Perlawanan Lezat Burger Lokal
Jenama-jenama burger lokal terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Dengan percaya diri, mereka melawan dominasi burger produk waralaba asing yang selama puluhan tahun mencengkeram selera pasar lokal.
Hamburger atau kini lazim disebut burger, sejatinya adalah simbol. Setelah puluhan tahun menjadi simbol kapitalis global, burger kini menjadi simbol kebangkitan lokal. Pada setiap gigitan burger buatan anak bangsa yang melesak masuk ke dalam kerongkongan, ada semangat lokalitas yang membumbung tinggi menyerukan genderang perang melawan kapitalis global. Ah betapa lezatnya sebuah perlawanan..
Burger, setangkup roti berisi kombinasi antara lembaran daging sapi, sayuran, saus dan bumbu dulu disebut junk food karena nilai gizinya yang minim. Toh tudingan itu tak membuat burger sepi peminat. Sejak diperkenalkan di Indonesia oleh jaringan waralaba McDonalds lewat gerai pertamanya di Sarinah Jakarta tahun 1991, burger dengan cepat menjadi makanan primadona.
Sebelumnya, tahun 1977 American Hamburger sudah masuk terlebih dahulu ke Indonesia seiring dimulainya proyek globalisasi oleh negara-negara utama kapitalis di seluruh dunia. Lantas, menyusul Arby’s dan A&W yang membuka gerai pertamanya di Jakarta tahun 1985.
Namun, McDonald yang paling berhasil menjadikan burger sebagai bagian dari kebudayaan massa (mass culture) di tengah masyarakat urban Indonesia. Orang berduyun-duyung membeli burger McDonald bukan sekadar untuk mengenyangkan perut, tapi sekalian meneguk gaya hidup urban paling mutahir.
Kesadaran itu, antara lain, dibentuk lewat iklan-iklan burger yang memperlihatkan orang-orang berdasi, perempuan muda berpakaian trendi, dan anak-anak dari keluarga mapan, bahagia menyantap burger di gerai-gerai McDonald di mana saja. Apa pun latar belakang mereka, makanannya burger McDonald.
Seiring waktu, konsumen jenuh juga dengan cita rasa dan pencitraan burger yang cenderung hiper. Iklannya menggambarkan sayuran yang menggiurkan, tapi di dalam burgernya hanya ada selembar selada, 2-3 potong irisan tipis tomat.
Kondisi ini ditangkap oleh para produsen burger lokal yang 5-10 tahun kian menjamur. Setelah era Burger Blenger yang dibesut oleh Erik Kadarman Subarna dan Klenger Burger yang didirikan Velly Kristanti (34) dan Gatut Cahyadi (34), tahun 2016 muncul Flip Burger yang menghadirkan burger gourmet besutan Afit D Purwanto dan Muhammad Abgari.
Afit adalah sosok di balik kesuksesan Holycow Steakhouse by Chef Afit, sementara Abgari adalah sosok dibalik Anomali Coffee dan pemilik Animo Bread Culture. Ibarat oase baru, konsumen pun berduyun-duyun menjajal Flip di resto-resto Flip yang dibuat betah untuk nongkrong. Menunya berupa paket burger atau a la carte, berupa burger dengan tinggi segunung bertumpuk daging, topping (pugasan), dipadu roti brioche yang empuk.
”Saat itu, melihat memang masih ada potensi market yang bisa digarap dari burger ini. Belum ada brand lokal yang ikonik lain dengan kualitas bagus. Masih dikuasai brand luar. Setelah dibahas dan digali lebih dalam, kami bikin Flip Burger dengan sasaran segmennya prime. Istilahnya bikin gourmet burger lebih membumi. Kalau biasanya kan harus ke resto atau kafe mahal,” ujar Afit, Senin (31/5/2021).
Salah satu konsumen Flip Burger, Rangga Putra (35), mengaku senang saat awal Flip buka di Jakarta. ”Suka banget sih. Tadinya, kan, pilihan itu-itu aja, terus makin lama makin kecil pula. Cari yang enak, yang bikin ngiler kayak di luar negeri gitu harus ke resto mahal. Rada males. Pas ada Flip gue ngerasa cocok. Rasanya pas, besarnya puas,” ungkapnya.
Epicentrum
Selera yang mulai terbuka, mengantar konsumen pada petualangan baru. Setelah Flip, Lawless Burgerbar bisa jadi adalah episentrum gegap gempita jenama burger lokal hari ini. Di masa pandemi, seperti Flip yang penjualannya melonjak, Lawless justru membuka empat cabang baru—seluruhnya di tahun 2020. Pengunjung nyaris tak pernah sepi.
Salah satunya di gerai pertama mereka di daerah Kemang. Selasa (1/6/2021) siang, seluruh kursi, dengan pengurangan kapasitas selama pandemi, terisi penuh baik di lantai satu dan lantai dua. Rata-rata pesanan sampai ke tangan pembeli di atas sepuluh menit.
Dulu ada masanya pembeli baru bisa dapat pesanannya dua jam. Antreannya panjang, tapi mereka mau nunggu
”Dulu ada masanya pembeli baru bisa dapat pesanannya dua jam. Antreannya panjang, tapi mereka mau nunggu,” kata Arian Arifin, salah satu pendiri Lawless.
Lawless Burgerbar mulai melayani pembeli September 2018 dari kedai di Kemang. Bendera usaha Lawless dibangun pada 2011 oleh empat sekawan yaitu Arian dan Sammy Bramantyo, Gofar Hilman dan Yusuf Abdul Jamil alias Ucup. Setahun kemudian, Roni Pramaditia bergabung.
Setelah menambah unit usaha bengkel motor modifikasi dan label rekaman di tahun 2013, mereka mendirikan Lawless Burgerbar. ”Awalnya mau meningkatkan kunjungan ke toko (distro). Salah satu idenya membikin tempat nongkrong yang enak, makanan enak, dan memutarkan musik sesuai selera,” kata Roni.
Burger dipilih karena mereka semua pelahap burger, termasuk burger keluaran waralaba multinasional ternama. Lagu pula, kata Roni, di banyak festival musik metal dan rock di luar negeri, umumnya ada kios burger yang juga menjual bir.
Kelima pendiri Lawless lantas mengajak Medhina Purwadi untuk mengurusi produksi. Medhi, tetangga distro Lawless ketika membuka butik sepatu, pernah menjalankan restoran steik. ”Dia chef bertaraf bintang Michelin,” kelakar Arian.
Persaingan burger di Jakarta dan sekitarnya bertambah riuh dengan kehadiran jenama-jenama baru burger lokal. Beberapa di antaranya Belly Bandit, Byurger, Smack Burger, Burger Bener, Burger Bros, Biggies, Dope Burger & Co, dan lain-lain. Belakangan burger lokal asal Bali, 2080 Burger (dibaca Twenty Eighty Burger) ikut nimbrung di pasar burger Jakarta dan sekitarnya.
Setelah sukses membuka gerai di Pecatu dan Canggu, 2080 Burger merambah ke Kemang dan satu gerai baru di Bintaro, Tangerang Selatan. ”Kalau di Bali burger terkenal atau yang besar-besar biasanya yang punya bule. Kami berempat, sebagai orang lokal, enggak mau kalah sama mereka. Melalui kreativitas dan pengalaman, kita ’ngelawan’ mereka,” tutur Heru.
Dari Bandung ada BBQ Mountain Boys Burger (BMBB) yang sebentar lagi juga akan membuka gerai di Jakarta. Di gerainya yang baru dibuka akhir 2020 di kawasan Paskal Hyper Square, Bandung, pengunjung tak pernah sepi. ”Kalau weekend, sehari bisa terjual sampai 5.000 porsi, weekdays setengahnyalah,” kata Andri, manajer operasional BMBB.
Momentum
Handoko Hendroyono, pemerhati jenama lokal, melihat, munculnya beragam merek burger dalam negeri saat ini tak lepas dari momentum. ”Para pembuat (burger) makin sadar dengan detail rantai produksi demi menjaga kualitas. Sementara anak muda yang menjadi audiensnya juga makin membutuhkan itu,” kata salah satu penggagas M-Bloc Space ini.
Kesadaran ini bertolak belakang dengan eforia ketika restoran burger waralaba internasional mulai menancapkan pengaruhnya di tanah air pada dekade 1980-an dan 1990-an. Konsumen melahap begitu saja burger atau menu lain yang disajikan tanpa pernah tahu bahan-bahan yang digunakan dan asal-usulnya. Proses produksi restoran cepat saja waralaba asing memang didesain terpusat dan terstandar secara global. Jadi yang tahu bahan-bahan dan asal usulnya, ya hanya pemilik waralaba.
”Sekarang trennya bergeser. Asal-muasal bahan suatu menu dianggap penting,” kata Handoko.
Sebagaimana burger waralaba, para produsen burger lokal tidak hanya jualan burger tapi juga gaya hidup yang sesuai dengan ”tuntutan” konsumen masa kini, yang sebagian mulai cerewet soal isu kesehatan, lingkungan, hingga tatanan politik-ekonomi global. Jenama burger lokal menjawabnya dengan mengusung narasi baru soal burger sehat sebagai antitesis dari burger waralaba asing yang dianggap junk food alias makanan bergizi rendah. Caranya dengan menyodorkan burger vegan atau burger dengan sayuran lebih banyak, yang ditanam secara organik.
Untuk kepentingan itu pula, beberapa jenama burger lokal mengadopsi satu-dua elemen dalam konsep slow food sebagai antitesis fast food yang merupakan anak kandung kapitalismen global. Lawless dan 2080 Burger, misalnya, memberi kesempatan konsumen mengintip proses meracik burger lewat jendela kaca.
2080 Burger juga memberitahu konsumen asal-usul sayuran organik yang mereka pakai. Untuk gerai di Bintaro, sayuran dipasok dari petani sayur organik di daerah Bogor dan gerai di Bali, sayurannya dipasok petani di Bedugul. Melangkah lebih jauh, Lawless mendeklarasikan bahwa romain lettuce (selada) untuk setiap burger yang dijual di gerai Kemang mereka tanam sendiri.
Para produsen burger lokal juga sadar benar bahwa masyarakat urban datang ke restoran bukan sekadar untuk mengisi perut, tapi mengonsumsi aneka citra yang melekat pada produk yang mereka makan, rancangan desain restoran, suasana gemerlap, pilihan musik, bahkan siapa saja pelanggan yang datang.
Roni Pramaditia, salah satu pendiri Lawless, mengatakan restorannya dirancang sebagai tempat nongkrong anak muda yang enak dengan menu burger yang enak dan sajian musik metal. Secara sadar mereka mencomot nama-nama ”pahlawan metal” mereka dan memelesetkannya sebagai nama menu burger, seperti The Lemmy, Motley Burg, dan Sabbath Burger.
Restoran 2080 Burger di Bintaro juga dirancang sebagai tempat nongkrong, termasuk orang-orang yang baru selesai olahraga dan ingin menyantap burger sehat.
Dengan mengusung narasi dan citra baru, jenama-jenama burger lokal percaya diri menghadapi burger waralaba asing yang puluhan tahun mapan di Indonesia. Fenomena ini mirip dengan kedai-kedai kopi lokal yang percaya diri menantang hegemoni kedai kopi waralaba asing.
Apakah ini sebuah gejala arus balik dalam dunia konsumsi di Indonesia? Kita lihat lanjutannya.