Sejumlah sentra penjualan buku bekas yang dulu ramai pengunjung kini kondisinya merana. Paduan antara minat baca yang rendah, disrupsi teknologi digital, dan pandemi membuat sentra buku bekas tertekan.
Oleh
Elsa Emiria Leba dan Machradin Wahyudi Ritonga
·6 menit baca
Sempat berjaya di era 80-90-an, perburuan buku-buku bekas di Kota Bandung kini mulai terlupakan. Yang tersisa sekarang tinggal segelintir pedagang dan sedikit pelanggan lama yang masih setia mengais ilmu pengetahuan di antara tumpukan buku. Pelanggan baru? Hampir tidak ada. Kebanyakan orang sekarang lebih sibuk main handphone daripada baca buku, kata beberapa pedagang dengan nada putus asa.
Ntis Sutisna (66) baru membuka kios kayu kecil berukuran 1,5 x 2 meter setelah lewat pukul 10.00 di Pasar Cihaurgeulis, Selasa (15/6/2021). Kios Buku Persada Indah milik Ntis itu adalah satu dari dua kios buku bekas yang tersisa di sana. Dulu, tahun 1990-an, kata Ntis, ada sekitar 60 lapak buku bekas di Cihaurgeulis. Beberapa tahun terakhir ini, satu per satu pedagang buku menghilang.
”Ada yang pindah, ada yang menyewakan lapaknya ke pedagang lain. Ada juga yang tidak memperpanjang sewa. Mungkin mereka merasakan susahnya berjualan buku di zaman sekarang,” kata Ntis.
Ntis pun merasakan hal yang sama. Pembeli semakin merosot, bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi. ”Yang masih mencari buku ke sini tinggal mahasiswa. Kalau kolektor atau penggemar buku sudah sangat jarang datang ke sini,” tambahnya.
Menurunnya jumlah pembeli membuat pendapatan Ntis terjun bebas. Kadang dalam sehari, ia sama sekali tidak mendapatkan uang karena tidak ada satu pun buku yang terjual. Agar tetap ada pemasukan, ia berjualan tisu.
Pandemi Covid-19 yang melanda sejak Maret 2020 membuat Ntis makin kerepotan lantaran pembeli potensialnya, yakni mahasiswa, menghilang. Kendati demikian, ia tetap memilih bertahan. ”Saya tetap bertahan berjualan buku karena merasa ini bentuk pengabdian. Selama ini saya sudah mendapatkan banyak keuntungan di masa-masa jaya. Sekarang di saat redup, saya ingin tetap bertahan meski yang lain sudah tutup,” kata Ntis.
Di Jalan Cikapundung, Kota Bandung, keriuhan orang-orang yang jual-beli buku juga sudah lama menghilang. Puluhan lapak buku bekas yang dulu memenuhi jalan sepanjang 180 meter itu hanya tersisa hitungan jari. Makmur (59) adalah salah seorang pedagang buku bekas di sana yang masih tersisa di sana. Laki-laki asal Cirebon itu, mengaku telah berjualan buku bekas di Cikapundung sejak awal 1980-an.
”Masa-masa jayanya itu tahun 1980-1990-an. Setiap akhir pekan pasti di sini ramai. Ada yang mencari buku, atau ada yang sedang jalan-jalan,” cerita Makmur. Jalan Cikapundung termasuk salah satu destinasi wisata di Kota Bandung sehingga banyak pengunjung datang ke sana setiap akhir pekan.
Namun, itu semua tinggal kenangan. Sejak masyarakat keranjingan telepon pintar, lanjut Makmur, jumlah pembeli buku makin berkurang. ”Masyarakat sekarang lebih senang main ponsel daripada baca buku. Ya sepuluh tahun terakhir ini sudah jarang yang mencari buku, apalagi saat pandemi sekarang orang takut ke mana-mana,” ujar Makmur.
Meski pembeli berkurang, Makmur bertekad tetap bertahan semampunya. ”Kalau dipikir-pikir, berjualan buku sekarang untungnya sangat sedikit. Anak-anak saya sudah meminta saya berhenti jualan buku. Tetapi, saya tidak bisa, saya merasa ini tanggung jawab saya untuk menjual buku kepada para pembaca,” ujarnya.
Surutnya keriuhan jual beli buku di Cikapundung tidak hanya diratapi pedagang, tapi juga pelanggan yang tinggal segelintir. ”Sejak lima tahun lalu, semuanya jadi sulit. Kadang saya tidak mendapatkan buku karena lapaknya yang sedang tutup. Bahkan langganan saya sudah lama tidak berjualan, padahal dia dulu sering sediakan buku-buku yang bagus,” ujarnya Dadang (59) yang rajin belanja buku bekas di Cikapundung sejak 20 tahun lalu.
Dia tertarik pada arsitektur dan desain. Yang bekas ataupun yang baru kalau menarik perhatiannya akan dia beli. Hari itu, Rabu (16/6/2021), ia membolak-balik majalah desain grafis di sebuah lapak pedagang buku bekas. Namun, ia tak jadi membeli dan berjalan tanpa mendapatkan apa yang ia cari.
Ia bilang, perburuan buku bekas di Kota Bandung sudah tidak menarik lagi. Pasalnya, lapak-lapak buku di Cikapundung, Palasari, ataupun Cihaurgeulis makin sedikit. Buku yang ditawarkan pun jauh berkurang.
Di Pasar Buku Palasari, Bandung, para pedagang juga menghadapi tantangan yang amat berat. Sudah kehilangan banyak pelanggan, mereka masih dihantam pandemi Covid-19. Akibatnya, banyak pedagang buku di pasar itu menutup kiosnya. Di antara puluhan kios buku di pasar itu, Minggu (13/6/2021) siang, hanya sekitar separuhnya yang tetap buka. Pengunjung yang datang saat itu bisa dihitung jari. Lebih banyak pedagangnya daripada pembelinya.
Meskipun sepi, Edie Kusnadi (48) memilih tetap membuka kios buku TB Rani HG, miliknya. Siang itu, ia menata aneka buku bekas yang berhasil ia kumpulkan. Sejauh ini, Edie yang berdagang di sana sejak 2006 masih bisa mendapat penghasilan dari dua kios miliknya dan satu kios milik orang lain yang bukunya ia pasok. Ia mengaku mendapatkan buku dari sekitar 100 tukang loak di Dago, Gedebage, Ciwastra, dan lain-lain.
Dindin Sadeli (33), pedagang di Palasari lainnya, mengatakan, pandemi tidak hanya memangkas pengunjung, tapi juga penyuplai buku bekas. Akibatnya, pendapatan dia dari bisnis buku bekas merosot tajam dari Rp 2 jutaan per hari menjadi Rp 100.000-Rp 150.000. Ketika pasar harus tutup untuk mencegah penyebaran Covid-19, praktis ia tidak mendapat pemasukan sama sekali.
Pasar daring
Tanpa ada pandemi, lanjut Dindin, penjualan buku bekas di kios-kios fisik sudah lama merosot karena harus bersaing dengan penjualan buku secara daring. Platform daring, menurut Dindin, kadang menawarkan harga buku yang tidak masuk akal murahnya. Meski pada kenyataannya, yang dijual sebagian fotokopian. Praktik semacam itu tentu saja mematikan pedagang buku bekas lainnya.
Di sisi lain, orang-orang yang dulu biasa blusukan untuk berburu bekas di lapak-lapak buku bekas kini mulai nyaman membeli buku secara daring. ”Sekarang saya cari buku di online karena praktis. Beberapa pelapak itu ada yang dari Malang, Bogor, dan Bandung. Kadang juga ditawari buku lewat pesan teks di Whatsapp. Tetapi kalau lewat online memang harus cek dulu kalau itu buku asli atau tidak,” kata Wawan Setiawan, penggemar buku lawas.
Dindin pernah mencoba berjualan buku bekas secara daring. Tetapi, ia merasa cara itu terlalu ribet karena ia jarang memegang ponsel saat menjaga toko. Ia pun beralih berjualan secara fisik di kiosnya, bagaimanapun riuhnya jual beli secara daring.
Tidak seperti Dindin, sebenarnya banyak pedagang buku bekas yang bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital. Ependi Simanjuntak alias Ucok adalah salah satunya. Ucok yang lebih dari 20 tahun berjualan buku bekas, kini berjualan lewat dua jalur sekaligus, yakni daring dan luring. ”Kalau sekarang lebih banyak daring. Pasarnya jauh lebih gede,” kata pemilik toko buku bekas Guru Bangsa di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Untuk menjangkau pembeli, cara Ucok berjualan berubah. Setiap ia memperoleh pasokan buku bekas, ia langsung memilahnya dan memotret sampulnya satu per satu. Hal itu tampak ia lakukan Selasa (15/6/2021) malam. Ada dua kardus besar buku yang ia potret sampulnya. Foto buku itu sebagian ia unggah melalui Facebook, sebagian lagi lewat situs perdagangan daring. Calon pembeli yang berminat dengan buku yang ia unggah di Facebook tinggal memberi tahu di kolom komentar setiap unggahan. Mereka lalu bayar dan Ucok mengirimnya lewat paket.
Ucok mengatakan, cara berjualan buku bekas lewat daring memang agak ribet. Ia harus setiap hari mengunggah buku-buku dagangannya, memeriksa telepon pintarnya setiap saat, dan mengatur pengiriman buku. Selain itu, ia mesti mengenali karakteristik pelanggannya di pasar daring dan di Facebook yang ternyata berbeda. Pada saat yang sama, ia mesti melayani dan membina hubungan baik dengan pelanggan lamanya yang masih setia datang ke kiosnya di Ciputat.
”Zaman memang sudah berubah, dan kitanya juga mesti menyesuaikan dong, termasuk pelanggan. Sekarang kalau ada pelanggan mengeluh karena sudah jarang kebagian buku bagus di toko (fisik) saya, saya bilang coba belinya di toko buku virtual saya,” kata Ucok.