Hamperku Pengganti Hadirku
Hamper disusupi makna baru di kalangan masyarakat urban. Hamper tak hanya dimaknai sebagai bingkisan, tapi simbol kehadiran seseorang dalam silaturahmi yang terdisrupsi pandemi.
Tren berkirim bingkisan atau hamper meledak selama Lebaran dua tahun terakhir ini. Apa pemicunya? Rupanya, hamper kini dijadikan simbol kehadiran masyarakat urban saat kehangatan silaturahmi secara fisik dibatasi oleh pandemi.
Lebaran tahun ini, Sri (36), warga Ciputat, Tangerang Selatan, Banten sibuk berbalas hamper di ujung Ramadhan. Ketika ditemui Selasa (11/5/2021) siang di rumahnya, ia menunjukkan kiriman hamper berisi makanan yang memenuhi meja makannya dari sejumlah teman dan tetangganya. Ada pempek, lupis montok dalam kardus mungil, beberapa toples kue kering yang menggemaskan, emping, keripik pisang, dan satu dus roti coklat rumahan.
“Lebaran ini banyak sekali kue di rumah. Kami tak perlu beli apa-apa lagi. Sudah lengkap,” ujar Sri yang hari itu sibuk membuat brownies ketan hitam untuk hamper balasan.
Ketika ditemui esok sorenya, Sri sibuk menyiapkan beberapa kotak risol dan martabak mini yang dibubuhi ucapan Lebaran. “Kalau yang ini untuk tetangga dekat dan teman-teman yang ingin dikunjungi tapi tak bisa dikunjungi supaya silaturahmi tetap terjaga. Rasanya seperti bertemu meskipun tidak berjabat tangan, tapi berjabat rasa, tanda kita perhatian,” ucap Sri.
Sri membayangkan, hati tetangga dan teman yang ia kirimi hamper tadi menghangat seperti yang dia rasakan saat menerima hal serupa. Dia seolah disapa, diajak mengobrol, dan dianggap ada. Perasaan seperti ini amat penting tatkala pandemi melanda dan orang dipaksa berdiam diri di rumah saja untuk jangka waktu lama.
Temmy (45), karyawan swasta di Jakarta, tak kalah sibuknya berbalas hamper. Lebaran ini, ia mengirim 51 hamper untuk sanak saudara, Pak RT, tetangga, sahabat, bos serta rekan kerja di kantor. Daftar nama-nama penerima hamper Temmy unggah ke akun media sosialnya.
Baca juga: Perbedaan parsel dan hamper
Sebenarnya, dalam daftar awal, Temmy hanya mencantumkan 25-30 orang nama penerima hamper. Tapi jumlah itu melonjak karena ada saja orang yang tidak masuk dalam daftar, ternyata mengirimi Temmy hamper.
Buat Temmy, hamper yang ia terima bagaimanapun mesti dibalas. "Jadinya berbalas hampers. Ujung-ujungnya begitu sih," kata Temmy, Rabu (12/5/2021).
Usaha Temmy untuk mengirim hamper tidak main-main. Ia mencari sendiri tas-tas anyam cantik di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan. Lalu, menata makanan yang ia buat sendiri di dalamnya. Hanya sebagian saja yang ia pesan dari teman-temannya atau penjual hamper di Instagram.
Ia juga memikirkan apakah hamper itu akan tampak imut, cantik, atau gemesin jika diunggah para penerimanya di media sosial. Ini penting! Sebab di era digital, tak lengkap jika apa yang terjadi dalam keseharian kita, betapapun remehnya, mesti dibagikan pada orang lain. Motifnya bisa sekadar memenuhi hasrat narsistik atau membantu promosi dagangan teman. Sah-sah saja.
Hamper ibarat mewakili kehadiran mereka di tengah-tengah rumah
Itu yang dilakukan Evie Permata Hati (49), aktivis sosial di Tangerang yang tahun ini menerima setidaknya 10 kiriman hamper dari sahabat dan kenalan yang tinggal di Garut, Depok, Bandung, Tangerang, dan Bekasi. Isinya panganan tradisional seperti sale pisang dan kremes ubi dari tepung ubi kayu. Ia memajang hamper itu di media sosial untuk membantu mempromosikan usaha teman dan jaringan kelompok perempuan petani yang menggarap panganan lokal.
Setiap menerima hamper, Evie merasa mendapatkan sebuah perhatian dari pengirimnya. Apalagi pengirimnya jarang bertemu karena jauh atau karena terhalang pandemi. "Hamper ibarat mewakili kehadiran mereka di tengah-tengah rumah," ucapnya.
Selain menerima, Evie juga mengirimkan hamper untuk teman-temannya di beberapa daerah. "Pada dasarnya saya senang berbagi kejutan untuk orang-orang terdekat saya dihari-hari istimewa,” kata Evie.
Sementara itu, dari Palmerah Barat, Jakarta, Shelly (23) mengirimkan hamper untuk orangtua yang tinggal di Tasikmalaya, Jawa Barat. ”Saya enggak bisa mudik karena ada larangan pemerintah. Sebagai pengganti kehadiran saya di rumah, saya kirim hamper dengan Gojek. Jadi mamang Gojek yang akan mewakili saya datang ke rumah. Ha ha ha," ujar pekerja yang baru dua bulan merantau ke Jakarta.
Makna baru
Tradisi berkirim bingkisan sudah mendarah daging di sebagian besar masyarakat kita, terutama jelang momen-momen spesial seperti Ramadhan atau Lebaran. Di Betawi, ada tradisi nyorog di mana seorang anak akan mengirimkan gula, kopi, minyak, atau makanan matang kepada orangtua sehari-dua hari jelang Ramadhan.
Di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah ada tradisi munjung, yakni berkirim makanan matang dalam rantang atau wadah lain sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri kepada orangtua, kerabat, atau tetangga. Tradisi ini menyimbolkan tanda bakti anak atau orang yang lebih muda, rasa syukur, dan kehangatan relasi sosial.
Zaman berganti, tradisi berkirim makanan tetap bertahan. Namun, namanya berubah menjadi hamper yang diambil dari kata bahasa Inggris, yang bagi sebagian orang memancarkan citra lebih keren dan modern daripada istilah "bingkisan munjung", misalnya. Kemasannya pun dibuat dengan perhitungan estetika yang jauh lebih rumit: harus tampak wah, lucu, dan gemesin jika difoto dan diunggah di media sosial.
"Ya begitulah masyarakat menyelipkan makna-makna tambahan pada sebuah hantaran bingkisan yang sejak dulu ada," ujar pengamat komunikasi dan gaya hidup Idi Subandy Ibrahim.
Dalam dua kali Lebaran di masa pandemi ini, Idi melihat orang menambahkan lagi makna baru pada hamper. Hamper tidak sekadar dimaknai sebagai bingkisan yang menunjukan kehangatan sebuah relasi, tetapi juga pengganti kehadiran dalam silaturahmi.
"Hamper kini menjadi representasi kehadiran ketika orang tidak bisa hadir secara fisik dalam momen silaturahmi," tambah Idi.
Selera bersama
Pemaknaan baru pada hamper ditangkap oleh pembuat hamper yang jeli melihat peluang. Mereka tahu banyak orang yang tidak bisa mudik, menahan rindu pada kampung halaman dan suasana hangat silaturahmi keluarga. Maka mereka menawarkan hamper yang menghadirkan romantisme kampung halaman seperti hamper dalam kemasan besek yang biasa dipakai untuk wadah nasi berkat kenduri, tas belanja, rantang, hingga dandang.
Menerima hamper seperti itu membuat banyak orang, termasuk Tasya Nuarta, merasa diistimewakan di tengah situasi pandemi yang membuat kita mati kutu. Warga Bintaro, Tangerang Selatan itu, menerima kiriman hamper berbentuk dandang aluminium berdiameter 20 centimeter yang biasa dipakai oleh abang-abang pedagang bakso.
Ia tak menyangka bahwa dandang itu benar-benar berisi butir-butir bakso, siomay, pangsit goreng, lengkap dengan mi, bihun, irisan daun seledri, dan bawang goreng. “Bahkan di dalam dandang ada kuahnya,” kata Tasya, Selasa (11/5) atau dua hari sebelum Lebaran.
Tasya dan suami tinggal meletakkan hamper berwujud dandang itu di atas kompor. “Jadi bakso dan kelengkapannya sudah ditaruh-taruh, tinggal buka plastik kuahnya, angetin terus siap untuk berbuka deh,” kata Tasya tentang hamper kiriman sahabatnya Valeska Simorangkir.
Baksonya terdiri dari dua jenis, yakni bakso halus dan bakso urat. “Tapi semuanya kecil-kecil kayak bakso abang-abang gitu…," tambah Tasya.
Soal abang-abang tukang bakso ini menjadi penting. Selama pandemi, kerinduan Tasya makan bakso abang-abang tak pernah terpenuhi. “Nah tiba-tiba tuh ada yang ngirimin, seenggaknya merasa makan bakso abang-abang lengkap dengan rombongnya, hahaha…” tutur Tasya.
Baca juga: Tradisi mengirim hamper pada hari raya
Bingkisan ini, semakin istimewa karena membawa Tasya sekeluarga serasa diajak tamasya ke kampung halaman di Bandung yang jaraknya sekitar 130-an kilometer dari Bintaro, tapi selama pandemi terasa jauh sekali. Karena itu, Tasya berpikir bahwa pembuat hamper bakso sedang menitipkan pesan penting ke dalam dandang dan butir-butir baksonya. “Kita diharapkan selalu ingat kampung,” katanya.
Apa makna semua ini? Idi Subandy melihat perilaku masyarakat urban yang menyusupkan aneka makna tambahan pada bingkisan Lebaran sebagai sebuah siasat. "Ya, ini cara masyarakat menyiasati pandemi yang telah mendisrupsi silaturahim," ujarnya. (CAN/MHF/BSW)