Endek Dior Memicu Gairah Tenun Kampung
Sejak rumah mode Dior mengangkat endek bali pada Paris Fashion Week 2020, pamor endek bali kembali terangkat. Kini, para perancang dan masyarakat umum ramai-ramai berburu endek hingga ke kampung-kampung.
Kain endek yang ditenun para ibu di kampung punya julukan baru ”endek Dior”. Entah kenapa rumah mode berkelas dunia Christian Dior memilih empat motif kain tradisional bernama endek Bali sebagai busana musim semi dan musim panas 2021. Pergelaran busana telah dilakukan pada 29 September 2020, tetapi ledakan gairah berburu endek Dior terus berlangsung sampai hari ini.
Gudang penyimpanan endek milik pusat tenun Putri Ayu Gianyar, Bali, beberapa bulan belakangan ini selalu kosong. Para perajin pun tampak kewalahan mengerjakan empat motif yang diminati Dior. Empat motif itu bernama teteledan, patolan nagasari, bintang kurung, dan cecempakaan.
”Khusus motif teteledan Dior memilih dua warna, green green dan green yellow. Jadi, total Dior memilih empat motif dalam lima warna,” kata pengelola Putri Ayu, Ida Ayu Puspita Hartaty, Jumat (25/6/2021), di Gianyar.
Meski melalui proses panjang yang dimediasi Pemerintah Provinsi Bali, 15 Januari 2021, Putri Ayu berhasil mengirim kain endek sepanjang 1.200 meter ke Perancis. Kain endek sepanjang itu ”harus” dikerjakan selama sebulan, antara 18 Desember 2020 dan 15 Januari 2021.
”Sepenuhnya dikerjakan para perajin di desa,” kata Puspita. Putri Ayu, antara lain, meminta kelompok tenun Giri Putri (Bangli) dan Sri Sedana (Gianyar) untuk membantu memproduksi endek selama sebulan.
”Selebihnya dikerjakan juga para perajin di Putri Ayu. Total perajin yang terlibat ratusan orang, termasuk praproduksi, seperti celup, ikat, dan gincir,” ujar Puspita.
Menurut Ida Bagus Surya Bhuana, ahli waris Putri Ayu, kehadiran Dior telah mengangkat pamor kain endek. Rumah tenun yang ia warisi dari orangtuanya pada September 2020 terpaksa merumahkan banyak karyawan, termasuk para perajin.
”Kain menumpuk di gudang, mau diapakan kami enggak tahu,” katanya. Pandemi Covid-19 menjadi pukulan berat bagi para perajin tenun.
”Hampir tak ada permintaan, terpaksa kami rumahkan karyawan,” kata Surya.
Ketika Dior memanggungkan endek di Paris Fashion Week, tambah Surya, tiba-tiba antusiasme berburu endek menggebu-gebu. Sebenarnya, motif-motif yang dipesan Christian Dior merupakan motif-motif tradisional yang diwarisi para perajin Bali secara turun-temurun. Motif-motif seperti yang dipesan Dior dikerjakan juga oleh para perajin lain yang tidak bernaung di bawah Putri Ayu. ”Jadi, ini warisan dari leluhur kami,” kata Surya.
Baca juga: Endek Dior nan Magis
Ketua Dekranasda Bali Putri Suastini Koster menyebut kehadiran Dior sebagai musim hujan di bulan Juni. Meski gerimis, sangat berarti bagi kebangkitan para perajin di desa-desa. Apalagi, katanya, Gubernur Bali I Wayan Koster kemudian menyambungnya dengan menerbitkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kain Endek Bali/Kain Tenun Tradisional Bali pada Februari 2021. ”Jadi, mengangkat citra kain tradisional Bali, termasuk endek berjalan simultan,” ujar Putri.
Surat edaran gubernur mewajibkan para ASN menggunakan pakaian berbahan endek setiap hari Selasa dan mengimbau kepada masyarakat, termasuk perkantoran swasta, untuk menggunakan hal yang sama. Dua hal ini, menurut Putri, telah membangkitkan animo masyarakat untuk menoleh kain tradisional.
”Tetapi, mohon gunakan kain endek yang diproduksi para perajin di kampung. Jangan menggunakan endek tiruan buatan mesin yang murah, tetapi kualitasnya kurang bagus,” kata Putri.
Buruan perancang
Sejak Dior memperkenalkan endek ke panggung dunia, kata Puspita, rumah tenun yang ia kelola kewalahan menerima pesanan dari berbagai kalangan.
”Belakangan datang juga pesanan dari perancang di Jerman dan Jepang, tinggal deal dan produksi,” katanya.
Selain itu, para perancang di Tanah Air juga berlomba-lomba menggunakan kain endek sebagai dasar merancang busana. ”Mereka menyebutnya sebagai endek Dior,” kata Puspita.
Sejak itu pula, kata Masri, penjaga stan Putri Ayu di pameran Industri Kecil dan Menengah (IKM) dalam rangka Pesta Kesenian Bali (PKB), 12 Juni-12 Juli 2021, semua pengunjung bertanya tentang endek Dior. ”Semua datang dan tanya endek Dior. Harganya masih tetap sama, Rp 300.000 per potong atau sama dengan 2,5 meter,” katanya.
Ajang seperti wimbakara (lomba) desain dan peragaan busana yang juga diselenggarakan dalam rangka PKB, Minggu (20/6/2021), banyak mengaplikasikan kain tradisonal seperti endek untuk pakaian kerja, busana kasual, dan busana pesta. ”Endek memiliki keistimewaan dibandingkan dengan kain tradisional lain,” kata Ketua Dewa Juri Lomba Busana PKB Tjok Istri Ratna Cora, yang juga Ketua Jurusan Desain Mode Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Kain tradisional seperti endek, kata Ratna, memiliki ratusan bahkan ribuan motif yang berbeda-beda di setiap daerah. Hampir semua kabupaten di Bali memiliki ciri khas motif kain endek. Dari sisi materialnya, hampir semua endek menggunakan benang katun dan sutera. ”Oleh sebab itum nyaman dipakai sehari-hari,” kata Ratna.
Baca: Menjaga Kebanggaan terhadap Kain Tenun Endek Bali
Selain itu, tambah Ratna, seperti juga songket Bali, endek juga memiliki dimensi sejarah yang kaya. Menurut beberapa referensi, kain ini sudah dikenal sejak pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Kerajaan Gelgel Klungkung, Bali sekitar abad ke-16. Pada saat itu, kain endek digunakan dalam berbagai fungsi, termasuk fungsi ritual.
”Mungkin karena faktor Dior, surat edaran gubernur, dan dimensi sejarah yang kaya membuat endek mudah diaplikasikan untuk berbagai kepentingan, termasuk di panggung dunia,” kata Ratna.
Gairah mengonsumsi kain endek sebagai bagian dari cara dan etika berbusana mengimbas sampai butik-butik serta pusat penjualan kain di Pasar Kumbasari. Setiap hari di pasar yang terletak di sisi Tukad, Badung, itu selalu dipenuhi oleh para konsumen yang mencari kain endek.
”Turis-turis juga banyak yang cari endek, katanya buat baju atau sarung bantal,” kata Luh Sri, penjaga toko kain tradisional di Pasar Kumbasari, Denpasar.
Umumnya, tambah Sri, pertama-tama para konsumen bertanya tentang kain endek Dior. ”Kalau ndak ada, mereka mau endek lain. Kan sama saja sebenarnya, tetap endek juga. Soalnya sekarang sulit cari endek Dior,” kata Luh Sri. Menurut beberapa pedagang lain, sejak awal tahun 2021 endek Dior sudah sulit dicari di pasaran. Mereka menduga para penenun kewalahan membuat kain endek motif Dior karena permintaan yang begitu banyak.
Nyoman Ayu Lestari yang menjaga butik di ruas Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, mengatakan, banyak konsumen lokal mulai menggunakan endek sebagai bahan dasar pakaian, seperti kemeja, blus, jas, atau outer. Bahkan, ada yang dijadikan celana pendek dan tas. ”Tadinya, kan, cuma dipakai kain seperti batik,” kata Ayu.
Selain baju adat untuk upacara adat seperti ke pura, butik-butik yang menjamur di sisi-sisi jalan kota Denpasar, kata Ratna Cora, sebenarnya sejak lama memajang endek divariasikan dengan batik. Dulu, umumnya endek hanya digunakan sebagai kamben yang dililitkan dari kaki sampai pinggang. Sejak beberapa tahun terakhir mulai dipakai sebagai kemeja dan blus. ”Cuma kesannya formal, seperti pegawai kantoran,” katanya.
Apa pun untung dan ruginya, campur tangan Christian Dior telah membuat kepercayaan diri para penenun di kampung-kampung semakin tebal. Bahwa hasil tenunan benang mereka helai demi helai, selama berbulan-bulan, telah mendunia dan diminati oleh banyak kalangan dari segala lapisan.
Tenun tradisional, kata Ratna, sebaiknya tak hanya dipandang sebagai kain, tetapi warisan intelektual dari para leluhur Bali. Di dalamnya ada kisah dan rajutan jati diri yang semakin mengukuhkan keberadaan kita dalam pergaulan internasional.