Soal patung, orang lebih senang pada sesuatu yang memiliki narasi sehingga konsep menjadi penting. Jika dulu bentuk visual yang menjadi daya tariknya, sekarang, terutama karya generasi muda, narasi lebih menonjol.
Oleh
Herlambang Jaluardi dan Nawa Tunggal
·6 menit baca
Sebagaimana karya seni lain, patung muncul untuk merespons suasana batin zaman. Patung-patung yang banyak dibuat di masa pandemi ini juga bertendensi ke arah sana. Ada juga yang mencoba memahami hasrat kolektornya, yang merupakan anak-anak muda. Maka, patung muncul sebagai fiksasi ekspresi seni sekaligus respons atas pasar.
Pematung Sunaryo Soetono yang semula mengobrol di Selasar Sunaryo Art Space, kawasan Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat, pada Jumat (28/5/2021) sore, mengajak berpindah tempat. Dia menghubungi asistennya di studio untuk tidak pulang dulu. Pembuat patung Jenderal Soedirman di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, ini hendak menunjukkan karya patung yang sedang dia kerjakan.
Studionya berjarak sekitar 3 kilometer dari area Selasar Soenaryo dan Wot Batu, sebuah taman berisi bebatuan alam yang ia bangun sejak 2015 itu. Dari studio itu lahir karya monumental, seperti patung Jenderal Soedirman dan Soekarno-Hatta. Studio itu kini menjadi ruang penciptaan karya seni anak keduanya, Arin Dwihartanto Sunaryo. ”Saya hanya pakai sedikit ruang di situ untuk membikin patung. Studio lukis saya ada di sisi lain bukit (Dago Pakar) ini,” katanya.
Karena menjelang akhir jam kerja, hanya tersisa segelintir pekerja. Ketika didatangi, mereka sedang berdiri mengitari pelat besi duralumin yang telah dipotong bundar berdiameter 140 sentimeter. Itu bakal menjadi ”dudukan” bagi tiga bilah menjulang berbahan tembaga dan kuningan, yang masing-masing tingginya sekitar 3 meter.
Salah satu pola sidik jari itu, kata Sunaryo, menyimbolkan yin dan yang, keseimbangan dua kutub. Figur sidik jari itu dikembangkan Sunaryo ketika menjadi resident artist selama enam minggu di Singapore Tyler Print Institute, Singapura, bertahun-tahun silam.
”Ide dasarnya adalah jati diri manusia. Tiga (bilah) mewakili harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan,” katanya. ”Nanti setelah terpasang baru bisa saya beri judul.”
Menurut rencana, patung itu akan dipasang dalam sepuluh hari mendatang di dalam rumah milik seseorang yang ia sebut ”sahabat muda” di Jakarta. Itu adalah rumah baru. Sunaryo merancang patung itu bisa berputar, tetapi konstruksi lantai rumah tersebut tidak memungkinkan. Yang pasti, dari bagian pusat lingkaran dudukannya akan tersembur buih air.
Sunaryo merancang patung itu sejak 1,5 bulan yang lalu. Dua patung lain, katanya, sudah terpasang di rumah pemiliknya, akhir 2020 lalu.
Desain lucu
Seniman patung Adi Gunawan di Yogyakarta memilih desain lucu dan mengundang senyum untuk patung-patungnya. Misalnya, figur seorang anak/orang dewasa tambun berambut keriting naik kerbau sambil baca buku. Ada juga figur serupa yang tengah berlatih bela diri atau senam. Figur-figur itu ekspresif dan menggemaskan. Patung lain berupa orang pendek berambut kribo, dia gambarkan sebagai ibu menggendong bayinya. ”Di saat pandemi, orang-orang membutuhkan hiburan, seperti dengan mengoleksi patung lucu yang bisa membahagiakan,” ujar Adi.
Untuk memasarkan karyanya, Adi selalu membuat model dengan bahan resin dan mengirimkannya ke galeri di Jakarta dan Singapura untuk ditawarkan kepada kolektor. Setelah terjadi kesepakatan, Adi membuat patung-patung itu dengan bahan perunggu sesuai permintaan.
”Strategi saya selama ini ingin menyesuaikan kemampuan kolektor. Tentu dengan harga yang lebih tinggi, tingkat kesulitan dan ukuran juga makin tinggi,” kata Adi, yang mencontohkan ukuran patung dengan tinggi 1,5 meter dijualnya dengan harga Rp 225 juta kepada kolektor yang datang langsung.
Pada Kamis (27/5/2021) siang itu, para pekerja dengan maskernya sedang merampungkan patung-patung dengan ukuran lebih kecil di studio (workshop) pematung Nyoman Nuarta di Desa Ciwaruga, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Kata ”kecil” dalam cakupan karya Nuarta tetaplah besar terlihat mata. Satu patung ”kecil” rata-rata dikerjakan dua hingga empat orang. Sementara patung gigantik, seperti Garuda Wisnu Kencana, dikerjakan lebih dari 200 orang. Kira-kira begitu perbandingannya.
Para pekerja di studio itu, semua laki-laki, sibuk dengan patungnya masing-masing. Ada yang menempa lempeng tembaga setelah diloloskan dari cetakan fiber. Ada yang merangkai kepingan-kepingan hasil tempaan ke kerangka. Ada yang ”merobek-robek” tembaga sebagai pemberi aksen gerak pada patung. Setiap patung rancangan Nuarta dikerjakan satu tim dari hulu ke hilir, dari pemodelan hingga pewarnaan.
Di antara para pekerja, dua pekerja lain sedang merampungkan patung berjudul ”Borobudur III”. Walau tampak lebih ramping, ornamen patung ini lebih banyak, yang utamanya 40 stupa dan 12 gapura. Sementara reproduksi patung berjudul ”Anugerah”—pertama kali dirancang sekitar tahun 1995—masih berupa kerangka dasar setelah dikerjakan dua minggu lamanya.
Ada juga pekerja yang merampungkan karya baru Nyoman Nuarta yang lahir di masa pandemi, ”The Legend of Horse”, yang membentuk gerak spiral kuda. Karya berdiameter 1,5 meter itu akan dipamerkan di Beijing, China. Singkatnya, studio NuArt sibuk sekali, sebagaimana studio Sunaryo dan beberapa studio pembuat patung lain.
Pergeseran
Suwarno Wisetrotomo, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, mengutarakan, seni rupa patung saat ini mengalami pergeseran. Suwarno membandingkan dengan masa-masa awal tumbuhnya pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden Soekarno. ”Tumbuhnya republik ini beriringan dengan tumbuhnya seni rupa patung modern kita. Pemerintah waktu itu turut berkontribusi. Akan tetapi, sekarang sudah terjadi pergeseran yang mendorong seni rupa patung kita benar-benar berorientasi pasar dan komersial,” ujar Suwarno.
Sementara itu, Sunaryo melihatnya secara berbeda. Baginya, sekarang ini orang lebih senang pada sesuatu yang memiliki narasi sehingga konsep menjadi penting. Jika dulu, bentuk visual yang menjadi daya tariknya, sekarang, terutama karya generasi muda, narasi lebih menonjol.
”Kadang-kadang narasinya sangat permukaan. Misalnya, bentuk karyanya terlihat sepele, seperti lubang-lubang di tembok, seperti memindahkan suasana gudang di galeri yang bersih. Narasinya ternyata berbicara tentang kekerasan, misalnya. Narasi seperti ini justru menunjukkan, untuk menyapa seseorang (audiens) tidak harus berfilsafat. Narasinya bisa lebih populer. Dalam beberapa karya, teknis kadang tidak terlalu penting,” ujar Sunaryo sembari mengungkapkan, dia selalu belajar dari perupa muda.
Di luar pergeseran cara ungkap, pematung Dolorosa Sinaga menangkap ada pergeseran cara karena pandemi. Akses publik terhadap karya seni bertambah lantaran muncul berbagai pameran dan ruang temu secara virtual. Itu, antara lain, yang mendorong dia berkesimpulan bahwa ada dua hal penting, yakni pandemi melahirkan alam demokrasi bagi seni rupa. ”Akan tetapi, dengan ruang virtual akan menjadi masalah tersendiri bagi presentasi karya seni patung,” ujar Dolorosa.
Sebab, katanya, patung memiliki tiga dimensi yang membekukan ekspresi gerak obyeknya. Di situlah kekuatan sebuah patung. Patung itu hanya bisa dihidupkan kembali ketika ada peristiwa dan interaksi. ”Di dalam budaya virtual tidak bisa dihadirkan patung itu,” ujar Dolorosa.
Lepas dari itu semua, di masa pandemi, seni patung bagai anomali dari pasar seni rupa secara umum. Jika para pelukis merasa kesulitan memahami kehendak pasar, lantaran banyak pameran tidak bisa digelar, para seniman patung terus bekerja di bengkel masing-masing. Itu artinya, dampak isu pemalsuan dalam lukisan berpengaruh sangat besar pada perilaku pasar. Banyak kolektor memilih main ”aman” dengan mengoleksi patung yang dianggap lebih menjanjikan investasi masa depan.