Naik Gunung Pun Berkebaya
Kebaya menyimpan selaksa daya tarik. Orang yang jatuh hati pada kebaya lantas begitu fanatik dan memakainya dalam keseharian, termasuk ketika naik gunung hingga bersantai di pantai.
Sebagai busana nasional, kebaya identik dengan jati diri perempuan Indonesia. Ada kebanggaan yang terselip ketika memakai kebaya warisan eyang. Tak mengherankan, mereka yang terpanah jatuh hati pada kebaya lantas begitu fanatik dan memakainya dalam keseharian, termasuk ketika naik gunung hingga bersantai di pantai.
Selalu ada cara untuk memakai kebaya. Ini yang selalu dipegang penyanyi Intan Soekotjo. Intan mewakili generasi milenial yang setia mengenakan kebaya. ”Ini salah satu cara untuk menghargai warisan budaya kita, dengan merasa bangga saat memakainya, juga dengan memberinya sentuhan kebaruan,” ungkapnya, Senin (19/4/2021).
Sebagai penyanyi keroncong, Intan selalu tampil anggun dalam balutan kebaya, dengan kain panjang dan sanggul sebagai pelengkapnya. Namun, saat acara kumpul-kumpul bersama teman pun dia sering mengenakan kebaya. ”Semua tergantung kreativitas kita untuk padu-padan kebaya dengan aksesori, bawahan, hairdo, juga sepatu,” tuturnya.
Kebaya encim akan dipadukannya dengan celana jins—bahkan yang robek-robek—serta dalaman tank top dan sepatu sneakers. Untuk acara yang lebih santai, dia mengenakan batik dengan potongan kebaya, biasanya kutu baru. ”Jadi, cita rasa budaya ada, gaya anak mudanya pun ada,” imbuh Intan.
Kesetiaan ini membuahkan penghargaan Anugerah Kebaya dalam acara Kongres Berkebaya Nasional (KBN) yang digelar Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) 5-6 April 2021. Dia, antara lain, bersanding dengan ibundanya, Sundari Soekotjo; pengusaha kosmetik Martha Tilaar; dan mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
Intan berkisah, kebaya sudah lekat dengan dirinya sejak kecil. Sejak dia sering melihat sang bunda tampil menyanyi, dia pun sudah merengkuh kebaya dalam perjalanan hidupnya. Koleksi kebaya milik Sundari pun satu demi satu sudah diturunkan bagi Intan. Ada nilai sentimentil dalam kebaya itu bagi Intan.
”Yang dari Ibu biasanya warnanya cenderung gelap, seperti hitam, emerald, merah marun, karena warna-warna itu memang memancarkan aura Ibu. Kalau kebayaku sendiri lebih banyak warna pastel,” ujarnya.
Kenangan bahagia
Ada cerita lucu saat dia dan ibunya hendak mengisi acara di Mahkamah Agung. Kebaya keduanya berwarna sama, tetapi beda tampilan. Saat Intan hendak memakai, ternyata kebesaran. Rupanya itu kebaya ibunya. ”Untungnya kami selalu bawa benang dan jarum di koper. Akhirnya di kamar mandi, ibu menjahit kebaya itu dengan disekeng atau dikecilkan. Alhamdulillah, semua lancar,” kenang Intan sambil tertawa.
Kenangan lucu, bahagia, dan berkesan ketika memakai kebaya juga menjadi salah satu alasan yang mempererat pertalian dengan kebaya. Rutin bepergian ke Singapura, beberapa kali pula, petugas pemeriksaan di Bandara Singapura meminta Atie Nitiasmoro melepas kebaya yang dipakai karena dikira sebagai pakaian luaran. ”Selalu disuruh lepas, harus menjelaskan panjang lebar dulu, bahwa ini jadi satu ini namanya kebaya, busana khas Indonesia,” kata Atie.
Tak lantas kapok, Atie tetap memakai kebaya dalam keseharian, termasuk ketika berekreasi keliling Eropa bersama keluarga. Ia dan beberapa anggota Komunitas PBI pun berkebaya ketika pergi ke Nepal. Kebaya juga dipakai antar-jemput anak sekolah atau pergi pengajian. Kecintaan memakai kebaya itu diwarisi dari orangtuanya.
Lia Natalia, seorang jurnalis, mulai akrab dan jatuh cinta pada kebaya dan kain pada 2014. Sejak itu, Lia setia mengenakan kebaya dan kain dalam setiap aktivitas. ”Awalnya saya pribadi konyol-konyolan aja, diajak teman-teman senior yang kolektor kain dan kebaya liburan ke Dieng Jazz Festival. Syaratnya, harus bawa kain dan kebaya,” tutur Lia.
Seusai menonton Jazz, mereka lanjut mendaki Gunung Prau. Saat turun gunung mengenakan kebaya dan kain, Lia melihat pemandangan yang sangat indah. ”Di situ saya mikir, gila ya luar biasa banget, segini indah, trus dulu nenek-nenek kita itu naik gunung cari kayu bakar, masuk hutan, ke sawah, ke sungai, ke ladang nyebrang lautan, bahan berhaji naik kapal berbulan-bulan mereka pakai kain sama kebaya. Mereka enggak pernah bilang ribet,” kenang Lia.
Dari situ Lia seperti menemukan alasan untuk mulai mengenakan kebaya dan kain. ”Ya, kondangan, saya coba naik kendaraan umum, naik Transjakarta, naik angkot, ojek, semuanya dicobain, kereta. Saya ngantor, liputan dilihat semua orang. Kadang-kadang juga disangka istri pejabat di awal-awal,” kata Lia yang bersama tiga rekannya menggagas Perempuan Berkebaya pada 2014.
Sisi nasionalisme
Telah memakai kebaya sejak usia 3 tahun, kebaya juga telah menjadi busana wajib dalam keseharian di keraton bagi GKR Bendara, Putri Raja Keraton Yogyakarta. Menjabat sebagai Penghageng KHP Nityabudaya atau lembaga kementerian pariwisata di dalam keraton, GKR Bendara menyebut bahwa kebaya adalah busana perempuan yang melekat dengan keraton yang sudah berusia 266 tahun.
Pakem atau tata cara penggunaan kebaya di keraton tergolong sangat ketat. Kebaya motif dengan aplikasi sentuhan emas, misalnya, hanya boleh dipakai permaisuri. Semakin kaya corak motif semakin tinggi kedudukannya di keraton. Kebaya brokat hanya dipakai oleh istri dan putri raja. Keraton juga melarang pemakaian kebaya dengan sulaman.
”Anak saya usia dua tahun juga sudah berkebaya. Koleksi kebaya saya kayak warna pelangi. Ada warna apa saja. Setiap tahun, permaisuri memberi panduan menjahit yang benar. Harus lengan panjang. Itu hak prerogatif permaisuri di awal pemerintahan untuk menulis peraturan,” ujar GKR Bendara di gelaran KBN.
Berbeda dengan di lingkungan keraton, inovasi kebaya di masyarakat umum berkembang pesat. Desainer Lenny Agustin, sejak awal kariernya sekitar 20 tahun lalu, telah melakukan banyak inovasi terhadap kebaya. Lenny ’menyulap’ kebaya menjadi lebih modis, trendi, muda dan penuh warna dengan desain-desain unik yang ditampilkannya.
Lenny, misalnya, bermain-main di lengan kebaya rancangannya menjadi sebatas siku atau lengan pendek sehingga kebaya berubah menjadi lebih modis. Lain kali Lenny menambahkan ikatan di bagian pinggang sehingga kebaya terlihat semakin trendi. Ada kalanya Lenny juga bermain-main dengan kebaya model kutubaru, dengan menambahkan aksen bordir di bagian bef. Warna-warnanya berani.
Belakangan Lenny muncul dengan kampanye funky kebaya yang menghadirkan beragam model kebaya dengan gaya funky, seperti kebaya motif bunga-bunga dipadukan dengan rok sebatas lutut model balon motif bunga-bunga, kebaya dengan lengan balon dan aksen pita di bagian dada, dan lain sebagainya.
Lenny mengakui, tantangan terbesar yang masih terus dihadapinya selain pola pikir yang masih menganggap kebaya sebagai busana tradisional, juga harga yang masih terlalu tinggi. Meski Lenny sudah menurunkan harga hingga jauh di bawah standar harganya, pasar anak muda masih meminta lebih murah lagi, setidaknya di bawah Rp 500.000.
Dari sisi ekonomi, kebaya juga membuat pencintanya jadi jarang keluar masuk mal untuk berbelanja busana. Kecintaan pada kebaya sekaligus menghidupkan pelaku usaha mikro kecil menengah yang memproduksi kebaya. ”Usaha kecil makin besar dan uangnya kembali ke kita. Ada sisi nasionalisme,” tambah Atie.
Berkebaya sejak enam tahun lalu, Margaretha Tinuk Suhartini pun fanatik berkebaya jenis kutu baru dalam keseharian. ”Saya sampai lupa caranya membeli baju yang bukan kebaya. Dengan berkebaya, jadi lebih mudah dikenali. Kalau pakai baju yang lain, enggak terlihat. Jadi istimewa dari segi penampilan,” tambah Tinuk.
Semakin tingginya minat memakai kebaya, diakui Tinuk, turut mendongkrak permintaan kebaya di pasaran. Dulu, ia dengan mudah membeli kebaya preloved alias bekas seharga Rp 20.000 per potong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Namun, kini, Tinuk sulit mencari stok kebaya preloved.
Dengan kebaya dan kain, Lia juga bisa berhemat karena tak perlu mengeluarkan dana untuk membeli baju dan tas bermerek. ”Paling jadi banyak aksesoris. Tas sih tas kerajinan aja,” katanya.
Saat ini, Lia justru tengah ingin membagikan koleksi kebaya, kain, aksesoris dan tas-tas kerajinannya yang sudah terlalu banyak. Kepada yang berminat, Lia meminta mereka menulis surat kepadanya tentang mengapa mereka mau berkebaya dan berkain. Hasilnya disatukan menjadi sebuah buku yang kini tengah dalam proses edit.
”Saya bersyukur, saya backpaking, solo travelling, saya bahagia banget kalau somewhere nowhere ada yang bilang Are you Indonesian? karena lihat baju kita. Itu bahagia banget karena akan jadi pembuka pembicaraan. Itu kesempatan kasih tahu kalau Indonesia itu gede. Jadi, kebaya ini enggak sekadar busana, tetapi political statement, identitas saya bahwa saya Indonesia dan saya bangga jadi orang Indonesia,” kata Lia.
Iyalah, kebaya cocok dipakai ke mana saja. Bahkan, naik gunung pun ternyata nyaman berkebaya, kan, Mbak Lia?