Olahan Buah Pala dari Fakfak
Keberadaan pohon pala sekaligus juga menjadi salah satu gerbang utama pelestarian hutan di Fakfak. Hal itu mengingat secara filosofis tanaman pala tergolong tabu ditebang
Buah dan biji pala sejak dahulu sudah menjadi salah satu komoditas paling berharga di antara beragam jenis produk tanaman rempah asal Indonesia. Rempah-rempah itu pula yang menjadi alasan utama sejumlah bangsa Eropa datang menjajah bumi Nusantara hingga ratusan tahun sehingga menimbulkan banyak kesengsaraan.
Tanaman pala memang banyak tumbuh di kawasan timur Indonesia. Kepulauan Maluku, Ternate, dan Tidore dikenal sebagai sumber pala terbaik dunia hingga kini. Tak jauh berbeda dengan ketiga daerah itu, kawasan barat Papua, terutama Fakfak, juga menghasilkan komoditas sama, buah dan biji pala, yang juga tak kalah berkualitas.
Secara fisik bentuk buahnya memang berbeda. Buah pala Fakfak (Myristica argentea Warb) sedikit lebih besar dan oval ketimbang dari wilayah Maluku yang lebih bulat. Namunm, sama seperti kawasan saudaranya, masyarakat Fakfak sangat menghormati keberadaan pala yang juga menjadi salah satu sumber mata pencaharian utama.
Pohon pala ibarat seorang ibu bagi masyarakat Fakfak. Dia dianggap mengayomi, memberi penghidupan, dan kesuburan. Pohon pala juga sangat tabu untuk ditebang. Perbuatan itu dianggap sama artinya membunuh ibu kandung sendiri. Sebuah perbuatan keji dan kejam, yang diyakini bakal mengundang murka Tuhan.
Selama sepekan dua kru Restoran Kaum, Jakarta, Chef Rachmad Hidayat dan manajer bar Pius H Ebang, berkunjung dan tinggal bersama warga di beberapa lokasi di Fakfak. Mereka mempelajari dan menyerap beragam kearifan kuliner setempat untuk diinterpretasi dan disajikan kembali dalam konteks hidangan lebih modern di restoran mereka.
Sejumlah menu lalu dihasilkan dan disajikan dalam tema ”Kaum Cipta Rasa: Fakfak”, Kamis (8/4/2021), beberapa berbahan bunga dan daging buah pala. Ekspedisi kecil itu digelar bekerja sama dengan Yayasan Inobu dan restoran yang telah mengantongi beberapa penghargaan internasional.
Menurut Ofra Shinta Fitri dari Yayasan Inobu, keberadaan pohon pala juga menjadi salah satu gerbang utama pelestarian hutan di Fakfak. Hal itu mengingat secara filosofis tanaman pala tergolong tabu ditebang. Di Fakfak, rombongan mampir ke sejumlah kampung, salah satunya Patimburak, untuk melihat bagaimana masyarakat memelihara, memanen, dan mengolah pala.
”Termasuk bagaimana mama-mama di sana membuat makanan khas Fakfak berbahan dasar pala,” ujar Ofra.
Kuliner berbahan pala
Sejumlah menu bernuansa tradisional Fakfak, baik dari sisi bahan baku maupun teknik memasak, disajikan dalam acara, yang mengundang sejumlah perwakilan media massa. Menurut Chef Rachmad, dalam sepekan kunjungannya, Maret lalu, ada banyak inspirasi muncul. Dia kemudian menginterpretasikan lewat sejumlah hidangannya kali ini.
Ada salah satu teknik memasak tradisional Fakfak yang ditemui sang chef di sana dan sangat dia apresiasi untuk kemudian dia terapkan. Teknik memasak di dalam batang bambu, dengan bahan utama masakan sejumlah umbi-umbian, daging, dan sayur-sayuran. Teknik memasak tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang perlu dilestarikan.
”Masyarakat di sana terbiasa bepergian dan menempuh jarak sangat jauh dengan berjalan kaki, bahkan sampai berhari-hari. Perjalanan mereka dari satu tempat ke tempat lain seringnya tanpa pernah membawa perlengkapan memasak atau alat makan memadai. Untuk makan dan memasak mereka manfaatkan apa saja yang alam sediakan buat mereka, termasuk dengan menggunakan batang bambu untuk memasak seperti saya terapkan kali ini,” ujar Chef Rachmad.
Ada dua menu yang dia masak khusus di dalam bambu yang diletakkan di atas bara api atau api kecil. Hidangan pertama berupa beragam sajian serba karbohidrat berisi umbi-umbian, mulai dari singkong, talas, ubi, serta pisang mentah.
Wedi, begitu masyarakat Fakfak menyebut batang bambu lokal berdiameter cukup besar. Koret Wedi Na Kekeir adalah nama menu hidangan berisi aneka sumber karbohidrat yang dimasak bersama bahan rempah, seperti kayu manis dan bunga pala. Tak lupa ditambahi santan kelapa segar, gula, dan garam.
Proses memasaknya lumayan lama, hingga 1,5 jam. Semua bahan baku dimasukkan ke dalam batang bambu yang bagian ujung terbukanya lalu ditutup dengan disumpal daun pisang. Batang bambu berisi bahan-bahan tadi kemudian diletakkan secara horizontal di atas bara api panas.
Teknik memasak serupa juga diterapkan di menu Daging Masak Wedi. Chef mengiris tipis daging sapi, lalu dimasak bersama sejumlah sayuran, seperti daun pepaya, daun singkong, kemangi, irisan daging buah pala, berikut bumbu.
”Seperti masyarakat di sana, saya menggunakan batang bambu hutan yang masih relatif muda sehingga masih mengandung air. Kalau orang asli di sana, biasanya juga memakai daging rusa. Tapi kalau mau juga boleh diganti dengan daging ikan, ayam, atau seafood sesuai selera,” tambah Chef Rachmad.
Cita rasa menu Daging Masak Wedi terbilang unik. Daging terasa empuk dengan sedikit aroma asap sekaligus bersari. Lamat-lamat aroma daun kemangi yang ditambahkan juga semakin menambah nafsu makan. Tambah lagi saat disajikan dengan beberapa pilihan acar berbahan irisan daging buah pala yang segar, asam, manis, atau ada pula yang sedikit pedas.
Lebih lanjut pilihan menu berbahan protein lain yang disajikan adalah Ikan Kakap Merah Kuah Kuning Buah Pala. Seperti namanya, kekuatan rasa di menu satu ini terletak pada kuah berbumbu aneka ragam rempah dan herba, mulai dari lengkuas, jahe, kunyit, dan kemiri, yang dihaluskan.
Sebagai penambah cita rasa, menu satu ini juga menggunakan irisan daging buah pala, tomat, dan daun kemangi. Walau kaya beragam bumbu rempah, kuah kuning hidangan ini terasa ringan, tetapi aromatik. Menurut Chef Rachmad, sajian ini biasanya dihidangkan untuk disantap bersama bubur sagu papeda.
Sebagai menu pelengkap di acara kuliner kali ini disajikan pula olahan sayuran khas masyarakat Fakfak, Tagas Tagas, yang terdiri dari beragam jenis bahan sayuran. Beberapa yang digunakan kali ini seperti daun singkong dan pepaya, sayur kangkung, daun kemangi, serai, dan bunga pepaya. Semua bahan diiris tipis lalu dioseng dengan bumbu sederhana, bawang putih, bawang merah, dan garam.
Selain diolah bersama bahan baku utama lain, daging buah pala sendiri cocok dijadikan sajian utama dengan beragam cara pengolahan. Salah satunya dikreasikan ke dalam bentuk sajian salad, Meri Totora atau berarti Putri Cantik. Sebelum diolah daging buah pala dibersihkan terlebih dahulu dari kulitnya.
”Setelah itu diiris tipis, lalu dilumuri gula pasir dan garam, diremas-remas, baru setelah itu dicuci untuk menghilangkan kandungan getahnya. Bahan-bahan lain cabai rawit merah, daun kemangi, tomat ceri, dan lengkuas. Selain itu juga kita tambah dengan irisan timun, kol, daging kelapa muda, dan disiram perasan jeruk cui,” tambah Chef Achmad.
Sebagai penyempurna, Manajer Bar Pius H Ebang juga menyajikan minuman segar berbahan daging buah pala, yang dibuat menjadi sirup. Dengan penyajian dingin, segelas minuman sirop buah pala yang terasa asam, manis, serta aromatik khas buah pala, sangat pas sekaligus menyegarkan.