Lika-liku Perburuan Buku
Setiap pemburu buku punya cara sendiri untuk mendapatkan buku bekas yang bernilai tinggi. Ada yang memanfaatkan petugas keamanan, mahasiswa indekos, hingga tukang kebun.
Persaingan dalam berburu buku bekas ternyata sangat ketat. Para pemburu buku biasanya punya trik tersendiri untuk mendapatkan buku bekas yang punya nilai tinggi. Ada yang membuat jaringan dengan petugas keamanan dan tukang kebun di kompleks-kompleks perumahan, kolektor barang antik, hingga mahasisa kos-kosan.
Di kalangan pedagang buku bekas, Ependi Simanjutak alias Ucok diberi julukan ”tukang kuras buku bekas”. Julukan itu diberikan karena ia sering sekali mendapat buku hingga bertruk-truk dari banyak rumah pejabat. Bagaimana Ucok tahu ada keluarga pejabat yang membuang buku dalam jumlah banyak?
Ucok yang telah menjadi pedagang buku selama 20 tahun lebih menceritakan, ia selalu satu langkah di depan para pemburu buku bekas lainnya karena punya jaringan dengan petugas keamanan, tukang kebun, dan tukang sampah di kompleks petinggi dan pejabat kampus sejak lama. ”Kalau mereka tahu ada keluarga mantan pejabat yang buang buku, mereka langsung kontak saya. Saat itu juga saya berangkat,” ujar Ucok, Selasa (16/6/2021) di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Saya pernah dapat satu gerobak besar buku milik Aidit dari tukang loak di Kemang tahun 1998. Merinding saya Bang, bukunya bagus-bagus semua, diberi cap dan nomor seri.
Dalam beberapa kali pertemuan dengan Kompas, Ucok memang sering mendapat telepon dari jaringan untuk mengambil buku di suatu tempat. Setelah itu ia bergegas pergi dengan sepeda motornya. Buat dia, sekecil apa pun informasi soal buku bekas harus ia cek. ”Saya pernah dapat satu gerobak besar buku milik Aidit dari tukang loak di Kemang tahun 1998. Merinding saya Bang, bukunya bagus-bagus semua, diberi cap dan nomor seri,” katanya.
Ucok setiap hari setidaknya pegang uang Rp 10 juta untuk jaga-jaga jika ada banyak buku bekas yang perlu ia borong. Rekor dia sehari mengeluarkan duit Rp 25 juta untuk memborong beberapa truk buku bekas dari rumah seorang mantan pejabat. Buku-buku yang ia peroleh, ia jual kembali di toko buku Guru Bangsa miliknya di dekat Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat dan pasar daring. Sebagian lagi ia pasok ke sejumlah pedagang buku bekas di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia.
Milki Amirus Sholeh, mahasiswa S-2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, punya trik sendiri untuk mendapatkan buku bekas. Selain berburu di toko buku bekas dan lapak tukang loak, ia juga berburu buku di indekos mahasiswa. ”Biasanya setelah lulus mahasiswa perantau, kan, pulang kampung. Nah, sebagian bukunya tidak dibawa,” ujar Milki.
Dia mengaku pernah mendapat empat kardus berisi 300-an buku hanya dengan membayar Rp 320.000 pada 2014. Padahal, dengan uang sebesar itu, ia hanya bisa membeli 6-7 buku baru. ”Jadi kalau dapat buku bekas yang bagus-bagus, saya seperti dapat rezeki gede. Uang bulanan kadang habis buat beli buku bekas dan saya memilih puasa, enggak makan,” ujarnya.
Dari perburuan buku yang ia lakukan sejak 2014, ia membanggakan buku tulisan Kim Il Sung, pemimpin besar Korea Utara yang berkuasa dari 1947 hingga meninggal tahun 1994. Buku yang hanya belasan halaman itu, ia peroleh di tukang kardus bekas pada 2016. Isinya pokok-pokok ideologi negara komunis Korut.
”Buku itu sempat ditawar Rp 4 juta. Tapi saya enggak akan jual. Ini koleksi yang enggak akan bisa saya dapat lagi,” tambah Milki yang mengoleksi 3.000-an buku.
Komik langka dalam karung
Di Bandung, Deni Rachman, pendiri Lawang Buku, berburu buku lawas yang terbit antara tahun 1800-an dan 1960-an ke tukang loak, kios buku, atau penerbit yang mau tutup di kota-kota. Namun, belakangan ia lebih mengandalkan kenalannya yang menjadi kolektor. Dari mereka, Deni pernah mendapat koleksi komik pahlawan super langka dalam karung dengan total harga Rp 3 juta pada 2017. Satu jilid komik bisa dia jual seharga Rp 500.000 per buah.
Ichwan Azhari, sejarawan yang juga aktivis penyelamat arsip sejarah di Medan, juga mengandalkan kolektor dan toko barang antik untuk mendapatkan manuskrip. ”Saya tak mau mengulangi kesalahan orang Depag yang mendatangi masjid dan pesantren. Tidak ada itu naskah di sana!” katanya.
Jadi jangan cari naskah di tempat aslinya, pasti tidak ada. Contoh, manuskrip Babussalam ada di Medan, bukan di Barus lagi.
Ichwan banyak mencari manuskrip penting terkait Sumatera ke Malaysia karena banyak naskah penting dibawa ke sana. Naskah tentang Sumut masuk ke Malaysia lewat Banda Aceh, Singkil, dan Medan. ”Jadi jangan cari naskah di tempat aslinya, pasti tidak ada. Contoh, manuskrip Babussalam ada di Medan, bukan di Barus lagi,” ujarnya
Dari perburuan bertahun-tahun, Ichwan mendapatkan puluhan manuskrip yang ia nilai sangat penting untuk mengetahui sejarah perkembangan Islam di Sumatera. ”Saya menemukan naskah mantik yang di dunia hanya ada tiga, yakni di Teheran, Perpusnas, dan Medan. Dahsyat, kan?”
Rachmat Taufiq Hidayat, Direktur Pustaka Jaya yang juga penggemar buku, sejak 1982 sampai sekarang masih rajin berburu buku di Pasar Buku Palasari, Cikapundung, dan Jalan Dewi Sartika, Bandung. Kadang ia mencari buku di pasar buku di Belanda, Turki, Jerman, dan Uni Emirat Arab.
Dari hasil perburuannya, ia menemukan buku langka berusia 150 tahun tentang gunung-gunung di Bandung hasil penelitian sarjana Belanda dan buku berusia 200 tahun tentang sastra dalam bahasa Belanda. Rachmat juga menyimpan terjemahan surat RA Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang dalam bahasa Sunda oleh R Satjadibrata.
Wawan ”Hawe” Setiawan, budayawan Sunda, sejak 1986 rajin berburu buku bekas di Pasar Buku Palasari, Cikapundung, dan sentra buku bekas lainnya di Kota Bandung. Dari kios-kios buku bekas itu, ia bisa mendapatkan buku unik yang tak dijual toko buku besar, seperti buku tentang Franz Wilhelm Junghuhn, Soekarno, dan Joseph Stalin. Ketika kuliah, ia bahkan bertransaksi sembunyi-sembunyi untuk membeli buku Pramoedya Ananta Toer layaknya membeli narkoba. Saat itu, rezim Orde Baru melarang warga membaca buku-buku kiri.
”Sekarang saya cari di online karena praktis, seperti di Bukalapak dan Tokopedia. Beberapa pelapak itu ada yang dari Malang, Bogor, dan Bandung. Kadang juga ditawari lewat pesan teks di Whatsapp. Tetapi kalau lewat online harus cek dulu bukunya asli atau tidak,” kata Hawe, Bandung.
Seiring perkembangan teknologi digital, lokasi perburuan buku ikut bergeser ke pasar daring. Akibatnya, sentra-sentra buku bekas seperti di Blok M, Jakarta; Palasari, Cikapundung, Cihaurgeulis, dan Cicadas; Bandung, yang menjadi andalan mahasiswa dan pemburu buku bekas terutama pada era 80-90-an, berangsur ditinggalkan. Pandemi Covid-19 membuat situasi makin buruk.
Tengoklah kios-kios di Pasar Cihaugeulis. Kini, hanya tersisa dua toko buku bekas. Salah satunya milik Ntis Sutisna (66) yang telah berjualan buku di sana sejak 1982. Menurut Ntis, penjual buku di pasar itu sudah lama berhenti jualan karena kehilangan pelanggan. ”Sekarang tinggal mahasiswa yang masih mencari buku, kalau kolektor atau penggemar buku sudah sangat jarang,” ujarnya.
Makmur (59), salah satu pedagang buku yang masih bertahan di Cikapundung, mengatakan, jumlah pedagang buku bekas di daerah itu berkurang drastis dalam beberapa tahun terakhir, dari puluhan menjadi enam orang saja. Sebagian besar pembeli menghilang sejak telepon pintar datang. Ia bilang, orang zaman sekarang lebih senang main ponsel daripada baca buku.
Di Jalan Cikapundung, keriuhan orang berburu buku tak terlihat lagi, bahkan jauh sebelum pandemi. ”Sejak lima tahun lalu, semuanya jadi sulit. Kadang saya tidak mendapatkan buku, kadang lapaknya yang sedang tutup. Pedagang langganan saya juga sudah lama tidak berjualan, padahal dia dulu sering sediakan buku-buku yang bagus,” ujar Dadang yang telah berburu buku di sana sejak 20 tahun lalu.
Pagi itu, Selasa (15/6/2021), Dadang menyusuri jalan sepanjang lebih kurang 180 meter untuk berburu buku bekas tentang desain yang amat ia gemari. Namun, ia tak mendapatkan apa yang ia cari.
Makmur berujar, dalam 10 tahun terakhir, terutama saat teknologi digital di ponsel pintar dinikmati khalayak, pasar ini mulai ditinggalkan penggemarnya. Seiring berjalannya waktu, para pembeli pun perlahan menyusut. ”Sekarang orang-orang lebih suka bermain ponsel. Buku-buku mulai ditinggalkan. Tetapi saya tetap berjualan di sini karena buku-buku ini bisa menambah ilmu bagi yang membutuhkan,” ujarnya.
Lantas terlibat perdebatan yang argumennya bukan didasari ilmu yang digali dari buku, melainkan pesan-pesan yang berseliweran di media sosial. Apa mau dikata! (MHF/RTG)