Kearifan Lokal dalam Tumpukan Burger Nabati
Selain diyakini menyehatkan burger nabati juga dianggap ramah lingkungan lantaran tak menggunakan daging ternak, yang dipercaya menyumbang emisi karbon dan berdampak perubahan iklim. Cita rasanya pun tetap enak.
Banyak orang mengidamkan makanan sehat. Apalagi jika penganan yang dimakan terbuat dari olahan serba protein hewani lezat nan melimpah, macam menu populer Hamburger atau burger, yang diyakini berasal dari Negeri Paman Sam.
Hamburger atau burger sendiri sebenarnya menu sederhana. Terdiri dari dua tangkap roti (bun) empuk, dilapisi mayonnaise, dan isi beberapa jenis sayuran macam lettuce, tomat, dan bawang bombay. Untuk isian utamanya, patty atau daging cincang berbumbu dibentuk bulat pipih dan dipanggang di atas api langsung atau wajan panas.
Sayangnya walau popular, menu satu ini dikategorikan sebagai makanan tak sehat alias junkfood. Hal itu lantaran kandungan pattinya yang dinilai lebih banyak mengandung garam, kolesterol jahat, dan lemak jenuh.
Selain itu para pegiat lingkungan hidup juga kerap menyebut konsumsi produk-produk hewani, terutama daging ternak, sebagai sesuatu yang berkontribusi sangat besar pada pemanasan global. Intinya, menjadi karnivor sangat tidak ramah lingkungan.
Kondisi seperti itu kemudian menciptakan kondisi dilematis tersendiri. Akan tetapi dilema macam begitu biasanya juga justru bisa dimanfaatkan dengan menciptakan ceruk pasar potensial, terutama di mata mereka yang jeli memanfaatkan peluang.
Beberapa waktu lalu salah satu franchise restoran cepat saji besar, yang juga lama beroperasi di Indonesia, sudah bergerak cepat. Mereka menjalin kerjasama dengan perusahaan produsen patty berbasis nabati (plantbased patty) dunia.
Daging atau sumber protein hewani diganti dengan bahan-bahan nabati yang dinilai lebih sehat dan ramah lingkungan. Tak hanya para pemain besar dunia, para pemain lokal produsen makanan cepat saji pun tampak tak mau kalah.
Bahkan sejak beberapa waktu sebelum pandemi Covid 19 melanda, sejumlah pengusaha burger nabati macam “Jatuh Cintah” di Jakarta dan “Goodbelly” di Bandung terus mengembangkan varian menu andalan.
Perlu riset
Saat berbincang terpisah dengan masing-masing pemilik, William Andersen (Jatuh Cintah) dan Rhea Laras Thehawijaya (Goodbelly), keduanya mengaku bisa menghabiskan waktu lama meriset satu menu.
Riset terutama terkait bahan baku, bumbu-bumbu, dan bagaimana mengolahnya. Setelah yakin menu tadi diterima masyarakat baru lah mereka memasarkannya.
Bahan pembuat patty daging nabati sendiri diketahui sangat beragam. Mulai dari biji-bijian (lentils), kacang-kacangan, umbi-umbian, beragam jenis jamur, dan juga rumput laut.
Semua bahan diolah sedemikian rupa dengan tambahan garam, beragam herbs dan rempah-rempah. Setiap produsen tentunya punya bahan-bahan, bumbu, dan cara mengolah rahasia produk andalan mereka masing-masing.
Tujuan mereka sama, menghasilkan “daging nabati” dengan cita rasa, aroma, hingga bahkan tekstur serat mendekati produk daging hewani asli, termasuk saat setelah diolah dan dimasak lagi.
Menurut William, Rabu (2/6/2021), beberapa menu burger nabati jagoannya, seperti Shroom dan Port, bahkan membutuhkan waktu riset paling cepat dua tahun.
Seperti namanya, Port Burger, William menggunakan bahan utama jamur jenis Portobello atau juga dikenal dengan nama jamur kancing (champignon). Jamur jenis ini diyakini punya banyak manfaat seperti mampu menurunkan kadar kolesterol, menjaga kesehatan organ jantung, kaya antioksidan, mencegah diabetes, dan baik untuk diet.
Oleh William jamur itu terlebih dahulu diproses selama tujuh hari, dengan cara dicuci dan dikeringkan, termasuk satu hari pengeringan di bawah sinar matahari. Hal itu juga dipaparkannya dalam akun media sosial “Jatuh Cintah”.
“Port burger ini kebetulan produk pertama saya. Ada lagi Rebellion burger, saya pakai campuran daun sayur kol, tahu, dan tepung porang, yang biasa dipakai membuat konyaku. Ada juga patty burger lain saya buat berbahan jamur tiram dicampur beberapa jenis tepung macam maizena, terigu, kentang, dan tepung porang. Tak lupa dibumbui lada, jinten, dan ketumbar,” ujar William.
Lebih lanjut, patty-patty burger olahan William tadi punya cita rasa khas tersendiri. Sebagai pelengkap William juga meracik dan membumbui burger nabati kreasinya dengan saus-saus olahan istimewa, yang tentunya juga berbahan nabati (plantbased) termasuk mayonaise.
Yang lebih menarik lagi, dalam salah satu menu burgernya William mencoba memasukkan unsur kuliner Nusantara, Rendang dari Sumatera Barat. Sebagai pengganti daging sapi, di menu Padang Bae burger itu William menggunakan bahan jamur portobello dan daging buah Nangka. Semua dibumbui rempah-rempah bahan pembuat rendang asli dan juga sambal hijau untuk sentuhan akhir.
Hasilnya lumayan mengejutkan. Walau tak terlalu bertekstur macam serat daging lantaran lebih empuk dan renyah. Akan tetapi sensasi menikmati daging rendang tetap terasa terjaga dengan kehadiran cita rasa bumbu yang kuat serta aromatik khas kuliner “urang awak” itu.
Dari hasil risetnya William juga membuat “tiruan” daging bacon, yang bahkan bentuknya pun menarik lantaran mirip terdiri dari tiga lapisan, kulit, lemak, dan daging. Bahan bacon nabati ini antara lain konyaku, kacang cashew, air beras, dan air gluten. Proses pembuatannya lumayan rumit lantaran masih harus dipanggang selama tujuh jam.
“Biasanya bacon nabati ini saya jadikan tambahan di burger-burger lain untuk memberikan rasa umami. Nanti rencananya saya juga akan jadikan menu baru sendiri,” ujar William.
Pesanan membludak
Setelah setahun berdiri dan memiliki dua gerai di Jakarta, William menutup kedua gerainya tadi lantaran pesanan terlalu membludak sementara jumlah pekerja dan fasilitas dapur tidak memadai. Untuk membuka tempat yang lebih besar lagi dia mengaku masih belum ada rencana.
Saat ini dia lebih memfokuskan diri untuk mengembangkan brandnya sambil berjualan secara daring. Cara seperti itu menurutnya jauh lebih menguntungkan lantaran tak harus selalu mengandalkan bagaimana memasarkan produk sebanyak mungkin namun juga bisa dengan mengandalkan kerjasama kolaborasi atau endorsement.
Sementara itu dari Bandung, gerai burger nabati “Goodbelly” mencoba menawarkan sejumlah pilihan menu menggoda namun diklaim tetap sehat. Saat dihubungi per telepon, sang pemilik, Rhea Laras Thehawijaya, Jumat (4/6/2021), patty burger olahannya cocok bahkan untuk mereka yang menerapkan pola hidup vegan.
“Menu-menu burger kami perpaduan western dan oriental. Kami juga memperkuatnya dengan saus dan mayonnaise produksi sendiri. Seperti menu Mentai Burger, selain menggunakan saus mentai, yang khas Negeri Sakura Jepang, juga ada tambahan rumput laut. Selain itu juga ada Otonkatsu Burger dengan saus manis asin aromatik dari soy sauce dan saus wijen,” ujar Rhea.
Sedangkan untuk burger nabati jenis western Rhea memberi pilihan Smoked Cheese Burger dan Crispy Mushroom Burger. Untuk keju yang digunakan berasal dari keju nabati sementara sejumlah pelanggan menurut Rhea memuji olahan crispy mushroomnya, yang terbuat dari bahan jamur tiram, mirip suiran daging ayam dari franchise ayam goreng terkenal.
“Untuk pattynya kami sebetulnya membuat satu macam untuk semua burger. Bahan utamanya juga dari jamur tiram, yang banyak dan mudah diperoleh di sini. Kelebihan olahan kami ada di bumbu-bumbunya, yang lebih spicy dari beragam rempah, serta kondimen seperti tambahan coleslaw” tambah Rhea.
Selain dijual secara dine in di gerai yang dibukanya di Kawasan Jalan Riau, Bandung, Rhea juga memasarkan produk patty nabatinya secara daring, bahkan hingga ke luar Pulau Jawa. Untuk burger yang dijual Rhea memastikan harganya di bawah Rp 50.000.