Purun Sumsel Didorong Menembus Pasar Mode Internasional
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Pemerintah Norwegia, serta desainer Merdi Sihombing mendorong purun di Ogan Komering Ilur, Sumsel, masuk mode dunia agar kesejahteraan warga meningkat dan konservasi gambut terjaga.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
KAYUAGUNG, KOMPAS — Produk purun danau (Lepironia articulata) di Sumatera Selatan terus didorong kualitasnya agar layak masuk ke pasar mode internasional. Selain ramah gambut, purun juga dapat diolah menjadi produk yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mengelolanya.
”Dengan mengembangkan purun, maka akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Ketika masyarakat sudah sejahtera, kesadaran untuk menjaga lahan gambut akan semakin besar,” ucap Direktur PT Eco Fesyen Indonesia Merdi Sihombing saat menyambangi Desa Pulau Geronggang, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, untuk memantau perkembangan budidaya purun dan juga hasil karya kerajinan tangan di desa tersebut, Senin (7/6/2021).
Sebelum datang ke Desa Pulau Geronggang, perancang busana itu juga telah mengembangkan produk purun di Desa Asia Baru, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Ia memiliki visi untuk mengembangkan produk purun di Indonesia sehingga dapat menembus pasar internasional.
”Pengembangan produk turunan purun merupakan salah satu cara untuk melestarikan lahan gambut yang kian terancam keberadaannya,” kata Merdi.
Menurut Merdi, Desa Pulau Geronggang memiliki beragam kelebihan. Bahan baku purun sangat berlimpah di desa. Tinggal bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakatnya untuk mengelola purun agar tercipta sebuah karya yang bernilai seni tinggi.
”Selama ini, masyarakat di Pulau Geronggang hanya menjadikan purun sebagai tikar saja, padahal purun bisa dikembangkan berbagai macam kerajinan tangan, seperti tas, topi, dan kain tenun,” ucapnya.
Jika sudah menembus pasar internasional, harga sebuah produk turunan purun bisa lebih dari Rp 1,9 juta. Berbeda kalau hanya dijual dalam bentuk tikar yang hanya mencapai Rp 7.000-Rp 10.000 per lembar. (Merdi Sihombing)
Di pasar internasional, ujar Merdi, sudah banyak konsumen yang terpikat melihat produk purun dari Indonesia. Bagi mereka, dengan membeli produk purun, berarti turut berkontribusi dalam pelestarian gambut yang menjadi salah satu komponen penting dalam upaya menekan emisi gas buang di dunia.
Merdi telah menggelar beberapa pameran yang mengedepankan produk purun di sejumlah negara, seperti Jerman, Belgia, dan Norwegia pada 2018-2019.
Namun, untuk bisa menembus pasar mode internasional, ujar Merdi, perlu ada pengembangan produk mulai dari hulu hingga hilir sehingga produk bisa diakui dunia. Misalnya, dalam proses penanaman, perlu skema budidaya untuk tidak merusak lingkungan. Pengelolaannya juga tidak menggunakan bahan kimia. Selain itu, pembagian pendapatan untuk petani juga harus adil.
”Karena bagi konsumen di Eropa, narasi bagaimana produk itu dibuat menjadi perhatian tersendiri. Karena itu, semua proses kerja dengan sistem padat karya ini harus diterapkan secara transparan,” ujar Merdi.
Jika sudah menembus pasar internasional, lanjut Merdi, harga sebuah produk turunan purun bisa lebih dari Rp 1,9 juta. Berbeda kalau hanya dijual dalam bentuk tikar yang hanya mencapai Rp 7.000-Rp 10.000 per lembar.
Karena itu, dengan bantuan dana dari para donor, utamanya Pemerintah Norwegia serta dukungan dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), ujar Merdi, pihaknya akan meningkatkan kapasitas para perajin sehingga tidak hanya menciptkan purun dalam bentuk tikar, tetapi juga bisa dikembangkan hingga ke produk lain.
Selain itu, rumah purun juga akan dibangun sebagai tempat berkarya para warga dan memamerkan hasil buatannya.”Butuh waktu setidaknya lima tahun hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk menciptakan produk purun yang berstandar internasional,” ujar Merdi.
Kepala Desa Pulau Geronggang Syamsul Bahri menuturkan, di desa ini terdapat 1.500 keluarga. Sebagian besar perempuan dari kecil hingga ibu-ibu memiliki kemampuan untuk menganyam purun. ”Kegiatan itu memberikan pendapatan tambahan bagi keluarga di desa ini,” ucapnya. Adapun para laki-laki sebagian besar bekerja sebagai pekebun karet dan sawit.
Hanya saja, memang dibutuhkan dukungan dari semua pihak agar produk buatan masyarakat itu dapat menembus pasar internasional. Selama ini, produk dari warga hanya sampai ke pasar lokal atau domestik di luar Sumatera Selatan. ”Dengan penambahan kemampuan dalam mengelola produk purun, diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat,” ucap Syamsul.
Ancaman monokultur
Direktur Purun Institut Syarifuddin Gusar menerangkan, di Kabupaten Ogan Komering Ilir, hanya ada dua kecamatan yang masih memiliki purun yang cukup berlimpah, yakni Kecamatan Pedamaran dan Pedamaran Timur. Namun, jumlahnya kian terkikis akibat alih fungsi lahan sawit dan karet.
Sebelum tahun 1995, luasan lahan purun di dua kecamatan itu sekitar 10.000 hektar. Kini, keberadaannya kurang dari 1.000 hektar. ”Jika tidak terawat, purun akan hilang berganti dengan perkebunan monokultur,” ucapnya.
Ketika hal itu terjadi, lanjut Syarifuddin, kerajinan tangan dari purun akan kesulitan mendapatkan bahan baku dan bukan tidak mungkin anyaman purun akan menjadi kenangan yang akan sulit ditemui keberadaanya. Karena itu, budidaya purun sangat dibutuhkan untuk menjaga benteng terakhir yang tersisa.
Sekretaris Tim Restorasi Gambut Daerah Sumsel Eko Agus Sugianto mengatakan, lahan gambut di Sumatera Selatan mencapai 1,2 juta hektar, sebagian besar terbilang kritis. Jika tidak dijaga, risiko terbakar sangat besar. Ogan Komering Ilir sendiri merupakan kabupaten dengan lahan gambut terluas, yakni mencapai 750.000 hektar.
Karena itu, pembedayaan ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan gambut sangat penting guna menumbuhkan kesadaran pada masyarakat dalam menjaga lahan gambut mereka. ”Ketika lahan gambut itu memberikan nilai tambah ekonomi, tentu masyarakat dengan senang hati akan merawat dan menjaganya,” ujar Eko.