Kedai Kopi Tumbuh Bersama Petani
Setelah lebih dari 300 gerai kopi waralaba asal AS tumbuh di pelosok-pelosok Tanah Air, para pelaku industri perkopian mulai gerah. Banyak yang bertanya,”Mengapa Indonesia punya kopi, tetapi Amerika yang punya nama?
Kedai kopi waralaba yang tumbuh di Indonesia pada awal 2002 benar-benar menampar muka kita. Bagaimana mungkin sebuah kedai asal Amerika Serikat, mengolah biji kopi Sumatera menjadi seduhan kopi paling favorit di dunia? Banyak orang kemudian memandang peristiwa ini sebagai era di mana kopi memulai petualangan baru di wilayah gaya hidup.
Menghirup aroma kopi di kedai tidak lagi sama persis dengan meneguk kopi di warung-warung pinggiran kampung. Kata ”ngopi” bertransformasi dalam seketika karena tak lagi sekadar membasuh ketagihan, tetapi menjadi wahana untuk bergaul sambil nongkrong.
Setelah lebih dari 300 gerai kopi waralaba asal Amerika itu tumbuh di pelosok-pelosok Tanah Air, para pelaku industri perkopian mulai gerah. Banyak yang bertanya,”Mengapa Indonesia punya kopi, tetapi Amerika yang punya nama?” Tak hanya kopi arabica asal Sumatera, kedai yang sama juga kemudian menjajal kopi-kopi para petani dari Flores dan Jawa Barat.
Ketika kedai-kedai kopi mulai tumbuh di beberapa titik di Jakarta, dia seolah menjadi antitesa dari kedai waralaba. Ada semacam kesadaran, bahwa kedai kopi hanyalah wilayah hilir dari mata rantai kopi yang berhulu pada petani. Oleh sebab itulah, jika ingin menghasilkan kopi berkualitas premium, maka yang pertama-tama harus dibenahi proses hulu. Tahun 2015 film Filosofi Kopi yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko seolah mempertebal kesadaran bahwa para pelaku industri kopi pertama-tama harus berpihak kepada petani.
Petualangan Ben dan Jody menyusur Jawa Tengah untuk menemukan kopi lokal dan kemudian bertemu dengan petani bernama Budi, menjadi tutorial penting dalam pengembangan industri kopi di Tanah Air.
Co-Founder Rumah Kopi Ranin, Tejo Pramono, dari Bogor, Rabu (21/4/2021), mengatakan sesuai namanya, Rumah Kopi Ranin atau Rakyat Tani Indonesia di Cikarawang, Bogor, ingin menonjolkan peran petani kecil dalam ekonomi kopi nasional. Untuk itu, kedai kopi bernuansa pedesaan ini melakukan pendampingan dan pembelian kopi langsung dari pertanian keluarga di Indonesia.
Rumah Kopi Ranin berbagi pengetahuan bagaimana membuat biji kopi berkualitas, termasuk cara menyimpan dan memilih biji kopi yang akan dijual. Puluhan petani yang dilatih antara lain berasal dari Kabupaten Bogor dan Garut (Jawa Barat), Lampung Barat (Lampung), Humbang Hasundutan (Sumatera Utara), Muara Enim (Sumatera Selatan), Enrekang (Sulawesi Selatan), Mamasa (Sulawesi Barat), dan Paniai (Papua).
”Di dunia kopi yang paling utama adalah bagaimana mendapatkan kopi yang bagus. Kita harus tahu langsung kebunnya dan petani tahu bagaimana memproses kopi yang berkualitas. Artinya, mereka harus dilatih. Kafe ini bukan cuma soal jualan, tetapi ada dampak sosial untuk petani,” kata Tejo, yang membangun Rumah Kopi Ranin bersama Uji Saptono sejak 2012.
Harga meningkat
Harga buah kopi biasanya Rp 5.000-Rp 10.000 per kilogram (kg), sedangkan biji kopi asalan sekitar Rp 25.000 per kg untuk robusta dan Rp 45.000 per kg untuk arabika. Namun, pelatihan itu memberi nilai tambah pada produk kopi petani. Petani jadi bisa menjual biji kopi berkualitas bagus sekitar Rp 40.000-Rp 50.000 per kg untuk robusta dan Rp 90.000 per kg untuk arabika.
Biasanya kita pesan dari petani satu ton, mereka tinggal kirim beberapa kali dalam setahun bisa 50 sampai 100 kilogram
Selesai pelatihan, sebagian biji kopi petani, biasanya robusta dan arabika, diambil Rumah Kopi Ranin. Setelah diolah dan dikemas, Rumah Kopi Ranin bisa menjual kopi itu sekitar Rp 300.000 per kg. “Biasanya kita pesan dari petani satu ton, mereka tinggal kirim beberapa kali dalam setahun bisa 50 sampai 100 kilogram. Kalau untuk Ranin biasanya kami dapat prioritas,” tutur Tejo.
Menurut Tejo, Rumah Kopi Ranin sekarang bekerja sama dengan 10 petani. Kemampuan dan kesejahteraan petani pun meningkat. Petani di Kampung Cibulao, misalnya, meraih peringkat pertama tingkat nasional kopi robusta dalam Kontes Kopi Spesialti Indonesia pada 2016. Di sisi lain, petani mampu melestarikan lingkungan, seperti yang terjadi di Puncak, Bogor dan Cikajang, Garut.
Tejo menambahkan, Rumah Kopi Ranin, yang kini memiliki 10 karyawan, menjadi tempat pertemuan petani dan penikmat kopi. Kedai kopi ini memiliki program edukasi mengenai kopi dan petani kopi kepada pelanggan. Pelanggan juga diberi kesempatan untuk mencicipi rasa sebelum memesan kopi.
Setya Yudha Indraswara, pemilik toko dan kedai kopi Joyo99 di Pondok Ranji, Tangerang Selatan, menuturkan, stok kopi di tokonya dipasok setidaknya oleh tujuh koordinator petani kopi di tujuh daerah. Satu koordinator biasanya mengelola lima sampai belasan petani. Selain itu, Setya membeli kopi dari pedagang kopi di Jabodetabek. Jadi, sebuah toko kopi kecil seperti Joyo99 menjadi simpul bagi puluhan orang yang hidup dari kopi.
Aliran rezeki kopi makin panjang karena Joyo99 juga memasok kopi ke beberapa kedai kopi dengan 2-4 orang pekerja.Sebelum pandemi, Setya setidaknya membeli 150-200 kilogram biji kopi (green bean) per dua pekan. Namun, pada awal hingga pertengahan pandemi bisnis kopinya turun hingga 50 persen.
”Sekarang sudah menuju normal,” katanya. Selain jualan kopi, Setya menjadikan kedai dan toko kopinya sebagai tempat pertemuan siapa saja yang suka kopi. Hampir setiap hari ada saja anak muda yang datang ke kedai itu untuk belajar membuat kopi atau sekadar konsultasi secar gratis.
”Sebagian dari mereka lulusan SMA yang tidak meneruskan kuliah, tetapi tak punya keterampilan untuk terjun ke dunia kerja. Mereka lantas memilih ’jalan kopi” untuk menjemput masa depan,” cerita Setya, pendiri komunitas Jaringan Warkop Nusantara.
Saat memasuki kedai Libong Coffee pada Rabu (22/4/2021) sore tak terlalu ramai. Kedai ini secara spesifik menawarkan kenikmatan kopi dari Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dengan menggunakan kopi asal Colol, Viktor Ones Wole, pemilik kedai itu, bisa menyuguhkan beragam menu berbasis kopi. Viktor, yang akrab disapa Vito menceritakan, sejak tahun 2017, dia ingin kopi Manggarai bisa lebih dikenal masyarakat. Selama ini, bila ditanya kopi enak dari NTT pasti akan menyebutkan kopi Bajawa.
Saya minta keluarga di sana untuk mengolah kopi secara tradisional, disangrai, diayak dan ditumbuk. Mereka malah bingung bagaimana bisa mengolah kopi sebanyak itu
Vito memulai ceritanya pada saat akhir tahun 2017, dia yang masih bekerja sebagai sales perusahaan otomotif terpikir untuk membeli kopi dari petani di daerahnya, Kampung Nggolo, Desa Golondari, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat. Tak tanggung-tanggung, dia membeli 500 kilogram green bean arabika.
”Saya minta keluarga di sana untuk mengolah kopi secara tradisional, disangrai, diayak dan ditumbuk. Mereka malah bingung bagaimana bisa mengolah kopi sebanyak itu,” kata Vito.
Akhirnya, Vito memberdayakan keluarga dan tetangga di kampungnya untuk mengolah kopi Manggarai dengan biaya Rp 30.000 per 10 kilogram. Setelah itu, kopi Manggarai tumbuk dikemas di Jakarta dan dijual ke teman-temannya. ”Ternyata responsnya bagus sekali, banyak yang suka. Tadinya saya tidak berpikir untuk menjual kopi kepada orang di luar Manggarai, eh malah mereka yang banyak beli. Satu bulan, 500 kilogram itu habis,” cerita Vito.
Sayangnya, kesuksesan menjual kopi Manggarai itu hanya sesaat. Vito sempat vakum pada 2018 hingga 2020. Pandemi membuat Vito berpikir untuk membuka kedai kopi. Dia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan membuka Libong Coffee. Libong artinya kebun di dekat rumah yang dipenuhi tanaman kopi, cengkeh dan lain-lain.
Dalam perjalananya mendirikan kedai kopi, Vito bertemu dengan Aswin Mahu, pemilik Niran Coffee Bean and Roastery sekaligus Bendahara Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Flores Manggarai. Dari Aswin, Vito mendapat pasokan kopi Colol, Manggarai. Di Jakarta, Aswin memasok kopi untuk banyak kedai.
Aswin mengatakan, MPIG mendampingi 42 kelompok tani di Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. ”Tahun 2018 sampai 2019, kami mendapat kesempatan mempromosikan kopi Manggarai ke beberapa negara. Waktu itu saya sempat ke Yordania, Athena dan Selandia Baru,” ujarnya.
Daya serap
Peneliti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka), Jember, Yusianto, mengatakan, berbeda dengan hype yang muncul beberapa tahun terakhir, penyerapan kopi di kedai kopi sebenarnya sedikit dibandingkan penyerapan pabrik. Kondisi ini akibat kebiasaan konsumsi masyarakat yang belum menyukai kopi murni sehingga mencampur dengan bahan lainnya, seperti susu dan gula.
Karena itu, lanjutnya, pelaku ekonomi kreatif perlu menerapkan strategi berbeda dengan perusahaan besar. Pesaing utama pelaku ekonomi kreatif adalah kopi pabrikan dengan harga murah. Namun, psikologis masyarakat sekarang berada dalam kondisi tidak percaya kopi saset menggunakan kopi asli.
”Pelaku UMKM bisa memanfaatkan celah itu. Mereka bisa fokus memproduksi kopi hitam sembari menunjukkan langsung kepada konsumen bagaimana biji kopi disangrai, diolah menjadi bubuk, dan diseduh. Tidak apa-apa harganya agak mahal, karena konsumen sudah tahu itu kopi asli,” kata Yusianto, melalui telepon, Kamis (22/4/2021).
Tantangan Yusianto dan kenyataan tentang ”kekuasaan” kedai waralaba sejak era tahun 2000-an, seolah dijawab oleh pemilik kedai Twalen, Wena Wahyudi. Sejak sebulan terakhir, Wena meluncurkan varian terbaru kopi bernama Arakbica. Varian ini sebenarnya percampuran antara kopi Arabica Kintamani dengan arak Bali.
”Sejak sebulan sudah terjual sampai 250 botol ukuran 750 mililiter,” kata Wena yang membuka gerai keramaian baru bernama M-Blok Jakarta.
Arakbica diproduksi bareng antara perajin arak Bali dari Karangasem dan para petani kopi yang tergabung dalam Giri Alam Coffee Kintamani. Sejauh ini, kata Wena varian kopi terbaru ini masih menunggu izin dari BPOM.
Produk serupa juga dikembangkan oleh Wayan Suantara di Desa Manggis, Karangasem, Bali. Ia bekerja sama dengan Bali Ventura, Kaya.id, dan petani kopi dari Desa Jempana, Plaga, Badung untuk memproduksi varian arak-kopi bernama Balista. ”Kita sudah siap 500 liter atau sekitar 2.000 botol dalam kemasan 250 mililiter,” kata Suantara. Produk ini juga sedang menunggu penyelesaian izin dari BPOM.
Produk ini, kata Suantara, hasil pengembangan dirinya dengan para ahli arak dan kopi. ”Pokoknya akan jadi penambah nilai kopi,” katanya.
Sketsa Kopi Denpasar juga punya jalinan kerja sama yang erat dengan para petani. Kedai yang buka di tengah kecamuk pandemi Covid-19 itu, bekerja sama dengan PT Asanka, sebagai pemilik divisi kopi Pandawa Roastery. Mereka kemudian menggandeng petani kopi Arabica dan Robusta dari Desa Pujungan, Tabanan, Bali. Di Pujungan, kata Ayu Sulistyowati, pemilik Sketsa Kopi, terdapat 42 hektar kebun kopi petani.
Sebelum kopi disuguhkan di kedai, kata Ayu, pada wilayah hulu para petani diberikan pelatihan cara memilih bibit terbaik, menanam, merawat, memanen, sampai menjadi butiran kopi yang siap diroasting. ”Sekarang petani di Pujungan paham bagaimana menghasilkan kualitas kopi terbaik,” ujar Ayu.
Sekarang, Pujungan mencatatkan produktivitas panen per tahunnya dari 1.600 ton menjadi 2.000 ton. ”Mereka mampu memasok ke beberapa daerah di Indonesia, di luar Bali, di antaranya Bandung (Jawa Barat), Lampung (Sumatera), Lombok (NTB),” tambah Ayu.
Menurut Yusianto, pelaku ekonomi kreatif sebaiknya tidak meninggalkan kearifan lokal dalam berbisnis. Preferensi masyarakat dalam mengonsumsi jenis kopi perlu diperhatikan. Inovasi-inovasi dalam menciptakan cita rasa kopi yang baru, seperti arak kopi atau bir kopi, dapat menawarkan diversifikasi pilihan konsumsi kopi. Namun, pelaku usaha perlu mengingat bahwa konsumsi kopi dengan rasa berbeda itu memiliki pasar khusus dan terbatas. ”Kopi itu barang ortodoks. Artinya, model lama masih akan bertahan lama dan lebih laris dari yang baru,” tuturnya. (BSW/SIE/LSA)