahwa industri yang garang harus dijinakkan dengan segala perangkat estetika dan etika yang dimiliki Bali.
”Kebudayaan boleh dikemas, sebatas yang dibutuhkan, tetapi tidak menghambakan diri pada industri,” kata Kun. Itulah kunci untuk mengantarkan Bali memasuki gerbang renaisans baru dalam percaturan kebudayaan dunia.