Kain tenun khas NTT mengandung nilai filosofis tersendiri, yang sekaligus juga menggambarkan kegigihan perjuangan para perempuan penenun di ”Bumi Beribu Bukit” itu.
Oleh
Wisnu Dewabrata
·5 menit baca
Dari selembar kain tenun tradisional khas Nusa Tenggara Timur (NTT), kita bisa menelusuri dan mengikuti gambaran tentang kisah perjalanan kehidupan. Beragam cerita perjuangan para mama menjaga keluarga sekaligus membesarkan anak-anak sekuat tenaga tergambar dalam kain tenun.
Diawali kisah perjalanan panjang Lewi Cuaca, salah satu pendiri perusahaan agrobisnis sekaligus eksportir produk pertanian organik dari bumi Nusa Tenggara Timur (NTT), Lewi’s Organic. Demi memulai bisnis, yang didirikan bersama sang istri, Elsje Mansula, Lewi berkeliling ke banyak kawasan di ”Negeri Beribu Bukit” itu.
Mereka mencari dan berupaya menjalin kemitraan dengan para petani setempat. Dalam perjalanan usahanya hingga kini, tak hanya membina hal-hal terkait produk pertanian, pasangan itu juga melihat ada banyak potensi tak tergarap terutama dari para mama di kawasan itu. Elsje sendiri sangat paham lantaran dia berasal dari Pulau Rote.
Menurut Lewi, para perempuan di NTT banyak punya keahlian menenun kain. Keterampilan itu adalah bagian yang melekat dari proses kehidupan keseharian mereka sebagai seorang perempuan, mulai dari kelahiran hingga kematian.
”Seorang perempuan bahkan baru disebut layak untuk menikah ketika mereka sudah mampu membuat selembar kain tenun untuk dikenakan saat pernikahan. Setelah bersuami dan saat akan melahirkan anak, mereka juga harus membuat kain tenun yang akan dikenakan sang suami dan jabang bayi. Begitu pula saat ada kematian,” ujar Lewi.
Lewi menceritakan hal itu saat bersama sang istri menggelar acara diskusi gaya hidup bertema ”Menenun Hidup Memaknai Bahagia” di kedai kopi miliknya, Lewi’s Organics Factory Shop, di kawasan Pondok Kacang, Tangerang Selatan, Rabu (21/4/2021). Acara itu juga sekaligus digelar untuk menandai peluncuran galeri kain tenun ”Lafaina”.
Nama Lafaina sendiri berarti ’selimut mama’. Galeri itu menjadi etalase hasil kain tenun produksi para wanita penenun, yang bekerja sama dan menjadi binaan Yayasan Tani Tenun. Yayasan itu didirikan oleh Elsje termasuk untuk memberdayakan para perempuan penenun di NTT untuk terus berkarya dan memastikan karya-karya mereka dihargai dengan layak.
Saat bermitra dengan para petani di NTT dan kerap melakukan perjalanan ke berbagai daerah kabupaten dan kota di sana, Lewi sering menemukan sejumlah ketimpangan. Salah satunya terkait bagaimana hasil karya para penenun di sana kerap dihargai murah dan belum terlalu bisa dijadikan sumber pendapatan yang dapat diandalkan.
Padahal, saat usai bercocok tanam dan menunggu panen, banyak perempuan memanfaatkan waktu mereka untuk menenun. Bahkan bahan-bahan terutama pewarna yang mereka gunakan pun mudah dijangkau lantaran berasal dari alam sekitar, seperti rumput laut besar (kelp), tinta cumi, dan beberapa jenis karang seperti anemone laut berwarna merah.
”Tahun 2009, saat memutuskan keluar dari perusahaan tempat saya sebelumya bekerja dan bertekad mendirikan usaha sendiri, saya sempat bertemu dan mengenal sosok mendiang Mama Yovita. Beliau sangat menginspirasi saya lantaran telah banyak membina dan membantu para perempuan penenun di daerah tempat tinggalnya selama bertahun-tahun,” ujar Lewi.
Berkat jasa Mama Yovita, kain tenun yang dihasilkan dan tadinya hanya dihargai sangat murah lama kelamaan mendapat pengakuan dari para pembeli serta dihargai dengan sangat layak. Dulu kain dihargai Rp 1.500 per lembar, lalu naik menjadi Rp 15.000, Rp 150.000, Rp 1,5 juta, Rp 5 juta, hingga bisa mencapai Rp 15 juta.
Mama Yovita ini, menurut Lewi, telah membina banyak mama penenun di daerah tempat tinggalnya. Yovita juga dikenal sebagai pelopor pengguna pewarna alam sekaligus mengumpulkan motif-motif tradisional lama. Sebuah museum di Amsterdam, Belanda, meminta Yovita mengumpulkan semua motif lama untuk dibukukan. Buku itu kini disimpan di toko Mama Yovita.
”Sayangnya, dia lalu kehilangan rumah dan toko akibat surat-surat warisan dari suaminya yang tak jelas. Rumah dan tokonya diambil seorang penguasa lalu dihancurkan karena orang itu hanya ingin lokasinya yang memang strategis. Sejak itu kesehatan Mama Yovita semakin menurun hingga kemudian meninggal dunia,” papar Lewi sedih.
Ada juga kisah perjumpaan Lewi dan Elsje dengan Oma Elizabeth, seorang perempuan penenun berwajah cantik keturunan Eropa. Oma Elizabeth dikenal dengan tato di kedua tangannya bermotif pola-pola kain tenun tradisional khas NTT.
Menurut kisah sejarahnya, di masa penjajahan Jepang banyak perempuan di NTT ditangkap dan diperkosa oleh tentara Jepang. Hanya mereka yang telah bersuami saja yang tak diganggu. Salah satu ciri khas seorang perempuan bersuami adalah memiliki tanda berupa tato di tangannya.
Selain untuk menjadi semacam penanda agar terlindungi, banyak perempuan ketika itu, termasuk Oma Elizabeth, menato tangannya. Motif-motif kain tenun dipilih lantaran gambar-gambar itulah yang memang paling diingat dan familiar di kehidupan mereka.
Kebanyakan motif tenun yang dibuat oleh Oma Elizabeth berupa gambaran manusia, malaikat, hewan terutama ternak, serta beragam aktivitas kehidupan yang dilakukan manusia sehari-hari seperti penggembala atau orang sedang makan dan minum. Ciri khas lainnya lagi, kain tenun ini berwarna cerah, seperti merah, kuning, biru, hijau, dan juga ditenunkan nama sang pemilik kain.
Sementara perempuan penenun lain yang dikenal dan juga dibina adalah Nenek Lin, yang terspesialisasi menenun motif kain khas Flores dengan hanya menggunakan pewarna organik. Sumber pewarna alam yang dipakai berasal dari beragam jenis tanaman, yang tumbuh di sekitar rumah Nenek Lin.
Nenek Lin tinggal di sebuah gubuk reot berdinding bilah-bilah kayu dan beratapkan seng. Di rumah itu sebelumnya Nenek Lin merawat sang bunda hingga meninggal dunia. Nenek Lin sendiri tidak menikah dan kini tinggal sendiri.
Oleh pihak Yayasan Tani Tenun dan Esje, di atas lahan milik Nenek Lin kemudian didirikan sebuah rumah semi permanen berdinding separuh semen. Nenek Lin terus berkreasi menenun dengan menggunakan bahan pewarna alami yang tumbuh di sekitar rumah tinggalnya. Sejumlah kreasi Nenek Lin juga ditawarkan di galeri Lafaina.