Membongkar Label Tren
Kini tiba waktunya merombak konsep tren mode. Saatnya tubuh dan nilai dalam diri yang memegang kendali atas pakaian apa yang dikenakan.
Mode selalu menjadi simbol penanda sebuah era. Tiap masa memiliki gaya khas, bahkan pergantian tahun juga diikuti perubahan tren berpakaian yang senantiasa diintip sebagai acuan agar terlihat tidak ketinggalan zaman. Kini, tiba waktunya merombak konsep tren. Saatnya tubuh dan nilai dalam diri yang memegang kendali atas pakaian apa yang dikenakan.
Setidaknya ini terlihat dalam presentasi visual koleksi Cruise 2021/2022 yang dikeluarkan jenama Chanel pada awal Mei lalu. Sebanyak 66 tampilan karya berwarna hitam dan putih yang dibesut oleh Creative Director Chanel, Virginie Viard, menawarkan kebebasan yang tak mengekang tubuh.
Dalam peragaan busana visual yang dihelat di Carrieres de Lumiere, Les Baux, Provence, Perancis, Viard menyuguhkan ragam pakaian yang didominasi potongan longgar. Dari gaun mini bersiluet A yang dipadu dengan cape rajutan dan makrame, gaun midi dengan belahan V sepanjang dada bermotif graphic print, hingga gaun panjang berlengan gelembung yang sekilas mirip gaun tidur malam.
Setelan yang muncul dalam koleksi kali ini juga tidak neko-neko. Celana sarouel yang longgar di bagian paha dan bergelembung di bagian bawah berpadu dengan kaos bermotif graphic print, atasan bodycon, atau atasan crop. Beberapa dikombinasikan dengan jaket yang kian menonjolkan kesan kasual. Ada pula celana linen berpinggang tinggi dengan siluet bawah yang lebar.
Kekhasan Chanel dengan setelan berbahan tweed tentu tak terlewatkan pada koleksi kali ini. Kendati demikian, Viard menyulapnya lebih santai dan dinamis sesuai dengan salah satu semangat yang berusaha dibawanya yakni punk dan rock chic. Setelan tweed berlengan panjang dengan rok span mini jelas ada. Akan tetapi, sejumlah tampilan juga memperlihatkan setelan tweed tanpa lengan dengan rok mini dipadukan kaos bermotif print di bagian dalam.
Pemilihan warna monokrom dan lokasi ini dijelaskan Viard terinspirasi dari Gabrielle Chanel dan sahabat Chanel, yakni seorang seniman Jean Cocteau. Salah satu film Cocteau berjudul The Testament of Orpheus mengambil lokasi syuting di Carrieres de Lumieres. Nuansa dalam film keluaran 1960 tersebut identik dengan hitam putih.
Dalam film itu, Cocteau bebas berimajinasi sama dengan Viard yang juga terus menghidupi semangat Chanel, yakni kebebasan yang kali ini diejawantahkan secara membumi lewat gaya punk. ”Siapa pun bisa mengenakannya. Tak ada batasan atau standar tertentu yang menghalangimu menjadi diri sendiri,” ujar Viard.
Mengambil inspirasi dari masa lalu pendiri jenama ini juga diadopsi Alessandro Michele yang kini bertanggung jawab terhadap desain dan karya keluaran Gucci. Dalam rangka 100 tahun berdirinya Gucci, Michele dengan koleksi Aria menghadirkan 94 tampilan, baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Dalam mewujudkan karyanya yang mengambil tema berkuda, Michele sengaja melengkapi sebagian besar setelan dengan helm berkuda bertuliskan ”Savoy Club” yang merupakan penghormatan kepada Guccio Gucci yang dulu pernah bekerja sebagai seorang liftboy di Savoy Hotel, London.
Meski menetapkan pakem busananya seperti pakaian khas para equestrian, Michele yang kali ini kembali menggandeng jenama Balenciaga tentu berupaya mendobrak dengan membuat atasan dengan bahu terbuka atau hanya berbentuk tanktop. Bawahannya pun dibuat lebih longgar atau justru dipasangkan dengan celana pendek.
Penanda kebebasan
Sheer dress atau gaun menerawang juga dipilih Michele kali ini sebagai penanda kebebasan. ”Anak muda melihat brand sebagai sebuah platform, sebuah tempat. Mereka memvisualisasikan Gucci dengan jutaan cara. Ini semacam post-pandemic dreamscape, Tempat bermain yang bisa dinikmati bersama untuk semuanya,” ujar Michele.
Dari laporan bertajuk ”The State of Fashion 2021” yang dikeluarkan McKinsey sekitar Maret lalu, fashion menjadi sebuah cermin dari budaya yang berkembang, cermin dari apa yang sedang terjadi saat itu di dunia. Tentu saja, fashion sebagai bentuk ekspresi diri dan pembawa pesan yang tak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial politik.
Chanel, Gucci, dan banyak jenama ternama dunia membuktikannya. Sejak tahun lalu, tantangan yang harus dihadapi karena pandemi coba dipatahkan. Alih-alih sibuk berlomba mencipta tren dengan bentuk dan siluet pakaian, jenama termasyhur ini lebih menguatkan pesan dalam koleksinya.
Inklusif, keadilan sosial, kesetaraan, keberlangsungan lingkungan hidup, hingga kesadaran tentang tubuh menjadi isu yang dijadikan landasan karya mereka saat ini. Hasil yang ditampilkan pun menjadi beragam.
Achim Berg dari McKinsey menyampaikan, pilihan ini diambil karena dari segi model baju sulit untuk diutak-atik lagi ketika pandemi. Semua orang memilih baju yang nyaman dan tidak lekang dengan waktu. Dari loungewear, sweatpants, jaket, kaos dan kemeja longgar, legging, celana denim berpipa lebar atau moms jeans, hingga tank-top menjadi pilihan saat ini.
Para desainer ini pun memilih memodifikasi aneka jenis pakaian tersebut agar tak hanya bisa dipakai di rumah, tapi juga layak dikenakan di luar rumah dan tetap terlihat apik. ”Orang sekarang akan lebih menyukai yang nyaman, enak, dan well made. Glamor juga bergeser maknanya lebih ke cenderung diukur dari derajat kenyamanan,” ujar Berg.
Kondisi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan seabad lalu. Generasi yang hidup pada tahun 1920-an juga harus berjibaku dengan pandemi flu spanyol dan masa pasca Perang Dunia I. Dunia mode juga menjadi yang sangat terdampak saat itu.
Mengacu pada buku Fashion History: A Global View dari Abby Lillethun dan Linda Welters, mode kerap diidentikkan dengan gaun mewah bangsawan kala itu. Masa sulit saat itu justru melahirkan pionir, seperti Chanel dan Gucci yang menerobos batas dan membongkar pandangan.
Nama mereka melambung pada masa yang dikenal dengan masa roaring 20’s karena keberanian melahirkan ragam busana yang membebaskan perempuan saat itu dari korset yang mengekang dan gaun panjang yang riweh. Kasual pun menjadi kata kunci. Itu pula yang terjadi saat ini.
Bohemian bahagia
Desainer Stella McCartney juga berpandangan di masa pandemi ini, kebahagiaan bersumber dalam diri. Lewat koleksi musim gugur dan musim dingin 2021/2022 yang berisi 30 tampilan, putri dari musisi Paul McCartney ini menyuguhkan busana yang santai. Beberapa model celana yang dibikinnya kali ini mirip dengan jogger pants atau sweatpants yang memang digemari banyak orang. Ada beberapa yang dipadu dengan legging.
Atasan serba longgar dari sweater, kemeja, mantel, hingga blus juga mendominasi. Meski ia juga memberikan pilihan beberapa gaun peplum yang siap digunakan untuk pesta makan malam. Menurut dia, pilihan ini wajar karena dunia telah beranjak. Orang sudah beraktivitas lagi di luar rumah, walau terbatas.
Baca juga: Jiwa Bebas Kaum Muda
Yang menarik, McCartney kali ini juga menawarkan celana dengan pipa lebar ala cutbray dengan bahan yang gemerlap. Sekilas seperti melihat gaya boho dari generasi bunga pada era 1960-an. Untuk bahan dari koleksi kali ini, sebesar 77 persen merupakan material yang sustainable dan juga merupakan hasil dari upcycling.
”Ini menakjubkan dan membuatku seperti merasa hidup lagi. Koleksi ini mengembalikan keberanian, kecerdasan, dan energi mudaku. Perasaan bahagia ini ingin ku tularkan pada sesama perempuan untuk bebas berekspresi di tengah pandemi ini,” ujar Stella.
Lalu, apa tren mode 2021? Berani, nyaman, dan jadi diri sendiri.