Fenomena BTS Meal, Bertemunya Kekuatan Industri dan Kekuatan Cinta Penggemar
Ada beberapa kekuatan industri budaya populer yang berperan di balik fenomena hebohnya BTS Meal. Salah satunya kekuataan cinta para BTS Army.
Oleh
Elsa Emiria Leba, Wisnu Dewabarata, Budi Suwarna
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di balik kehebohan aksi borong BTS Meal di gerai-gerai McDonald’s, ada beberapa kekuatan yang beroperasi sekaligus. Ada kekuatan industri budaya populer dari Barat dan Timur yang bersekutu, media sosial, dan ”kekuatan cinta” penggemar BTS. Ini fenomena industri yang akan terus diulang di tengah masyarakat konsumen.
Rabu (9/6/2021), BTS Army—sebutan penggemar BTS—di Indonesia dan di beberapa negara lain menyambut peluncuran paket Chicken McNuggets yang diberi nama BTS Meal alias santapan BTS dengan gegap gempita. Mereka menyerbu puluhan gerai McDonald’s atau memesan lewat layanan pesan makanan secara daring. Fenomena ini sempat jadi perhatian beberapa media di dunia. Pasalnya, peluncuran BTS Meal di negara lain sebelumnya tidak seheboh di Indonesia, setidaknya hingga saat ini.
Di antara orang-orang yang mengantre untuk membeli BTS Meal, ada Tria Dianti yang mengaku telah menanti-nantikan BTS Meal sejak produk kolaborasi antara BTS dan McDonald’s itu diumumkan tiga bulan yang lalu.
Sebagai orang yang menahbiskan diri sebagai BTS Army sejak 19 Agustus 2020, ia merasa harus mencicipi BTS Meal. Alasannya, tujuh personel BTS suka mengudap saus yang dipakai di produk BTS Meal. ”Bisa ikut mencicipi makanan kesukaan mereka saja sudah senang banget,” ujar Tria, Kamis (10/6/2021), di Jakarta.
Ia membeli tujuh paket BTS Meal sesuai dengan jumlah personel BTS sebagai tanda cinta pada BTS. Sebelumnya, ia juga telah membeli aneka cendera mata BTS yang jika ditotal sekitar Rp 3 juta. Angka yang menurut dia kecil dibandingkan uang yang dikeluarkan penggemar Army lainnya.
Di Tangeran Selatan, Banten, Thereseia Benita (28) membeli dua BTS Meal melalui McDelivery dan GoFood lantaran penasaran dengan kehebohan orang menyambut BTS Meal. ”Aku pesan dua paket, satu di McDelivery yang lancar dan satu di GoFood. Aku penasaran karena di luar pada heboh, jadi ingin lihat bagaimana bentuk kolaborasi mereka,” kata Theresia, Jumat (11/6/2021).
Menurut dia, rasa BTS Meal sebenarnya sama saja dengan versi biasanya. Yang membedakan hanya saus dan tentu bungkusnya yang dibubuhi citra BTS, boyband kesayangannya. Baginya, membeli BTS Meal adalah salah satu cara dia untuk menunjukkan rasa sukanya kepada BTS.
Sejak menggemari BTS pada 2019, ia secara teratur membeli cendera mata BTS, mulai mug, alat penghangat tangan, tumbler, vinyl lagu ”Butter”, album, dan sekarang BTS Meal yang totalnya berniai sekitar Rp 3 juta. ”Beli barang-barang itu karena ingin dukung BTS, ingin ada kenang-kenangan, dan menjadi bagian dari sejarah. Juga sebagai pengingat, ’Oh dulu waktu muda gue pernah jadi Army yang bisa diceritakan ke anak cucu’,” ujarnya.
Lain halnya dengan Nisa Sabrina (30) di Cilegon, Banten. Ia mengaku bukan Army, tetapi idolanya adalah artis Thailand, Up Poompat, menyukai McNuggets. Pada saat yang sama, ia melihat kehebohan peluncuran BTS Meal di media sosial dari teman-temannya yang merupakan Army. Akhirnya Nisa yang menggemari K-pop sejak 2008 ikut memesan BTS Meal lewat GoFood.
Pengalaman menikmati BTS Meal lantas ia unggah di Instagram. Setelah ia dapat banyak saran dari teman-temannya untuk menyimpan bungkus BTS Meal karena bisa dijual lagi dengan harga tinggi. Sayang, ia telanjur membuang kemasan BTS Meal itu.
Di Jakarta, Rachael Defandi (27) ikut membeli BTS Meal untuk dirinya dan sepupunya lewat jasa Shopee Food. Ia mengaku membeli BTS Meal karena menghargai kerja keras, sikap rendah hati, dan sopan santun personel BTS.
”Saya membeli BTS Meal bukan untuk menunjukkan identitas sebagai penggemar sejati. Saya bukan penggemar fanatik, tapi kalau dengan menyukai karya mereka saya disebut sah sebagai Army, ya senang saja,” ujar Rachael yang mengaku sebagai penggemar baru BTS.
Jadi yang dikonsumsi itu citra BTS. Sebagian penggemar BTS memerlukan citra itu untuk ditunjukkan di media sosial, untuk menegaskan bahwa mereka mencintai BTS.
Dari empat penggemar itu jelas bahwa konsumen membeli BTS Meal bukan lantaran lapar atau benar-benar ingin mencicipi chicken nuggets, tapi ingin mengonsumsi citra BTS yang ditempelkan dibungkusnya.
”Jadi yang dikonsumsi itu citra BTS. Sebagian penggemar BTS memerlukan citra itu untuk ditunjukkan di media sosial, untuk menegaskan bahwa mereka mencintai BTS,” ujar Shuri Mariasih Gietty Tambunan, dosen bidang Cultural Studies, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, yang meneliti soal K-pop.
Kekuatan yang bersekutu
Gietty melihat, fenomena orang rebutan BTS Meal sebagai fenomena industri budaya pop. Dalam kasus BTS Meal ada dua kekuatan industri global yang bersekutu, yakni McDonald’s sebagai wakil dari kekuatan industri gaya hidup Barat, yang sedang berusaha mempertahankan hegemoninya selama puluhan tahun lewat makanan ala Amerika, dan industri K-pop, yang dua dekade terakhir muncul sebagai kekuatan hegemonik baru dalam dunia gaya hidup melalui pop korea dan turunannya. Keduanya sama-sama dirancang sebagai sistem yang mencetak gaya hidup.
”K-pop pada dasarnya adalah idol making system (sistem penghasil idola) dan manufacturing star (produsen bintang). K-pop tidak hanya memproduksi idola yang bisa menyanyi, tetapi juga bermain dalam drama Korea, bintang iklan, dan jadi juru bicara untuk isu-isu global. Citra-citra mereka lantas dikemas dalam aneka produk, termasuk cendera mata. Jadi konsumen K-pop bisa mengonsumsi banyak hal. Ini strategi yang sebelumnya sukses dijalankan industri budaya populer oleh perusahaan-perusahaan global AS,” paparnya.
Industri K-pop dan McDonald’s relatif menggunakan modus yang sama dalam membangun industrinya, yakni sama-sama memproduksi produk dan citra dengan sistem yang terpusat dan terstandardisasi secara global. Produknya sama-sama dirancang sedemikian rupa sebagai produk transkultural yang bisa diterima di berbagai negara yang kulturnya berbeda-beda. Nah dua, kekuatan ini bersatu dalam BTS Meal.
”Ini menarik karena wakil industri budaya pop timur berkolaborasi dengan wakil industri budaya Barat. Dalam kolaborasi itu, saya melihat industri budaya popular Timur (Korea) sedang membantu Barat untuk mempertahankan hegemoninya yang mulai goyah di industri gaya hidup global,” ujarnya.
Kekuatan lain yang berperan adalah media digital. Menurut Gietty, dari penelitian tentang fandom BTS, para peneliti melihat BTS berhasil memanfaatkan media digital untuk membangun intimasi dengan penggemar mereka di seluruh dunia. BTS melakukan apa saja, pasti ada kontennya. Dengan begitu, penggemar merasa dekat dengan BTS karena bisa mengikuti mereka dari waktu ke waktu.
Pesan-pesan yang dipilih BTS pun mewakili perasaan penggemarnya di seluruh dunia. BTS bersama Unicef, misalnya, mengampanyekan ”Love Your Self” di saat banyak orang di dunia mengalami persoalan kesehatan mental, terlebih saat pandemi. Lirik-lirik lagunya empatik dan menyemangati orang agar bangkit dari keterpurukan. Selain itu, BTS juga rajin terlibat dalam kegiatan-kegiatan amal.
”Itu semua menginspirasi penggemar BTS untuk melakukan hal yang sama. Jadi, jangan heran kalau BTS Army di Indonesia mengikuti langkah BTS dengan menggalang donasi bagi abang-abang ojol yang susah payah antre mendapatkan BTS Meal untuk mereka,” tambah Gietty.
Selain itu, lanjut Gietty, kekuatan penggemar tidak bisa diabaikan. Dia melihat, penggemar BTS dan K-pop secara umum bukanlah tipe konsumen yang pasif, histeris, dan menerima apa saja yang disodorkan oleh industri. Mereka ini tipe penggemar yang selain punya kekuatan sebagai konsumen, tapi juga aktif dalam produksi dan reproduksi makna. ”Mereka misalnya membuat konten-konten Youtube yang memanfaatkan citra idola, bahkan bisa menjualnya,” ujar Gietty.
Dalam beberapa kesempatan, penggemar K-pop, termasuk BTS Army, aktif mengartikulasikan aspirasi politiknya. Mereka, misalnya, ikut mengampanyekan penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja pada Oktober 2020 yang gaungnya hingga terdengar di sejumlah negara.
Yang terbaru, ketika publik menyorot kehebohan aksi borong BTS Meal di Indonesia, mereka mampu memunculkan narasi lain, yakni soal donasi untuk para pengemudi ojek daring, yang susah memperjuangkan pesanan mereka. Sebuah narasi yang sedikit banyak membangkitkan simpati publik.
Sekali lagi, ini fenomena industri kapitalis yang tidak bisa dihindarkan. Kekuatan yang memiliki kredo produce produce produce ini, senantiasa akan terus menyodorkan kebaruan dan tren. Jadi fenomena serupa orang rebutan BTS Meal kemungkinan akan terjadi lagi dalam bentuk-bentuk yang berbeda.